Syubhat-Syubhat Dan Bantahannya Seputar Masalah Pembunuhan, Penculikan, dan Peledakan

Syubhat Pertama: Pembunuhan Ka’ab bin al-Asyraf, Thogutnya kaum yahudi

Ka’ab bin al-Asyraf adalah seorang yahudi yang telah memprovokasi untuk melawan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Dia menangisi kaum Quraisy yang gugur pada perang Badar dan dikubur dalam sumur. Musuh Allah ini [Ka’ab] kemudian pergi ke Mekkah untuk mengumpulkan keluarganya dari kaum musyrikin untuk memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal ada perjanjian atasnya dan atas kaum yahudi. Ketika Ka’ab kembali kemadinah, ia menggubah syair yang berisi rayuan terhadap kaum Muslimah hingga menyakiti mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang bersedia membunuh Ka’ab al-Asyraf untuk saya.” Muhammad bin Maslamah saudara Bani Abdul al-Asyhal berkata, “Saya bersedia melakukannya untuk anda ya Rasulullah. Saya akan membunuhnya.” Beliau berkata, “Lakukanlah jika engkau mampu.” Ia berkata, “Ya Rasulullah, kita mesti mengatakan.” Beliau berkata, “Katakanlah oleh kalian, ‘Apa yang tampak bagi kalian, kalian bebas dalam hal itu.’ (Ket : Dikeluarkan al-Bukhari hadits no.2510, 3031, 3032. dalam kitab ringkasannya hadis no.4037. Muslim hadits no.1801 dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu. Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kisah Ka’ab bin al-Asyraf dapat merujuk kitab “Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu katsir, jilid IV/6-10. Fathul Bari (V/169), (VI/184-185) dan (VII/ 390-395). Syarah Muslim an-Nawai (XII/403) dan kitab rujukan lainnya. Al-Imam al-Baghawi berkata dalam Syarah al-Sunnah (XI/45) bahwa sebagian orang telah sesat dalam pendapatnya, tergelincir dari kebenaran, dengan mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Ka’ab merupakan pengkianatan. Semoga Allah menjauhkan orang yang berbicara seperti ini dan memburukkan pendapatnya. Ia tidak tahu makna hadits dan tidak tahu metode mencari kebenaran. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman itu kendali pembunuhan yang kurang. Karena itu seorang Mukmin tidak akan membunuh secara curang.” (Dikeluarkan Abu Daud hadis no.2769. dalam sanadnya ada Abdurrahman bin abi Karimah orang tua as-Sudi ia adalah orang yang majhul. Tetapi dalam bab “Ma Yusyhidu..” dikeluarkan Ahmad (I/166-167) dari Zubair bin Awwam, ““Iman itu mengikat pembunuhan. Karena itu seorang mukmin tidak akan membunuh.”. Ahmad berkata (1426) ini adalah hadis sahih. Al-Arnauth berkata dalam Syarah as-Sunnah (XI/45) bahwa ini adalah hadis hasan.- Al-Imam berkata, “al-fatku adalah membunuh orang yang mempunyai jaminan keamanan secara mendadak. Dan Ka’ab bin al-Asyraf adalah termasuk orang yang Berjanji pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menolong orang yang melawan Rasul dan tidak memeranginya. Kemudian ia melepaskan sendiri jaminan keamanan itu dan melanggar perjanjian. Ia pergi ke Mekkah dan memberitakan permusuhan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menghina dan menghujat Nabi dengan syair-syairnya, maka ia pun berhak untuk dibunuh.) Muhammad bin Maslamah kemudian berdiri dan bergabung dengan sejumlah laki-laki Anshar untuk membunuh Ka’ab di luar bentengnya.

Maka perhatikanlah bahwa tidak ada pertentangan antara larangan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam agar tidak berkhianat dengan pembunuhan Ka’ab bin al-Asyraf. Karena hal itu dilakukan akibat pengkhianatan dan pemutusan Ibnu al-Asyraf terhadap perjanjian. Allah berfirman yang artinya, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (al-Anfal: 58)

Juga tidak ada pertentangan di antara eksekusi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ibnu al-Asyraf dengan membiarkan Ibnu Salul pemimpin kaum munafik dikarenakan ada maslahat secara syari’at yang akan terwujud dengan hal itu dan kerusakan yang tertolak. Hal itu karena keberadaan Ka’ab membahayakan dan mengkhawatirkan kaum Muslimin, dan ia menjadi sumber ancaman bagi keamanan kota Madinah. Ia melakukan penentangan dan provokasi melawan [menyerang] kaum Muslimin secara terang-terangan. Disamping itu ia mempunyai kekuatan materi [uang] yang ia gunakan untuk mengganggu keamanan dan melakukan penyerangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana beliau telah berlaku sabar terhadap gangguan dan ancaman orang yahudi yang durhaka dan sombong ini, yang ia tidak melihat dari Nabi dan sahabatnya, kecuali mereka menepati janjinya [tidak seperti yang dilakukan Ka’ab].

Ketika Ka’ab bin al-Asyraf sampai pada kedudukan ini -yaitu kedudukan musuh yang berkhianat yang menampakkan permusuhannya yang bersiap-siap untuk melakukan penyerangan, dan tidak mempunyai lagi penjanjian dan jaminan keamanan- karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan untuk mengeksekusi yahudi si pengkhianat dan pembelot ini. Dengan eksekusi ini dan pengusiran terhadap Bani Qainaqa’ kaum yahudi mendapatkan pelajaran yang keras agar mereka tidak berbuat sebagaimana Ka’ab, karena mereka menyadari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan lalai untuk mengeksekusi siapa saja yang memenuhi syarat untuk dihukum, beliau tidak akan bersikap lembut, memberi nasihat, bersabar, bertoleransi kepada orang yang mengganggu keamanan dan melecehkan pernjanjian.

Apakah memberi mashlahat jika kisah eksekusi Ka’ab bin al-Asyraf ini dijadikan sandaran bagi pembunuhan tentara atau warga negara secara berkhianat -dengan anggapan bahkan Keyakinan- bahwa ia akan menimbulkan kerusakan yang tidak ada maslahatnya di dalamnya. Kecuali meluasnya gangguan dan kemudharatan semakin berkurang atas negara dan warganya?! (Kitab Tahshil az-Zad li Tahqiq al-jihad, karya Said Abdul Azhim, hal 115-116)

Syubhah Kedua: Pembunuhan yahudi yang membuka aurat seorang Muslimah

Syubhah ini dipertanyakan kepada al-Allamah al-Albani, dan ini nashnya: (Ket : dari ucapan al-Bani yang direkam pada kaset no.691. dan tecantum dalam fatwa al-Syaikh al-Albani yang disusun oleh ‘Ukasyah Abdul Manan, hal 204-255. )

Ada seorang da’i yang menyusun sebuah buku, dan ia menganggap bahwa penculikan termasuk dari sunnah yang sudah dilalaikan [tidak digunakan lagi], ia kemudian beragumen dengan kisah eksekusi Ka’ab bin al-Asyraf (Ket : Telah kita perbincangkan kisah Ka’ab bin al-Asyraf seorang yahudi secara terperinci. Rujuklah syubhah pertama hal 122-126.) dan pembunuhan yahudi yang membuka aurat seorang Muslimah. Maka bagaimanakah menurut pendapat anda?

Al-AlBani menjawab, “Semoga penyusun buku itu yang telah menjelaskan sunnah yang telah ditinggalkan sepakat dengan kita untuk menghidupkannya dengan benar. Adapun tentang anggapannya bahwa ightiyal merupakan sunnah yang ditinggalkan yang harus kita hidupkan di zaman sekarang ini. Maka ini yang termasuk kami keluhkan, yaitu kebodohannya terhadap petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena kami pahami bahwa peristiwa eksekusi pertama adalah shahih, dan kami meragukan kesahihan peristiwa lainnya. (Yaitu kisah seorang yahudi yang dibunuh karena melihat Aurat wanita Muslimah) Tetapi shahih atau tidaknya sama saja, maka jawaban dari peristiwa pertama yang shahih telah mencakup semuanya.

Kami katakan, “Sesungguhnya pembunuhan dengan cara yang terkadang disebut orang sebagai ightiyal ( Ightiyal : menculik lalu membunuh orang yang diculik ), hal itu tidak terwujud sebelum segala sesuatu ketika kaum Muslimin masih lemah dan di zaman yang lemah, sehingga kaum musyrikin menyiksa mereka dengan berbagai siksaan. Sesungguhnya Daulah Islamiyah baru terbentuk di Madinah al-Munawwarah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di dalamnya.

Ini yang pertama. Kesimpulan yang ingin saya katakan bahwa eksekusi itu dilaksanakan ketika kaum Muslimin sudah kuat dan bersatu, bukan pada saat lemah dan terpecah belah.”

Kedua, pelaksanaan ini bukanlah kerja individu yang didorong oleh emosi, walaupun simpati keIslaman, tetapi simpati yang tidak dibarengi dengan ilmu keIslaman yang benar. Karena pelaksana pembunuhan itu dikomandoi oleh seorang hakim Muslim yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, kami mengatakan kepada orang yang me-nyebut eksekusi ini sebagai sunah yang ditinggalkan, untuk membuat sebab-sebab secara syari’at yang telah ditunjukkan oleh pembicaraanku yang telah lalu sebagai pemurnian (klarifikasi) dan pendidikan, sehingga kaum Muslimin dapat membuat jalan pembuka untuk mendirikan negeri Muslim di bumi dari bumi-bumi Allah yang luas ini, yang mana akan ditegakkan pemerintahan kaum Muslimin dan dipimpin oleh seorang laki-laki yang memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin jama’ah Muslim. Maka jika pemimpin ini memerintahkan pelaksanaan eksekusi maka harus dilaksanakan.

Adapun membebaskan setiap individu untuk mengubah dengan pendapatnya tanpa perintah dari orang yang wajib ditaatinya, maka hal itu bukanlah sunnah secara mutlak bahkan masuk ke dalam prinsip yang senantiasa dan selamanya kita dengungkan yaitu kata hikmah yang menempati posisi tinggi, yang diperkuat oleh peristiwa-peristiwa yang kita dengar dan sangat disayangkan. Prinsip tersebut berbunyi,

مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْئَ قَبْلَ أَوَانِهِ اُبْتُلِيَ بِحِرْمَانِهِ

“Barangsiapa ingin mendapatkan sesuatu dengan tergesa-gesa sebelum waktunya, maka akan diuji dengan tidak mendapatkannya.”

Karena orang yang melakukan pembunuhan terhadap seorang laki-laki dari kaum kafir yang mempunyai kekuatan dan pemerintahan, akan memancing kaum kafir lainnya untuk membalas dendam, dan mereka lebih kuat dari seorang Muslim. Akibat lebih jauhnya akan melemahkan kaum Muslimin. Sedangkan pembunuhan [eksekusi] yang diperbuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akibatnya mendatangkan kemenangan bagi kaum Muslimin. Maka jauh sekali akibat yang ditimbulkan dari kedua hal tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ

“Sesungguhnya amal itu tergantung dari hasil akhirnya.” (Potongan dari hadis yang dikeluarkan al-Bukhari no.6607 dari hadits Sahal radhiallahu ‘anhu) Inilah jawaban saya terhadap permasalahan sunnah yang ditinggalkan dan dituduhkan.”

Syubhah Ketiga: Eksekusi terhadap Abu Rafi’ Abdullah bin Abi al-Haqiq al-yahudi (Ket : Telah berbeda pendapat dalam penamaannya, dikatakan namanya adalah Abdullah seperti yang dikatakan al-Bukhari. Dikatakan pula bahwa namanya adalah Salam seperti yang dikatakan Ibnu Ishaq. Lihat Fathul Bari (V/397) )

Sebagaimana orang-orang yang gegabah dan antusias yang tidak berdasarkan kepada manhaj Kitabullah dan as-Sunnah menjadikan dalil eksekusi Ka’ab bin al-Asyraf untuk mengeksekusi tentara, warga sipil, korps diplomatik, para penanggung jawab, orang-orang yang terlibat perjanjian, dan yang lainnya. Mereka pun menjadikan kisah eksekusi Abu Rafi’ bin Ubai al-Haqiq al-yahudi sebagai dalil. Kita tahu bahwa mereka tidak mempunyai dalil dalam hal tersebut.

Maka, bagaimanakah kisah eksekusi terhadap Abu Rafi’ al-yahudi?

Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Barra bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim sekelompok utusan kepada Abu Rafi’. Maka masuklah Abdullah bin ‘Atik ke rumahnya pada suatu malam dan membunuh Abu Rafi’yang saat itu sedang tidur.” (Dikeluarkan al-Bukhari no.4038, 4031, dan 4040, dari al-Barra bin’Azib radhiallahu ‘anhu. Lihat Fathul Bari (V/390)) Demikianlah yang diriwayatkan al-Bukhari secara ringkas, kemudian ia meriwayatkannya secara lengkap dengan rincian panjang dan terperinci tentang kejadiannya.

Abu Rafi’ adalah salah satu pemimpin kaum yahudi Bani an-Nadhir yang menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membantu musuh-musuh beliau. Di antara kisahnya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi dengan sekelompok sahabatnya kepada Bani an-Nadhir untuk meminta mereka membayar denda/diat terhadap dua pembunuhan sesuai dengan nash-nash yang sudah disepakati di antara keduanya. Maka kesempatan ini digunakan oleh para pemimpin Bani Nadhir yang diketuai Ibnu Abu al-Haqiq untuk membuat satu skenario. Mereka menyambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dengan sambutan yang besar. Mereka memberikan penghormatan dan mempersiapkan apa yang sudah disepakati untuk membayar kewajiban berupa uang denda yang diminta. Kemudian para tamu dipersilahkan duduk di samping salah satu rumah sambil menunggu mereka membawa uang. Orang-orang yahudi itu telah bersepakat dengan si pemilik rumah yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bersandar pada dinding rumah itu, agar sebagian dari mereka naik ke atap rumah secara diam-diam untuk menjatuhkan barang berat ke atas kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar kepala beliau pecah. Karena dengan hal itu tamatlah riwayat Muhammad dan Islam. Karena kaum yahudi meresa resah dengan kedatangan agama ini [Islam] yang telah membongkar kesesatan mereka, sehingga para pemimpin mereka pantas untuk melakukan makar ini.

Allah membuka tabir makar kaum yahudi itu kepada Nabi-Nya, sehingga beliau tahu makar yang sedang mereka persiapkan. Beliau pun dan para sahabatnya segera bangun dan menjauhi tempat tersebut, sehingga selamatlah beliau dari pembunuhan yang keji tersebut. Karena itu Bani an-Nadhir mesti mendapat sanksi, disebabkan Ibnu Abu al-Haqiq dan yang lainnya dari pemimpin Bani an-Nadhir mencoba membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dengan tiba-tiba. Kaum yahudi tidak mau sedikit pun menghormati perjanjian yang telah mereka buat antara mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka telah memutuskannya secara sepihak karena itu sudah sepantasnya memerangi mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum Muslimin berangkat untuk memerangi kaum yahudi Bani an-Nadhir. Kaum yahudi Bani an-Nadhir kemudian memasuki benteng mereka dan menguncinya. Mereka menyerang kaum Muslimin dengan panah-panah mereka dan memusatkan serangannya ke kemah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan penghancuran Bani an-Nadhir dari tempat yang tidak bisa dijangkau para pemanah musuh.

Untuk menghancurkan mental kaum yahudi Bani an-Nadhir, beliau memerintahkan untuk memotong pohon-pohon kurma mereka dan membakarnya. Maka hal ini mampu melemahkan kekuatan mereka. Setelah beberapa lama mereka pun menyerah dan menerima syaratnya yaitu harus meninggalkan kota Madinah dengan meninggalkan harta benda dan persenjataan mereka dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abu al-Haqiq dan sebagian besar kaum yahudi Bani an-Nadhir kemudian tinggal di Khaibar.

Ibnu Abu al-Haqiq tidak pernah melupakan kegagalannya membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memutuskan agamanya. Ia tidak pernah hidup tenang dengan kekalahan yang sangat menghinakannya dan menghinakan kaumnya. Maka sejak saat itu ia merencanakan pembunuhan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai balasan atas pengusian dan kekalahannya yang menghinakan.

Kaum Muslimin sangat geram terhadap Ibnu Abu al-Haqiq yang mereka tidak mampu bersabar lagi, hingga akhirnya mereka meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuhnya agar Islam dan kaum Muslimin terlepas dari keburukannya. Beliau pun mengizinkannya. Maka berkumpullah sekelompok orang dari Bani Khajraj diketuai oleh Abdullah bin ‘Atik. Mereka telah merencanakan untuk membunuh Ibnu Abu al-Haqiq. Mereka kemudian melaksanakan rencana tersebut dan berakhir dengan terbunuhnya Ibnu Abu al-Haqiq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergembira dengan apa yang telah dilakukan para sahabatnya itu dan mendoakan mereka. Demikianlah pembunuhan itu terlaksana ketika Ibnu Abu al-Haqiq sedang tidur, sesudah ia mengkhianati perjanjian yang dibuat antara dia dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi orang-orang yang bodoh dan gegabah mengatakan bahwa pembunuhan itu bukan disebabkan pengkhianatan Ibnu Abu al-Haqiq.

Setelah itu, “Wahai saudaraku Muslim, apakah kisah pembunuhan Ibnu Abu al-Haqiq bisa dijadikan sandaran untuk membunuh para penanggung jawab [pemerintah] atau sebagian tentara dan yang lainnya, atau membunuh para diplomat, orang yang terlibat dengan perjanjian, atau dengan meledakkan bangunan-bangunan pemerintah dan yang lainnya?!”