KEEMPAT : FENOMENA PENDUDUKAN, DEMONTRASI, REVOLUSI RAKYAT, DAN PEMOGOKAN

Di antara cobaan yang menimpa masyarakat Islam saat ini adalah adanya kelompok-kelompok atau partai-partai yang melakukan pendudukan dengan duduk-duduk di masjid-masjid, jalan-jalan, lapangan-lapangan umum, atau di sebagian gedung-gedung pemerintah. Mereka pun melakukan apa yang dinamakan pemogokan, yaitu mereka tidak makan, tidak minum dan tidak bekerja selama beberapa hari atau beberapa jam yang sudah ditentukan. Tujuan mereka melakukan pemogokan adalah untuk menekan pemerintah agar bersedia memenuhi permintaan mereka atau apa yang mereka tuntut.

Mereka pun melakukan pemberontakan rakyat, melakukan pemukulan terhadap ini, menyakiti terhadap itu, memecahkan bangunan-bangunan berkaca, kaca-kaca mobil, dan yang lainnya termasuk melakukan peledakan. Mereka menyangka bahwa dengan hal itu mereka sedang berkhidmat kepada Islam. Padahal sebenarnya mereka sedang memudharatkan kaum Muslimin, menguasakan pemerintah atas mereka, merusak dakwah ke jalan Allah, dan yang lainnya dari bentuk perusakan atau kemudharatan.

Yang mulia al-‘Allamah Ibnu Baz ditanya (Ket : Dinukil dari kaset berjudul Muqtathofat min Aqwalil Ulama.), “Apakah demontrasi yang dilakukan kaum pria dan wanita untuk menentang pemerintah dan para penguasa, dianggap sebagai suatu sarana dari sarana-sarana dakwah? Dan apakah orang yang meninggal pada kegiatan tersebut dianggap syahid di jalan Allah?”

Ia menjawab, “Saya tidak melihat bahwa demontrasi yang dilakukan kaum pria dan wanita itu merupakan cara menyelesaikan masalah, bahkan hal itu dapat menimbulkan fitnah, menjadi penyebab keburukan, menjadi penyebab penganiayaan terhadap sebagian orang, dan menyerang sebagian orang tanpa alasan yang benar. Tetapi yang dibenarkan menurut syari’ah adalah memberikan surat (peringatan secara tertulis), memberikan nasihat, berdakwah (mengajak kepada) kebajikan dengan cara yang benar. Inilah jalan yang ditempuh oleh para ahli ilmu, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan para pengikutnya yang dilakukan dengan cara yang baik. Yaitu dengan cara menyampaikan secara tertulis atau secara lisan terhadap orang yang bersalah, para pejabat, atau terhadap para penguasa. Juga de-ngan menghubunginya, menasihatinya, dan mengirim surat kepadanya, tanpa harus mencelanya di mimbar-mimbar atau selainnya, dengan menyebarkan apa yang telah diperbuatnya dan akibat yang ditimbulkannya. Allah-lah tempat kami memohon pertolongan.”

Fadhilah asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Apakah hukumnya melakukan mogok kerja di negeri Muslim untuk menuntut jatuhnya sistem sekuler?”

Ia menjawab, “Pertanyaan ini tidak diragukan sangat penting dan sebagai pengarahan bagi para pemuda Muslim. Hal itu disebabkan bahwa keputusan untuk mogok kerja, baik pekerjaan yang bersifat khusus atau pekerjaan di bidang-bidang pemerintahan, saya tidak tahu masalah ini ada dasarnya dalam syari’ah yang dapat dijadikan patokan. Tidak diragukan bahwa perbuatan ini dapat mengakibatkan banyak kemudharatan sesuai dengan kadar mogok kerjanya yang dilakukan secara merata dan sesuai dengan motif mogok kerja ini. Juga tidak diragukan bahwa hal ini merupakan salah satu cara untuk menekan pemerintah. Adapun yang dimaksud dalam pertanyaan tersebut adalah tentang menjatuhkan faham sekuler. Untuk menjawab hal ini kita harus membuktikan dulu bahwa sistemnya sekuler. Kemudian, jika persoalan tersebut demikian adanya, maka ketahuilah bahwa penentangan terhadap pemerintah tidak boleh, kecuali dengan beberapa syarat. (Baca kembali syarat-syarat ini dalam kitab “ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawaabith wa Taujihaat”, halaman 287.)

Fadhilah al-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya lagi, “Setelah pemogokan ini dilakukan, tetapi tidak mendatangkan hasil. Apakah diperbolehkan [untuk menentang] sistem sekuler ini dengan cara mengobarkan revolusi rakyat?” (“Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawaabith wa Taujihaat”, karya Ibnu ‘Utsaimin, hal 288-289)

Ia menjawab, “Saya berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pemberontakan rakyat untuk menyelesaikan masalah ini. Dikarenakan seperti yang sudah dimaklumi bahwa kekuatan riil ada di tangan pemerintah. Pemberontakan rakyat bagi pemerintah tidak memiliki apa-apa kecuali pisau dapur atau tongkat Pengembala. Senjata seperti ini tidak bisa menghadapi tank-tank baja dan berbagai macam senjata. Tetapi memungkinkan untuk melakukannya dengan cara lain jika syarat-syarat yang sudah dikatakan dapat dipenuhi. Dan seharusnya tidak terburu-buru untuk menyelesaikan masalah ini, karena negeri yang telah bertahun-tahun dijajah tidak mungkin untuk dirubah dalam sehari semalam menjadi suatu negeri yang Islami. Tetapi yang seharusnya adalah mengambil nafas panjang untuk meraih cita-cita.

Jika seorang manusia membangun sebuah istana, sesungguhnya ia telah membangun dasarnya. Walaupun pada akhirnya ia menempatinya atau bahkan meninggal sebelum menempatinya. Yang penting adalah membangun bangunan yang Islami, walaupun hal itu tidak bisa terwujud kecuali setelah bertahun-tahun. Karena itu, saya berpendapat agar jangan terburu-buru untuk menyelesaikan persoalan seperti ini, dan tidak perlu mengobarkan pemberontakan rakyat Yang mayoritas adalah seperti burung beo yang tidak tegar dalam prinsip. Jika angkatan bersenjata datang ke sebuah kampung dan mengobrak abriknya, tentu yang lain akan mundur dari perjuangannya.”

Fadhilah al-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya lagi, Pemogokan dan perkumpulan masa itu disertai oleh para pemuda yang berkosentrasi di lapangan-lapangan, seperti melakukannya di lapangan-lapangan pemerintahan. Pada malam hari mereka tidur di tempat-tempat tersebut. Maka apakah hukum pendudukan ini? Dan apakah ada dasarnya dalam syari’at? ((“Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawaabith wa Taujihaat”, karya Ibnu ‘Utsaimin, hal 289)

Ia menjawab, “Tidak diragukan bahwa pemogokan ini merupakan salah satu dari cara menekan pemerintah. Dan yang saya ketahui hal ini merupakan import dari [Barat]. Tetapi disadari bahwa semua sarana harus sesuai dengan tujuannya. Dan hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Jika sarana itu bukan sesuatu yang diharamkan. Maka pendudukan ini dihukumi seperti hukum pemogokan, sebagaimana yang sudah dijelaskan.”

Fadhilah Syaikh Ibnu jibrin ditanya, “Apa hukumnya menyerukan untuk melakukan pendudukan di masjid-masjid atau tempat semisalnya? Apakah hal itu ada dasarnya dalam syara’, terutama Ia dapat memprovokasi orang-orang terhadap para penguasa?”

Ia menjawab, “Al-I’tisham adalah kata yang bermakna baik. Maknanya berpegang teguh kepada kebenaran dan mengamalkannya walaupun untuk memperolehnya mendapatkan kemudharatan atau kesulitan. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Barangsiapa berpegang teguh kepada agama Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” dan “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali agama Allah.” (Ali Imran: 101 dan 103)

Kata al-I’tisham terkadang digunakan untuk menjelaskan makna melakukan perlindungan dengannya atau berlindung di dalamnya, seperti berlindung di dalam benteng dan bunker yang kokoh ketika terjadi huru hara atau peperangan.

Adapun masjid-masjid adalah rumah tempat ibadah, yang mana di dalamnya didirikan shalat Jumat dan shalat berjama’ah. Kaum Muslimin berduyun-duyun mendatanginya untuk menunaikan shalat wajib. Hal tersebut tidaklah dinamakan sebagai suatu pendudukan, bahkan itu adalah suatu ketaatan dan suatu pendekatan kepada Allah, serta tidak dikhususkan untuk kelompok tertentu, bahkan setiap Muslimin di setiap waktu hadir di masjid. Setelah melakukan ibadah mereka kembali kepada keluarganya masing-masing. Hal ini tidak dinamakan pendudukan secara khusus.

Memakmurkan masjid-masjid dengan beribadah tidak Mengandung unsur provokasi atas orang umum dan khusus. Tetapi jika di sana ada propaganda untuk bergabung dengan kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan sesuatu yang samar, atau untuk melakukan demontrasi dan mengecam, maka hal itu tidak diperbolehkan, bahkan harus dicegah dan ditangkap pelakunya. Kalau bukan digunakan untuk hal seperti itu, maka orang yang akan melakukan kegiatan ibadah di masjid-masjid atau di sekolah-sekolah tidak boleh dicegah. Wallahu A’lam.”

Fadhilah Syaikh Ibnu Jibrin ditanya lagi, “Apa pendapat anda dalam masalah pendudukan yang dilakukan sebagian pemuda di sebagian negeri-negeri Islam. Mereka melakukannya di lapangan-lapangan umum atau di gedung-gedung pemerintahan, atau di sebagian masjid-masjid, dengan tujuan untuk menekan pemerintah dan menjatuhkannya, kemudian menggantinya dengan pemerintahan Islam?”

“Terkadang pendudukan ini disertai dengan mogok makan, minum, dan mogok kerja, selama berjam-jam atau berhari-hari, untuk menunjukkan kebenciannya kepada pemerintah. Adakalanya seba-gian dari mereka meninggal dunia karena kelaparan dengan sebab mogok makan itu. Sebagaimana yang terjadi di sebagian penjara di sana.”

Ia menjawab, “Setiap hal itu tidak diperbolehkan karena akan mendatangkan kemudharatan bagi jiwa, menganiaya warga negara dan orang-orang tidak berdosa. misalnya pemerintahan memberikan sanksi yang keras terhadap para pemberontak, dan menyamaratakan hukumannya terhadap kebanyakan warga negara, walaupun mereka tidak ikut serta dalam pemogokan itu atau mengingkarinya, dan dalam hal itu terdapat kerusakan yang besar. Dan yang wajib dalam hal ini adalah mereka harus memperbaiki jiwa-jiwa mereka, karena kebaikan seorang pemimpin [terwujud] dengan kebaikan rakyatnya. Dalam suatu hadits, “Sebagaimana kalian ada kalian akan dipimpin.” Maka ketika rakyatnya baik, menegakkan syari’at, mengerjakan ibadah, mendengarkan, melakukan ketaatan, menjaga hak-hak Allah, maka Allah akan memperbaiki pemimpin yang mengurus mereka, dan memilih yang terbaik di antara mereka.

Sebagaimana rakyat wajib memperbanyak doa bagi mereka, memohon kepada Allah agar memperbaiki pemimpin yang mengurus mereka, dan agar menjadikan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka Allah wajib mengabulkan doa mereka jika mereka benar-benar ikhlas. Mereka pun memberi nasihat kepada para pemimpin dan mengingatkan mereka terhadap hak-hak Allah, dan memperbaiki perilakunya agar bersikap adil. Dan bagaimana hasilnya? Maka hal itu akan memperbaiki keadaannya dan membuatnya lurus.”

Fadhilah Syaikh Ibnu Jibrin ditanya lagi, “Apakah hukumnya melakukan pemberontakan rakyat membeo yang disertai, dengan menghancurkan bangunan-bangunan, mobil-mobil, mencela pemerintah atau keluarganya, serta memukul orang-orang. Terkadang hal itu menyebabkan terjadinya bentrokan antara aparat pemerintah dengan para pendemo, dan tertumpahnya darah karena sebab itu?”

“Kami mengharapkan anda dapat menjelaskan kebenaran dalam masalah yang mengkhawatirkan ini, dan memberikan pengarahan dan nasihat bagi para pemuda Muslim di negeri-negeri Muslimi agar meninggalkan perbuatan ini dan perbuatan caci makinya, dan memusatkannya untuk mendidik manusia terhadap Islam yang benar dan menuntut ilmu?” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, kaya Syaikh Ibnu Jubair, bab Aqidah (juz II))

Ia menjawab, “Tidak diragukan bahwa pemberontakan ini tidak bersumber dari para ahli ilmu dan ahli kebaikan, karena amanah dan agama yang benar akan mencegah mereka dari melakukan perbuatan yang merusak ini, juga dikarenakan [minimnya] pengetahuan mereka terhadap kehormatan darah kaum Muslimin dan harta mereka. Sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diketengahkan kepada mereka,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian diharamkan.” (Potongan dari hadis khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ra Qurban. Dikeluarkan al-Bukhari no.1739, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu. Muslim no.1679 dari Abu bakar radhiallahu ‘anhu.) Yaitu haram [tidak diperbolehkan menumpahkan atau merampasnya. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

“Janganlah kalian kembali kafir setelahku, sebagian dari kalian menebas pundak yang lainnya.” (Dikeluarkan al-Bukhari no.7080, Muslim no.65, dari Jabir radhiallahu ‘anhu. Dikeluarkan al-Bukhari no. 7077, Muslim no.66, dari Umar radhiallahu ‘anhu dikeluarkan al-Bukhari no.7078 dari Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, dikeluarkan al-Bukhari no.7079, dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu.) Dan sabdanya,

سِبَابُ الْمُسْلِم فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang Muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Dikeluarkan al-Bukhari no.48, Muslim 64 dari hadis Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.)

Tidak diragukan bahwa nama Islam mencakup setiap orang yang beriman dari ahli kiblat, dan tidak dibolehkan mengeluarkannya dari Islam. Dan tidak ada hukum yang menghalalkan darah dan hartanya, walaupun ia berbuat dosa atau kesalahan dari ijtihad, ta’wil, atau memandang kemaslahatannya, dan (walaupun) di dalam menyalahi nash atau dalil. Karena itulah tidak diizinkan berbuat pelanggaran, mengadakan demontrasi dengan teriakan-teriakan jahiliyah, berbuat kerusakan terhadap harta, jiwa, dan buah-buahan, yang dengan sebab ini pemerintah dapat menguasai para pendemo dan membasmi mereka. Maka yang lebih utama adalah mencukupkan dengan memperbaiki jiwa-jiwa mereka dan orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Demikian pula dengan memberi nasihat, pengarahan, dan menunjukkan kepada kebaikan dengan cara yang baik, dan berkeinginan untuk mempersatukan kalimat kaum Muslimin, serta menghilangkan di antara mereka dari perbedaan-perbedaan yang menyebabkan kekacauan di tengah masyarakat Islam.”

Dan akhirnya, saudaraku sesama Muslim,
Sesudah kita mengetahui hukum peledakan (sabotase) ini, apakah orang yang berakal mau memikirkan hal seperti itu?

Wahai para pemuda, wahai kaum Muslimin,
Jika kalian menghendaki kebaikan, persatuan, dan kekokohan, maka kalian harus berakhlak dengan akhlak para salafus shalih dari umat ini.

Apakah di antara akhlak mereka ada perbuatan seperti itu?
Sesungguhnya kami tidak mendengar mereka melakukan pendudukan, pemogokan, dan pemberontakan yang menghasut. Ketahuilah bahwa perubahan dimulai dari jiwa-jiwa dan tidak akan membutuhkan banyak bantuan, kekuatan informasi, keributan orang yang bertepuk tangan, dan memenuhi lapangan-lapangan dan jalan-jalan dengan banyak kelompok-kelompok yang teriakan-teriakannya memecahkan tenggorokan. (At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fii Istisnaaf al-Hayah al-Islamiyah, hal 128)

Utstadz Muhammad Quthub semoga Allah memberinya taufik, dalam kitabnya, “Waqi’atunaa al-Mu’aashir” (At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fii Istisnaaf al-Hayah al-Islamiyah, hal 136) membicarakan tentang Harakah al-Islamiyah yang terdapat di Mesir, baik secara eksternal dan internal. Ia berkata, “Secara intern mereka tergesa-gesa dalam menampakkan kekuatan jemaahnya, baik dengan melakukan parade bermotor, atau dalam demontrasi dan berjalan kaki. Atau ikut serta dalam percaturan masalah-msalah politik yang bergejolak pada saat itu, seperti memerangi paham komunis. Seakan-akan jemaah ini pada setiap waktu ingin mengatakan, “Kami di sini, kami sanggup berbuat ini…! Sampai kepada perkataannya, “…lepas dari percaturan politik yang bergejolak pada saat itu, bolehkah bagi jemaah Muslimah ikut serta berperan di dalamnya? Atau bahwa kewajibannya adalah menyerukan dengan benar tentang manhaj (petunjuk) kehidupan yang pokok, menegakkannya dengan kokoh, dan menyempurnakan pendidikan yang dituntut- terburu-buru dalam bergerak se belum tiba masanya- akan berakibat Berubahnya kiblat perjuangan.

Wahai kaum Muslimin,
Sesungguhnya semangat yang menyebabkan keributan, hasutan, tanpa hikmah, dan tidak meruju kepada al-Qur’an, as-Sunnah, dan pemahaman salafus shalih, adalah keberanian yang sesat, menyesatkan, dan tidak membawa manfaat. Umat Islam wajib mengetahui bagaimana memikirkannya dan apa yang wajib dilakukan agar terjauh dari perasaan berbantah-bantahan, keberanian yang tidak berarti, pesta besar-besaran, perkara yang bergema! Dan yang lainnya dari banyak cara yang tidak diambil manfaatnya oleh kaum Muslimin-sayang sekali- di antaranya mereka melewati percobaan yang mereka ikut berperan di dalamnya, atau musibah yang mereka jatuh ke dalamnya, sebagai tambahan dari kesulitan yang datang bertubi-tubi. Hasil dari reaksi perasaan dan keberanian seperti itu adalah tidak adanya pentahapan dan kesadaran yang benar terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabinya, “Maka adakah orang yang mengambil pelajaran.’ (al-Qamar: 15)