Cinta adalah kedudukan yang banyak diperebutkan oleh manusia, bahkan dengan antusiasnya, mereka berlomba-lomba ingin mengetahui hakikatnya.

Dengan semangat ruh cinta lah, para ahli ibadah bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah. Maka cinta adalah makanan hati, nutrisi jiwa, dan penyejuk mata.

Cinta adalah kehidupan, yang jika seseorang diharamkan darinya, niscaya dia termasuk di antara sekian banyak orang yang mati.

Cinta adalah cahaya, yang apabila seseorang kehilangannya, niscaya dia akan berada di laut kegelapan.

Cinta adalah penawar, yang apabila seseorang tidak memilikinya, maka niscaya semua macam penyakit akan singgah di dalam hatinya.

Cinta adalah kelezatan yang apabila seseorang tidak memperolehnya, niscaya hidupnya seluruhnya adalah kesedihan dan kepedihan.

Cinta adalah ruhnya iman, amal perbuatan, segala kedudukan dan keadaan yang apabila musnah darinya, niscaya ia bagaikan tubuh tanpa nyawa di dalamnya.

Cinta adalah kendaraan suatu kaum yang mereka selalu berjalan di atas punggungnya menuju sang kekasih. Dan dia adalah jalan mereka yang sangat kokoh yang mengantarkan mereka menuju rumah-rumah mereka dengan cepat.

Demi Allah, sungguh telah pergi sang pemilik cinta membawa kemulian dunia dan akhirat, di mana ketika bersama kekasih mereka merupakan puncak kesempurnaan. Dan sungguh Allah Subhanahu Wata’ala telah memutuskan dengan kehendak dan hikmahNya yang sempurna bahwa seseorang bersama orang yang dicintainya. Maka cinta merupakan kenikmatan yang sempurna bagi para pecinta.

Adapun di antara sebab-sebab yang dapat menghadirkan cinta seorang hamba kepada Rabbnya dan menghadirkan cinta Rabb kepadanya yaitu:

1. Membaca al-Qur`an dengan mentadabburinya dan memahami makna-maknanya dan maksudnya (tafsirnya).

2. Mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah setelah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang sesuatu yang beliau riwayatkan dari Rabbnya , “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hambaKu senantiasa mendekatkan dirinya kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari).

3. Terus menerus berdzkir kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam setiap kondisi, baik dengan lisan, hati, ataupun dengan perbuatan. Maka besarnya kecintaan seseorang (kepada sesuatu) sebesar dan sebanyak dzikirnya kepadanya. Dan barangsiapa yang mencintai sesuatu, niscaya akan banyak mengingatnya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits qudsi, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, “Aku sebagaimana perasangka hambaku kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila dia mengingatKu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) Dan Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28).

4.Mengutamakan kecintaaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas kecintaan kepada dirimu sendiri ketika diliputi hawa nafsu, dan mengikuti serta mentaati RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).

Telah disebutkan tanda cinta, buah dan manfaatnya, maka tanda cinta (seseorang) kepada Allah Subhanahu Wata’ala adalah mengikuti RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam , sedangkan manfaat dan buahnya adalah kecintaan Allah Subhanahu Wata’ala kepada siapa saja yang mengikutinya (RasulNya). Maka jika tidak ada al-Mutaba’ah (mengikuti RasulNya), ini menunjukkan bahwa cintanya adalah dusta (tidak benar).

5. Menelaah/mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala , mengakui dan mengenalnya serta menelusuri dan menyelaminya di dalam taman-taman pengetahuan (tentangnya). Maka barangsiapa yang mengenal Allah Subhanahu Wata’ala dengan nama-nama dan sifat-sifatNya, serta perbuatan-perbuatanNya pasti dia akan mencintaiNya.

6. Mengakui kebaikan Allah Subhanahu Wata’ala dan nikmat-nikmatNya yang tampak (Zhahir) maupun yang tidak tampak (bathin), karena sesungguhnya hal itu dapat memotivasi seseorang untuk mencintai Allah Subhanahu Wata’ala , dan sungguh hati ini tercipta (fitrahnya) mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.

7. Menundukkan hati sepenuhnya di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.

8. Berkhalwat (menyendiri untuk beribadah) dengan Allah Subhanahu Wata’ala pada waktu Dia turun di akhir malam untuk bermunajat kepadaNya dan membaca kitabNya (al-Qur`an) kemudian mengakhiri ibadah kepadaNya dengan memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya. Karena waktu itu adalah waktu pembagian rampasan perang (keuntungan) dan hadiah-hadiah (dari Allah ), ada yang dapat sedikit, ada yang dapat banyak, dan ada pula yang diharamkan (tidak memperoleh sedikitpun).

9. Berteman/bergaul dengan orang-orang yang mencintai (Allah dan RasulNya ) dan orang-orang yang jujur/ benar (keimanannya), dan mengambil yang terbaik dari buah pembicaraan mereka, dan hendaklah kamu tidak berbicara kecuali benar-benar pembicaraanmu terdapat maslahat dan kamu mengetahui bahwa di dalam ucapanmu terdapat tambahan kebaikan untukmu dan bermanfaat buat orang lain.

10. Menjauhi segala sebab yang dapat menjadi penghalang hati ini dengan Allah Subhanahu Wata’ala.

Di antara sebab-sebab yang sepuluh ini, maka insya Allah sampailah para pecinta kepada lokasi-lokasi cinta dan bertemu dengan sang kekasih. (Abu Nabiel).

Sumber: Diterjemahkan dari kitab, “An-Nuqath al-’Asyru adz-Dzahabiyah”, karya: Syaikh Abdur Rahman bin Ali ad-Dusary.

FATWA ISLAMI

Hukum Merayakan Hari Ulang Tahun

Tanya :

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditannya tentang Apakah hukum merayakan Hari Ulang Tahun ?

Jawab :

Merayakan Hari Ulang Tahun tidak ada landasannya dalam agama kita yang suci bahkan ia adalah bid’ah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , “Barangsiapa yang mendatangkan suatu perbuatan baru (mengada-ada) dalam urusan kita ini (agama) sesuatu yang bukan darinya maka hal itu adalah ditolak”. (Muttafaq ‘alaih). Dan dalam lafazh Imam Muslim yang dita’liq kan (diriwayatkan secara mu’allaq) oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya dengan lafazh yang Jazm (tegas, pasti), “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang bukan dari urusan kami (agama) maka hal itu adalah ditolak”.

Telah diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah merayakan Hari Lahir (Hari Ulang Tahun) beliau selama hidupnya, tidak juga memerintahkan hal itu serta tidak pernah mengajarkannya kepada para shahabat beliau.. demikian juga halnya dengan para al-Khulafaur Rasyidun. Dan seluruh shahabat beliau tidak pernah melakukan hal itu padahal mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui sunnah Nabi, orang-orang yang paling dicintai oleh beliau dan orang-orang yang paling komitmen dalam menjalankan ajaran beliau. Maka andaikata perayaan Hari Lahir (Maulid Nabi) adalah disyari’atkan niscaya mereka pasti berlomba-lomba merayakannya. Begitu juga (hal ini) tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh seorang pun dari para ulama yang hidup pada abad-abad utama. Maka berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan termasuk ajaran syara’/agama yang karenanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus dan kami bersaksi di hadapan Allah dan seluruh kaum Muslimin bahwasanya andaikata beliau melakukan atau memerintahkannya atau dilakukan oleh para shahabatnya niscaya kami akan berlomba-lomba untuk melakukannya dan menyeru kepadanya sebab kami – alhamdulillah – adalah termasuk orang-orang yang paling komitmen dalam mengikuti sunnah beliau dan mengagungkan perintah dan larangannya. Kami memohon kepada Allah agar kami dan seluruh kaum Muslimin dapat berketetapan hati (tsabat) dalam menjalankan kebenaran dan terhindar dari setiap hal yang bertentangan dengan syara’ Allah yang suci, sesungguhnya Dia adalah Maha Pemurah lagi Mulia. [al-Fatâwa al-Jâmi’ah lil Mar-ah al-Muslimah, Jld. III, hal. 1099].