KEENAM : MELANGGAR PERATURAN-PERATURAN UMUM

Ulil Amri membuat peraturan-peraturan umum, seperti peraturan lalu lintas, peraturan imigrasi dan yang lainnya yang bertujuan untuk mengatur prilaku dan aktivitas manusia serta mencegah terjadinya kekacauan, dengan harapan kondisi masyarakat menjadi aman tenteram tiap individunya, mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya, bahkan lebih dari itu, dapat mendatangkan maslahat umum, khususnya di masa sekarang ini yang mana semangat beragama nampak lemah di kalangan mayoritas umat, tidak ada yang dapat mengekang mereka kecuali peraturan. Allah mengontrol dengan kekuasaan apa yang tidak dikontrol dengan al-Qur’an. Karena itu, tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk keluar atau melanggar peraturan-peraturan yang telah dibuat Ulil Amri. Kecuali dalam kondisi darurat sesuai dengan kadarnya. Seperti keadaan mobil ambulance dan semacamnya.

Ulil Amri boleh menjatuhkan sangsi pada orang yang melanggar peraturan-peraturan ini sesuai dengan apa yang dia lihat atau yang dilihat oleh wakilnya, sejalan dengan undang-undang yang telah dibuat negara untuk menghukum orang yang melangar.

Adapun dasar yang mengharuskan melaksanakan peraturan dan taat pada Ulil Amri adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ

“Tidak ada taat pada makhluk dalam perbuatan yang maksiat pada Allah Ta’ala” (Dikeluarkan Imam Ahmad di dalam Musnadnya (Juz I Hal. 131, 409) Hadits dari Ali radhiallahu ‘anhu, Ahmad Syakir di dalam Tahkik Musnad (1095) ia berpendapat bahwa hadits tersebut shahih. Demikian pula al Bani menshahihkannya di dalam kitab al Silsilah Al Shahihah (179-181))). Apabila peraturan tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan untuk kaum Muslimin dan tidak terdapat madharat serta tidak bertentangan dengan syari’at Allah Ta’ala, maka peraturan itu harus ditaati dan tidak boleh dilangar. Tapi jika peraturan itu bertentangan dengan syari’at Allah Ta’ala dan mengandung unsur maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah di dengar dan ditaati.

Fadilah Syaikh Shalih al-Fauzan berkata (Kitab Dakwah (7), Fatwa- fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan (1/125).), “Wajib taat kepada Ulil Amri dalam aturan yang tidak menyalahi syari’at dan tidak boleh mengada-adakan alasan untuk tidak mentaatinya. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang- orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu” (an-Nisa: 59).

Keluar dari aturan seperti yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang mungkin karena tipu daya, toleransi, suap, dan atau mungkin karena ambisi serta yang lainnya. Tidak diragukan lagi sikap demikian akan membawa kehancuran dan hilangnya rasa aman.

Demikian pula halnya keluar dari peraturan (melangar) terkadang muncul sebagai dampak dari pengaruh pemikiran buruk dan menyimpang yang di impor, kemudian masuk ke dalam agama Islam. Seperti keyakinan sebagian orang bahwa Ulil Amri itu tidak menghukumi dengan syariat Allah, karena peraturan-peraturan ini tidak terdapat dalam kitab Allah dan tidak terdapat dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tapi ini adalah peraturan buatan manusia. Oleh sebab itu, tidak boleh taat pada peraturan yang dibuat Ulil Amri. Hal demikian merupakan pendapat dan pemahaman yang keliru, karena jauh dari pemahaman kitab dan sunnah sebagaimana yang telah dipahami ulama salafus shalih.

Syaikh Ibnu Baaz ditanya (Ket : Muraja’ah fi Fiqh al-Waqi’ as-Siyasi wa al-Fikri. Dr. Abdullah Al Rifa’I, hal 30.), “Ada orang yang berpendapat bahwa dirinya berhak keluar dari aturan-aturan umum yang dibuat Ulil Amri, seperti peraturan lalu lintas, perpajakan (bea cukai), keimigrasian, dan lainnya. Dengan alasan bahwa aturan-aturan itu tidak memiliki landasan syar’i. Ya syaikh Hafizhakallah, bagaimana pendapatmu tentang hal ini?”

Beliau menjawab, “Pendapat seperti itu tidak benar dan tergolong mungkar. Di awal telah kukatakan bahwa tidak boleh keluar dari aturan-aturan itu dan tidak boleh berupaya untuk merubahnya dengan kekerasan, tapi harus selalu mendengar dan taat kepada aturan-aturan yang tidak mungkar dan tidak menyalahi syari’at, sedangkan Ulil Amri telah membuat peraturan-peraturan itu untuk kemaslahatan, seperti rambu-rambu lalu lintas. Kita harus tunduk dan taat kepadanya, karena ini di antara aturan yang baik dan mengandung maslahat untuk umat.

Adapun sesuatu yang mungkar, seperti dalam aturan pajak, beliau berpendapat bahwa dalam hal itu tidak boleh taat dan harus menasihati Ulil Amri agar kembali pada aturan Allah. Dalam menasehatinya harus dengan cara yang baik dan tidak dengan kekerasan, menumpahkan darah, atau menyiksa tanpa ada alasan yang jelas. Tidak, tidak demikian, karena melaksanakan demikian harus dengan prosedur penguasa, harus memiliki wilayah yang hak untuk melakukannya. Maka jika kedua ini tidak ada, cukuplah menasihati, cukuplah menunjukkan dan mengarahkan, kecuali kepada orang yang ada dibawah kekuasaannya, seperti anak, istri, dan lainnya.”

Kemudian beliau ditanya lagi (Ket : (Fatwa- fatwa Islam, Karangan Muhamad Al Musnad, Juz 4 Hal. 536.), “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang melanggar peraturan lalu lintas, seperti melewati lampu merah?”

Beliau menjawab, “Seorang muslim tidak boleh melanggar peraturan negara, di antaranya dalam hal peraturan lalu lintas, karena melanggar peraturan tersebut terdapat bahaya besar bagi dirinya dan bagi yang lainnya. Sedangkan negara membuat peraturan tersebut sebagai penjagaan dari bahaya dan untuk kemaslahatan umum, serta menghilangkan mudharat dari masyarakat.”

Karenanya, tidak boleh siapa pun melanggarnya. Bagi Ulil Amri yang berwenang harus memberikan sangsi pada orang yang melanggar sesuai dengan pelanggaran yang ia lakukan, sebab Allah telah memberikan keleluasaan pada penguasa apa yang tidak diberikan oleh al-Qur’an, sementara mayoritas umat manusia kurang sadar untuk mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, malah justru mereka mengembalikannya pada penguasa dengan berbagai sanksi. Hal itu tentu tidak akan terjadi, kecuali karena rendahnya iman kepada Allah dan hari akhir, atau karena mengikuti kebanyakan manusia, seperti firman Allah Ta’ala, “dan sebagian manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (Yusuf: 103)”

Fadilah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata (Ket : Lihat syarah Riyadush Shalihin Ibnu Utsaimin, Juz II, Hal. 493-496. Kitab Al Taqwa Hal. 36 dalam tulisan saya):), “Seseorang tidak boleh bermaksiat pada Ulil Amri selama ia tidak bermaksiat kepada Allah Ta’ala, ia katakan bahwa, larangan ini bukan dari agama, karenanya sebagian orang bodoh berpendapat apabila Ulil Amri membuat suatu aturan yang tidak menyalahi syari’at kita tidak mesti melaksanakan aturan tersebut, sebab ini bukan syari’at, tidak ditemukan dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dan ini tentu karena kebodohannya.”
[pJustru kita mengatakan bahwa, aturan ini justru terdapat dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri diantara kamu”(an-Nisa: 59). Terdapat pula beberapa hadits Nabi yang menyuruh taat kepada Ulil Amri.”

Kemudian beliau ditanya lagi (Ket : Liqa’ al-Maftuh, Ibnu Utsaimin, Juz 8 Hal. 19, 20), “Memperhatikan aturan kecepatan yang tertulis di rambu-rambu, sementara kendaraan itu berbeda-beda, umpamanya, kalau bepergian memakai kendaraan yang mewah dengan kecepatan 120 Km, seakan-akan tidak terasa melaju maka ini tidak termasuk cepat. Apakah ada dispensasi kalau pengemudi menjalankan sampai 140- 150 km?”

Beliau menjawab, “Standar kecepatan yang ditentukan pada tempat-tempat tertentu, pada dasarnya wajib atas setiap orang untuk menaatinya, sebab itu adalah perintah dari dari Ulil Amri sedangkan Allah firman Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri diantara kamu”(an-Nisa: 59).

Yang terpenting adalah menjaga dan melaksanakan aturan- aturan yang dibuat Ulil Amri, kalau kendaraan seakan-akan berhenti hingga tidak terasa laju kecepatannya, tapi itu dianggap kecepatan tingi. Karenanya meskipun terasa berhenti, namun jika tersenggol, baru akan terasa kecepatannya dan akan membawa pada kecelakaan (Ket : al Kafar menurut orang Hijaz dan Nejed: Kecepatan kendaraan) Begitu juga kalau ia mengira dengan kecepatan tinggi itu tetap merasa aman dari kecelakaan, tapi apakah akan benar-benar aman jika didepannya ada onta atau binatang ternak yang melintas?

Bagaimanapun, pada prinsipnya, wajib pada setiap orang taat dan mengikuti peraturan yang dibuat oleh negara/Ulil Amri dan tidak boleh menyalahinya, kecuali apabila bermaksiat kepada Allah dan Rasul.”

Lalu beliau mendapat pertanyaan lagi, “Kalau seseorang naik mobil dengan laju kecepatan lebih dari 120 km/jam, atau melanggar rambu-rambu lalu lintas kemudian dengan sebab itu terjadi tabrakan sampai ia meninggal atau orang yang ada di mobil lainnya juga meninggal, apakah ini termasuk ke dalam pembunuhan yang di-sengaja atau pembunuhan menyerupai disengaja?” (Ket : Fatwa-fatwa dan Petunjuk dalam perjalanan dan Berkendaraan, Utsaimin Hal. 80.) Apakah boleh melewati tanda lampu merah apabila tidak ada dari arah lainnya kendaraan dengan melihat kaidah ushul hukum itu berjalan bersama dengan ‘illatnya, ada atau tidak adanya?”

Beliau menjawab, “Masalah kecepatan tidak mungkin kita dapat menentukan batasnya dengan batas tertentu karena tingkat kecepatan itu berbeda-beda. Ada perbedaan antara garis umum untuk cepat dan garis khusus untuk cepat. Ada juga perbedaan antara seseorang yang berjalan di jalan tol dan seseorang yang berjalan di jalan biasa. Namun, yang penting bahwa kecepatan itu ditentukan menurut keadaan di mana kita berjalan tidak mungkin dapat ditentukan dengan pasti, begitu juga dengan keadaan kendaraan yang berbeda-beda. Ada kendaraan yang apabila berjalan lebih dari kecepatan 120 km/jam akan berbahaya, dan ada yang berjalan bisa lebih cepat dari 120 km/jam tapi tidak berbahaya. Yang jelas pada setiap maqam itu terdapat maqal.

[Adapun apabila kecepatan ditentukan Dari pihak yang berwenang, maka wajib mengikutinya sesuai dengan kondisi. Menurut pendapatku, masalah yang berkenaan dengan rambu-rambu lalu lintas kita tidak boleh melanggarnya, karena firman Allah , “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri diantaramu” (an-Nisa: 59). Apabila Ulil Amri membuat aturan rambu-rambu lalu lintas yang menyuruh untuk berhenti atau berjalan, maka aturan rambu-rambu lalu lintas ini keadaannya tergantung instruksi, ini wajib taat. Kemudian aku bertanya pada kepala polisi di kerajaan Saudi Arabia tentang rambu-rambu lalu lintas. Ia berkata, rambu-rambu bukan untuk aturan, tapi hanya untuk menghentikan atau melarang, maka kalau keadaannya demikian, tidak akan nyata apa yang dikemukakan penanya tadi. Yang menyatakan bahwa hukum itu berjalan bersama dengan illatnya, ada atau tidak adanya, sedang suruhan ini menyu-ruh berhenti tidak mengandung arti berhentilah kalau yang lainnya sedang sibuk atau aktif, akan tetapi berarti berhentilah tepat sesuai isyarat. Karenanya, maka tidak boleh bagi seseorang melewatinya, kemudian kalau melihat dari arah lain kosong, lantas tiba-tiba seseorang melintas dengan cepat sebab ia melihat ada isyarat dibolehkannya lewat. Namun, tak diduga ada yang melintas dari arah lain hingga terjadi tabrakan. Dengan demikian aku berpendapat yang wajib itu adalah berhenti yang paling-paling kadarnya tidak lebih lama dari tiga menit. Adapun mengenai pertanyaan apakah ia terbunuh sengaja atau menyerupai sengaja, sebenarnya hal itu bukan katagori sengaja dan tidak menyerupai disengaja.”

Fadhilah asy-Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, “Apa hukum melanggar peraturan dan rambu-rambu lalu lintas yang dibuat atas dasar untuk kemaslahatan dan menjaga keselamatan umum?” (Majalah Dakwah, edisi 1625, 10-09-1418 H/08-01-1998 M.)

Beliau menjawab, “Tidak boleh melanggar peraturan rambu-rambu lalu lintas yang dibuat untuk mengatur perjalanan dan menjaga timbulnya kecelakaan, seperti rambu-rambu yang dibuat untuk menghentikan laju kendaraan dan mengurangi kecepatan. Tanda panah adalah larangan masuk dan larangan berhenti, garis persegi panjang untuk larangan melaju terus. Aturan tersebut dibuat agar dipatuhi yang insya Allah dapat melindungi dan memini-malisasi terjadinya kecelakaan. Jika seseorang mematuhi dan melak-sanakannya maka ia akan mendapat kemaslahatan.”

Dengan demikian, orang yang mengetahui tujuan dibuatnya peraturan tersebut kemudian ia melanggarnya, maka ia dianggap orang yang bermaksiat pada negara, dan berarti ia telah menjerumuskan diri pada bahaya sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Undang-undang yang dibuat negara untuk menindak para pelanggar ada yang berupa denda, berupa siksa, membayar denda dengan harta, dan ada yang berupa penjara. Sangsi-sangsi itu mengandung pengaruh besar dalam meminimalisasi pelanggar seperti yang terjadi di beberapa negara. Wallahu ‘alam.”

Fadhilah Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya (Ket : Majalah Dakwah, edisi 1623, 25- 08- 1418 H/25- 12- 1997 M.), “Apa hukum melanggar peraturan rambu-rambu lalu lintas yang dibuat atas dasar untuk kemaslahatan dan menjaga keselamatan umum?”

Beliau menjawab, “Tidak diperbolehkan melangar peraturan lalu lintas, karena peraturan-peraturan tersebut dibuat untuk kemaslahatan umum dan karena mematuhinya berarti taat pada Ulil Amri, serta berupaya menjaga dari terjadinya kecelakaan. Karena itu, orang yang melanggarnya berarti ia telah menjerumuskan diri sendiri dan juga orang lain pada bahaya kecelakaan dan kemadharatan.”

Syaikh Ibnu Baaz berkata (Ket : Sumber; kaset tentang keharusan berjamaah, ta’liq syeikh Ibnu Baaz dalam Nadwahnya tentang keharusan berjamaah dan bahaya perpecahan.), begitu pula jika menaati Ulil Amri yang kafir dalam persoalan yang mubah, bukan dalam masalah halal dan haram. Seperti dijelaskan dalam hadits Ady bin Hatim. (Ket : Bahwasannya Adi bin Hatim seorang nasrani yang kemudian masuk Islam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadanya dan membacakan Firman Allah “ Janganlahh kamu sekalian menjadikan pendeta-pendetamu sebagai tuhan selain Allah.” (at-Taubah: 31). Kemudian Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak menyembah mereka (pendeta).” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah telah halalkan, kemudian kalian ikut mengharamkannya, dan menghalalkan apa yang telah Allah haramnkan dan kalian ikut menghalalkannya.” Ia menjawab, “Ya” Kemudian, beliau bersabda, “Demikian itu artinya menyembah mereka.”
Dikeluarkan at-Turmudzi hadits No. 3095 dan Ibnu Jarir No. 16631, 166632, Imam asy-Syuyuthi dalam kitab Al Mansur Juz II hal. 23. Menurut at-Turmudzi hadits ini gharib kami tidak mengetahuinya dari hadits Abdussalam bin Harb dan Ghatif bin A’yun. Dan Ghatif bin A’yun tidak diketahui dalam hadits ini. Sedangkan menurut Syaikh Abdul Qadir al-Arna’uth dalam Tahqiq Kitab at-Tauhid karangan Muhammad bin Abdul Wahab hadits ini diterima dari Hudzaifah sebagai hadits mauquf. Menurut Ibnu Katsir telah meriwayatkan Imam Ahmad, at-Turmudji dan Ibnu Jarir dari jalan Adi bin Hatim.) Karena adanya maslahat, maka harus menaatinya walaupun mereka orang kafir. Contohnya, kalau di jalan ini datang sebuah mobil dan datang lagi mobil lain dari arah yang sama, di situ ada seseorang yang mengatur jalan dan ia menyuruh agar berjalan sesuai dengan peraturannya, maka hendaklah menaati perintah ini karena padanya terdapat kemaslahatan. Ketaatan ini tidak dinamai ibadah terhadap seseorang atau Ulil Amri atau pada siapa saja.

Inilah contoh masalah-masalah yang dibolehkan yang apabila dilaksanakan, akan membawa kemaslahatan umat, tapi tidak berarti ibadah pada negara, pada polisi atau pada seorang pengatur lalu lintas.

Demikian pula kalau mereka mewajibkan membayar pajak, sedangkan mereka orang kafir, negara kafir atau negara Muslim. Mereka mewajibkan pajak kepada masyarakat, baik pajak rumah, toko, pertanian, dan sebagainya yang harus dikeluarkan tiap tahun atau tiap bulan. Hendaklah kewajiban itu dipenuhi tapi itu tidak berarti ibadah, namun untuk menolak kejahatan mereka atau karena adanya maslahat sehingga dengan membayar pajak mereka dapat membantu mereka dalam proyek-proyek mereka yang baik. Dan itu bukanlah ibadah kepada mereka. Jika mereka (membayar pajak) karena Allah agar Dia menolong mereka dalam kebaikan, maka itu adalah ibadah kepada Allah. Dan jika membayarkannya kepada mereka untuk kemaslahatan umum bukan karena Allah melainkan karena kemaslahatan umum atau karena takut akan kejahatan mereka, maka ini pun bukan berarti ibadah kepada mereka, namun itu adalah persoalan biasa.