Ketiga: Aksi Pengorbanan/Bunuh Diri ( buku Tahsiluz Zad Litah gigi al-Jihad karya Said Abdul Adzim halaman 202-204)

Yazid bin Abi Habib telah meriwayatkan dari Aslam Abi Imron, ia berkata, “Kami memerangi Konstantinopel dan berada pada kelompok Abdurrahman Bin Walid, sedangkan Rum berada dipinggiran kota. Tiba-tiba seorang laki-laki maju untuk menyerang musuh, maka orang-orang berkata, ‘Subhanallah, tidak ada Tuhan selain Allah, ia telah mencampakkan dirinya pada kehancuran.’ maka Abu Ayub berkata, ‘Subhanallah, ayat ini telah diturunkan pada kami kaum Anshar, ketika Allah menolong Nabi-Nya dan memenangkan agama-Nya, kami berkata marilah kita menetap pada harta kita, maka Allah menurunkan ayat, “Dan berinfaklah kamu sekalian pada jalan Allah.” (al-Baqarah 195).”

Mencampakkan diri kepada kehancuran adalah kita menetap pada harta kita dan menjaganya sementara kita meninggalkan jihad. Adapun Abu Ayub masih tetap melakukan jihad di jalan Allah sehingga beliau dikuburkan di Konstantinopel dan kuburannya berada di sana. Abu Ayub memberitahukan kepada kita bahwasan-nya mencampakkan diri kepada kehancuran sebenarnya adalah meninggalkan jihad di jalan Allah dan ayat al-Qur’an pun diturunkan pada masalah tersebut. Dan hal serupa diriwayatkan pula dari Hudzaifah, Hasan, Qotadah, Mujahid, ad-Dhahhak, dan Imam Tirmidzi meriwayatkan khabar ini dengan maknanya, dan ia berkata bahwa ini adalah hadits hasan gharib shahih.

Para ulama telah berbeda pendapat dalam kasus tindakan seorang laki-laki yang melawan musuh dengan sendirian dalam kondisi perang. Al-Qasim bin Muhaimirah dan al-Qasim bin Muhammad, juga Abdul Malik dari kalangan ulama Malikiyah, mereka berkata, “Tidak apa-apa jika seseorang dengan sendirian melawan tentara yang besar apabila ia memiliki kekuatan dan niatnya ikhlas karena Allah. Apabila ia tidak memiliki kekuatan itulah yang dikategorikan mencampakkan diri kepada kehancuran.”

Dikatakan apabila ia menuntut mati syahid dan niatnya ikhlas, maka ia boleh melakukannya karena tujuannya adalah satu [mencari keridaan Allah]. Hal itu dijelaskan dalam firman Allah, “Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridha Allah.” (al-Baqarah: 207). Ibnu Khuwaiz Mindad berkata, “Adapun orang yang melawan 100 atau sejumlah tentara atau sekelompok pencuri dan perampok juga penentang, maka untuk hal itu ada dua ketentuan. Apabila ia mengetahui dan menyangka bahwasanya ia akan dapat membunuh orang yang melawan kepadanya dan ia sendiri akan bisa selamat maka itu adalah baik. Begitu juga apabila ia mengetahui dan menyangka bahwa ia akan terbunuh” (Ket : Menyangka akan mendapatkan kehancuran tidak berarti mengenakan atau memberikan tebusan untuk suatu bangunan yang hancur. Karena yang wajib dilakukan bagi dia (orang yang melawan musuh sendirian) adalah mengusahakan bagi dirinya sebab-sebab yang akan membawanya kepada keselamatan sedapat mungkin dibarengi dengan kehati-hatian dari kemudlaratan dan aniaya dari fihak musuh walaupun pada akhirnya hal tersebut mem-bawanya kepada kematian. ) Tetapi ia mempunyai niat yang kuat untuk mengalahkan musuh atau memberikan cobaan terhadap musuh, atau memberikan kesan dan dampak yang bisa dimanfaatkan oleh kaum Muslimin maka hal itu diperbolehkan pula.

Imam al-Qurthubi berkata, “Saya telah mendapatkan kabar bahwa tentara Muslim ketika mendapatkan kuda, maka kuda kaum Muslimin tersebut melarikan diri karena takut gajah. Maka seorang laki-laki dari mereka dengan sengaja membuat gajah dari tanah dan mencoba menjinakan kudanya dengan gajah tersebut sehingga kudanya menjadi jinak. Maka ketika ia pada waktu subuh ternyata kudanya tidak berlari lagi dari gajah, kemudian dibawanya kepada gajah yang berada di hadapannya maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya ia adalah pembunuh kamu.” Maka ia berkata, “Tidaklah berbahaya kalau saya terbunuh karena ada jalan yang cukup terbuka untuk kaum Muslimin.

Begitu pula pada peristiwa Yamamah ketika Bani Hanifah berlindung pada suatu taman, sorang laki-laki dari kaum Muslimin (yaitu al-Bara’ bin Malik) berkata, “Letakanlah aku pada alat pelontar dan lemparkanlah aku kepada mereka, kemudian mereka melakukannya. Ia membunuh musuhnya secara sendirian dan membukakan pintu.”

Imam al-Qurtubi berkata, “Dari sini apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh di jalan Allah dengan sabar dan ikhlas?” Beliau menjawab, “Bagimu adalah surga.” Maka laki-laki tersebut terjun ke medan perang melawan musuh sehingga ia terbunuh. Sampai ia (Imam al-Qurtubi) berkata, “Muhammad bin Hasan ber-kata, ‘Jika seorang laki-laki melakukan perlawanan terhadap seribu orang dari kaum musyrikin sementara ia sendirian, hal itu tidak apa-apa (boleh) apabila ia yakin akan mampu untuk selamat atau menga-lahkan musuh. Jika tidak demikian (tidak yakin), maka perbuatan tersebut makruh, karena ia telah mencampakkan dirinya pada kehancuran dengan tanpa membawa manfaat bagi kaum Muslimin.’ Maka apabila tujuannya supaya seorang Muslim memiliki keberanian terhadap musuh sehingga bertindak seperti yang dilakukannya, maka hal itu boleh juga dilakukan, dikarenakan di dalamnya terdapat faidah atau manfaat bagi kaum Muslimin dari satu sisi. Apabila di dalamnya terdapat manfaat bagi kaum muslimin kemudian ia gugur dalam rangka menguatkan agama Allah dan menghinakan orang kafir, maka ia mendapat kedudukan mulia yang dipuji Allah. Sebagaimana Allah memuji orang Mukmin dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwanya.” (at-Taubat: 111) dan ayat-ayat lainnya yang mengandung pujian Allah terhadap orang-orang Mukmin yang mengorbankan jiwanya.

Karena itu, hendaknya ada [ditegakkan] hukum amar ma’ruf nahyi munkar, bahwasanya ketika seseorang mengharapkan manfaat pada agama kemudian mengorbankan jiwanya untuk harapan tersebut sehingga ia terbunuh maka ia berada pada derajat syuhada yang paling tinggi. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anaku dirikanlah shalat dan serulah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang munkar kemudian bersabarlah atas apa yang menimpa kamu sesungguhnya hal yang demikian itu adalah sesuatu yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17).

Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya beliau bersabda, “Syuhada yang paling utama adalah Hamzah Bin Abdul Muthalib, dan orang yang mengatakan kalimat hak dihadapan pemimpin yang zalim kemudian ia membunuhnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Thabrani dalam kitab Ausat Juz 1 halaman 245 dan Imam Hakim Juz 3 halaman 195 dan diangap hadits hasan oleh Imam Albani dalam kitab silsilah Shahihah halaman 374.)

Adapun pembunuhan terhadap sebagian militer dan penduduk dengan cara seperti dalam kondisi kita sekarang ini adalah termasuk dari pengikut jalannya orang-orang jahat, yang mana tindakan itu tidak bisa dipi-sahkan dari khianat yang diharamkan, dan menimbulkan penganiayaan dan kemudaratan yang sangat terhadap orang-orang yang tidak berdosa tanpa membawa kemaslahatan yang berarti.

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, “Ada sebagian orang yang mengikatkan pada perutnya alat peledak kemudian memasuki salah satu gedung pemerintah atau swasta atau memasuki perkumpulan manusia baik kafir ataupun bukan kemudian meledakan dirinya. Apakah hukum perbuatan ini? Apakah perbuatan seperti ini dikatagorikan bagian daripada jihad? Dan apakah pelakunya dapat dikatakan syahid ? ataukah dikatakan bunuh diri?” (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz 8.)

Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan itu secara zahir adalah bunuh diri, yang mana ia berkeyakinan bahwa ia akan membunuh dirinya sebelum yang lain, tetapi terkadang dibolehkan apabila ia berada di wilayah kafir yang boleh diperangi, dan ia tahu bahwasanya ia akan dibunuh oleh tangan-tangan musuh-musuh baik cepat ataupun lambat, atau ia akan mendapatkan bencana yang sangat keras [dari mereka], dan ia tidak mendapatkan jalan lain kecuali meledakan dirinya, sehingga dapat membunuh yang lainnya dari musuh-musuh yang telah menyiksa kaum Muslimin dengan siksaan yang keji. Dengan melaksanakan hal ini, ia telah membunuh sejumlah musuh yang dapat melemahkan kekuatan mereka dan meminimalisir siksaan mereka, serta menimbulkan rasa takut bagi mereka. Terkadang hal ini dibolehkan walaupun di dalamnya terkandung unsur bunuh diri, yaitu jika ia mengetahui bahwa dirinya pasti terbunuh atau akan mendapatkan tekanan dari musuh kemudian dengan hal itu ia bermaksud untuk membebaskan diri dari siksaan mereka dan ingin membuat dirinya tenang. Urusannya diserahkan pada Allah Ta’ala.

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya pula, “Sebagian orang mengatakan peledakan diri dibolehkan dengan mengqiyaskan terhadap kisah Ghulam Ukhdud, maka apakah jawaban yang mulia terhadap hal itu?’ (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin, al-Akidah Juz 8)

Beliau menjawab, “Di sini tidak ada qiyas, dalam kisah Ghulam Ukhdud, tidak disebutkan bahwa ia melakukan bunuh diri. Dalam kisah tersebut bahwasanya mereka pergi dengan anak tersebut (ghulam) untuk melemparkannya dari puncak gunung tetapi Allah menyelamatkannya, kemudian mereka (Ukhdud) pergi dengan anak tersebut ke laut untuk melemparkannya, Allah pun menyelamatkannya pula. Kemudian, ketika anak tersebut mengetahui bahwa mereka akan terus mencoba membunuhnya. Cara yang mesti mereka lakukan untuk bisa mencapai tujuannya tersebut adalah orang yang melemparkannya harus mengucapkan, “Dengan nama Tuhan anak ini.” Maka anak tersebut berkata, “Kalian sekali-kali tidak akan dapat membunuhku sehingga kamu melakukan apa yang aku perintahkan, ‘Kumpulkanlah orang-orang pada satu ketinggian, kemudian kata-kanlah, ’Dengan nama Allah sebagai Tuhan anak ini. Kemudian, lemparkanlah aku.” Anak ini bermaksud dengan kata-katanya itu agar orang-orang mendengar sebutan nama Allah sehingga mereka semua beriman sebagaimana yang terjadi.

Adapun peledakan ini ia perbuat dengan sengaja bunuh diri, walaupun maksudnya untuk menghancurkan musuh dan memberikan kematian pada mereka. Terkadang bunuh diri diperbolehkan jika ia mengetahui bahwa ia akan disiksa sebelum dibunuh dan mengetahui bahwa pembunuhan itu pasti terjadi, Wallahu a’lam.”

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, “Sebagian orang mengatakan bahwasanya ia telah melakukan perbuatan jihad dalam bentuk bunuh diri. Sebagai contohnya dilakukan oleh salah seorang mereka dengan meletakan ranjau pada mobilnya dengan menggunakan alat-alat peledak yang tidak dapat diprediksi oleh musuh, dan ia mengetahui bahwa dirinya pasti mati dalam peristiwa ini.” (Dialog bersama Syaikh Ibnu Utsaimin yang diprakarsai oleh Majalah Da’wah Edisi 1598 tanggal 28/2/1418 H bertepatan dengan 3/7/1997 M.)

Maka beliau menjawab, “Pendapat saya dalam permasalahan ini, sama saja ia membunuh dirinya sendiri, dan ia akan di azab pada neraka jahanam dengan tindakan bunuh diri tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Ket : Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan bunuh diri dengan menggunakan besi maka besi tersebut akan berada di tangannya kemudian ia akan merasa kesakitan dengan besi tersebut di dalam neraka jahanam dengan kekal selama-lamanya. Barangsiapa yang meminum racun kemudian membunuh dirinya maka ia akan merasakan api neraka dengan kekal di dalamnya. Barangsiapa yang melemparkan diri dari ketinggian gunung kemudian membunuh dirinya maka ia akan jatuh ke dalam neraka jahanam dan kekal di dalamnya.” dikeluarkan oleh Bukhari No. 5442, dan Imam Muslim No. 109. dan dalam bab tersebut diriwayatkan dari Tsabit Bin Dhahak dan yang lainnya. ) Tetapi orang bodoh yang tidak tahu dan melakukannya dengan alasan bahwasanya tindakan tersebut adalah baik dan diridai Allah. Saya berharap semoga Allah Ta’ala memaafkannya karena ia melakukan perbuatan ini sebagai bentuk ijtihad. walaupun saya berpedapat sesungguhnya pada waktu sekarang tidak ada maaf baginya, karena tindakan ini merupakan tindakan bunuh diri yang sudah menyebar dan termasyhur di kalangan manusia dan hendaklah manusia bertanya tentang hal itu kepada ahli ilmu, sehingga jelas bagi dia antara kebenaran dan kesesatan. Dan hal yang mengherankan sesungguhnya mereka melakukan bunuh diri, padahal Allah Ta’ala telah melarang hal itu, dan Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (an-Nisa: 29).

Banyak dari mereka yang tidak menginginkan kecuali balas dendam terhadap musuh dengan segala cara, baik hal itu haram ataupun halal. Mereka hanya menghendaki agar rasa dendamnya terpuaskan dan terselesaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita pandangan yang benar terhadap agama dan amal dengan apa yang diridai-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Untuk menambahkan manfaatnya, kami akan menjelaskan hukum bunuh diri:

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, “Apakah hukum bunuh diri dalam Islam?” (Fatawa Islamiyah, dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnad Juz 4 halaman 99.)

Maka beliau menjawab, “Bunuh diri adalah pembunuhan seseorang terhadap dirinya sendiri dengan sengaja dengan sebab apa pun dan itu adalah diharamkan, dan termasuk dosa besar. Hal itu berada dalam keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka terhadapnya dan mengutuknya juga menyediakan azab yang besar baginya.” (an-Nisa: 93)

Telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْئٍ فَإِنَّهُ يُعَذَّبُ بِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلِّدًا فِيْهَا أَبَدًا

“Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu, maka ia akan disiksa dengannya dalam neraka jahanam dengan kekal selama-lamanya.” (Ddikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 5778 dan oleh Imam Muslim No. 109 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim No. 110 dengan serupa dari Tsabit Bin Dhahak radhiallahu ‘anhu.)

Orang yang bunuh diri pada hakikatnya secara umum melakukan hal tersebut karena kesempitan yang menimpanya, baik dari perbuatan Allah atau makhluk. Anda akan mendapati dirinya tidak mampu menghadapi apa yang menimpanya itu. Pada hakikatnya ia seperti orang yang minta perlindungan dari akibat kebakaran, ia telah berpindah dari yang jelek kepada yang lebih jelek. Jika ia mampu bersabar, Allah pasti akan menolongnya untuk mengatasi musibah tersebut, dan sebagaimana dikatakan, “Tetap berada dalam satu kondisi adalah sesuatu yang mustahil.”

Dan kesimpulannya, “Wahai kaum Muslimin, kita telah mengetahui dari yang sudah dibahas bahwa masalah peledakan, penculikan, pembunuhan, dan yang lainnya berupa tindakan-tindakan yang merusak adalah dibantah atau ditolak secara syari’ah dan akal, dan tidak akan melakukan perbuatan seperti ini kecuali orang yang dikuasai hawa nafsu dalam dirinya atau orang yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Ia sama sekali tidak menghendaki kebaikan bagi kaum Muslimin.

Adapun orang yang melakukan tindakan tersebut dengan didasari keyakinannya bahwasanya hakim adalah kafir, maka kita harus menekannya atau mempersempitnya dan menentangnya. Karena pernyataannya itu bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bertentangan dengan apa yang dilakukan salafus salih dari umat ini.

Berikut ini kami akan menjelaskan sebagian syubhat (keraguan) yang dipegang oleh mereka untuk kita jawab dengan memohon pertolongan kepada Allah dan dengan apa yang dikatakan oleh para ulama sebagai jawaban atas syubhat ini. Allahlah tempat berlindung dalam mencapai tujuan.