Manusia dari Adam dan Adam dari tanah, berarti asal usul manusia adalah sama, tidak ada satu manusia yang unggul atas yang lain dari sisi ini. Ini merupakan keadilan, karena dalam masalah ini seseorang hanya bisa terima jadi, dia tidak bisa dan tidak mungkin memilih lahir dari asal-usul tertentu. Sudah bukan zamannya lagi berbangga dengan asal-usul atau merendahkan asal-usul, karena ia termasuk perkara jahiliyah dan perkara jahiliyah hanya layak untuk dikubur dalam-dalam.

Jika berbangga dengan nasab sudah ketinggalan zaman, maka yang tetap dan terus up date adalah berlomba dalam menunjukkan usaha, kerja keras dan jasa mulia, menjadi insan bermanfaat bagi agama dan saudara-saudaranya, karena orang akan melihat kepada amal usaha seseorang tanpa memandang dari mana dia berasal. Benar, asal-usul terkadang mendukung dalam batas tertentu, itupun kalau didukung dengan keluhuran perbuatan. “Siapa yang diperlambat oleh amalnya maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya.

Qutaibah bin Muslim bin Amru al-Bahili, panglima besar, pahlawan pemberani, petarung cerdik dan bernyali, penakluk Bukhara, Samarkand dan Afghanistan pada tahun 95 H. Siapa sangka yang bersangkutan ini ternyata berasal dari kabilah yang tidak dipandang sebelah mata oleh kabilah-kabilah lainnya, yaitu Bahilah.

Begitu rendahnya kabilah Bahilah di mata orang-orang Arab, sampai-sampai ada yang berkata,

مَا يَنْفَعُ الأَصْلُ مِنْ هَاشِمٍ
إِذَا كَانَتِ النَْفسُ مِنْ بَاهِلَة

Apa gunanya nasab dari Hasyim
Jika jiwa berasal dari Bahilah

Ada juga yang berkata,

إِذَا قِيْلَ ِلْلكَْلبِ يَا بَاهِلِي
عَوَى الكَلْبُ مِنْ لُؤْمِ هَذَا النَسَب

Jika seekor anjing dipanggil, “Hai Bahili.”
Niscaya ia melolong merasa sial dengan nasab ini

Seorang A’rabi ditanya, “Apakah kamu berkenan masuk surga sementara kamu berasal dari kabilah Bahilah?” Dia menjawab, “Ya. Namun dengan syarat, penduduk surga jangan sampai tahu kalau aku dari Bahilah.”

Selain kepahlawanannya yang terkenal dan jasa besarnya kepada Islam, walaupun dia berasal dari kabilah rendah di mata manusia, Qutaibah juga terkenal sebagai panglima yang penyabar, berhati baik dan berakhlak terpuji.

Suatu kali seorang laki-laki datang menemui panglima mujahid ini. Dia menyampaikan hajatnya. Sementara dia meletakkan ujung pedangnya di jari kaki Qutaibah. Laki-laki itu terus berbicara sementara jari Qutaibah telah meneteskan darah. Setelah laki-laki itu menyelesaikan hajatnya, dia pergi, Qutaibah meminta sepotong kain untuk mengusap darah di jari kakinya dan membasuhnya.

Qutaibah ditanya, “Mengapa Anda tidak menarik kakimu. Semoga Allah memberimu kebaikan? Atau suruh dia mengangkat pedangnya?” Qutaibah menjawab, “Aku khawatir itu akan memotong pembicaraannya dan dia tidak bisa menyelesaikan hajatnya.”
(Izzudin Karimi)