KEDELAPAN : FENOMENA MENINGGALKAN MASYARAKAT (HIJRAH) DAN MENELANTARKAN DAKWAH

Sebagian orang yang mengikuti manhaj atau metode takfir menganjurkan untuk hijrah dari masyarakat dan membiarkan dakwah di jalan Allah karena banyaknya kerusakan dan kemaksiatan, serta tidak menghukumi dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah, lalu mereka pergi untuk hidup di tengah-tengah hutan dan lereng-lereng gunung yang jauh dari masyarakat.

Orang yang mengajak kepada manhaj ini yaitu manhaj al-hijrah wa al-uzlah adalah jama’ah at-takfir wal hijrah. (Akan datang kemudian hadits yang menjelaskan jama’ah ini pada akhir pembahasan, insyaAllah.) Mereka menamai dirinya dengan jama’ah al-muslimin, bahkan hijrah dan uzlah (mengasingkan diri), keduanya merupakan dasar di antara dasar-dasar mereka.

Hijrah dan ‘Uzlah menurut mereka meliputi hal-hal berikut dibawah ini:

  • Hijrah atau menjauhi masjid-masjid orang Muslim dan tidak melakukan shalat padanya serta meninggalkan Jum’at.

  • Meninggalkan belajar dan mengajar, mengharamkan masuk universitas dan sekolah-sekolah.

  • Meninggalkan masyarakat Muslim dan lingkungan sekitarnya.

  • Meninggalkan jabatan-jabatan kepemerintahan dan meninggalkan kerja di lembaga-lembaga masyarakat, serta mengharamkan bekerja di sebuah masyarakat yang mereka klaim sebagai masyarakat jahiliyah, yaitu masyarakat selain dari jama’ah mereka. (Al-Khawarij, Dr. Nashir al Aqli, hal. 133.)

Tidak diragukan lagi, ini adalah manhaj yang salah dan bertentangan dengan realita. Kalau setiap da’i dan penyuluh kebajikan berpikir bahwa jika mereka meninggalkan masyarakat yang ia hidup di dalamnya, maka ketika itu juga komunitas tersebut kosong dan diisi oleh manusia-manusia yang jahat dan rusak, yang kemudian, menyebarkan kejahatan-kejahatan dan keyakinan-keyakinan mereka, sedangkan tak seorang pun kamu dapati orang yang berkata, “Hai fulan, takutlah kepada Allah.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَأَىْ مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka rubahlah dengan lisannya, dan jika tidak bisa maka rubahlah dengan hati dan hal itu menunjukkan lemahnya iman”. (HR Muslim no. 49 dari Abi Sa’id al Khudry radhiallahu ‘anhu)

Perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “ قليغيرّه (maka hendaklah ia merubahnya)”, beliau tidak bersabda, “Keluarlah kamu dari masya-rakat, jauhilah mereka, dan tinggalkanlah mereka,” akan tetapi ingkarilah kemungkaran dan mulailah untuk merubahnya. Apabila tidak mampu merubahnya dengan tangan atau dengan lisan, maka kamu harus mengingkarinya dengan hati dan meninggalkan tempat maksiat, inilah makna ingkar dengan hati.

Adapun meninggalkan masyarakat dan pidah ke hutan-hutan dan lereng-lereng gunung, maka sikap ini bukan manhaj Salafus Shalih radhiallahu ‘anhu.

Fadhilah Syaikh Ibnu Utsaimin berkata (Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawabit wa at-Taujihat, hal. 23.), “Tidak boleh hijrah dari kalangan orang-orang Mukmin, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِمُؤْمِنْ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ

“Tidak halal bagi orang mukmin menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari.” ((HR Bukhari no. 6077, Muslim no. 2560 dari Abi Ayub al-Anshary radhiallahu ‘anhu.)

Tidak boleh menjauhinya meskipun melakukan perbuatan maksiat, kecuali apabila dengan menjauhinya terdapat maslahat, seperti berhenti kemaksiatannya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhi Ka’ab bin Malik dan kedua temannya ketika mereka tidak ikut dalam perang Tabuk. (Ket : Kisah Ka’ab bin Malik dan sahabatnya radhiallahu ‘anhu pada hadits Bukhari no. 4418, Muslim no. 2769. Hadits dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu.) Apabila dalam menjauhi orang-orang fasik terdapat maslahat, maka jauhilah mereka. Tetapi jika tidak ada, maka jangan menjauhi mereka. Hal ini sehubungan dengan keumuman orang-orang fasik.”

Beliau berkata lagi (Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawabit wa at-Taujihat, Ibnu Utsaimin, hal. 103.), “Hijrah dari ahli bid’ah ini tergantung kepada bid’ahnya. Apabila bid’ah yang mengakibatklan kafir, maka wajib hijrah dari mereka. Jika tidak, maka menurutku tergantung kondisi. Apabila dalam hijrahnya terdapat maslahat, maka hijrahlah. Tetapi jika tidak terdapat maslahat, maka jangan lakukan karena pada asalnya haram untuk menjauhi orang-orang mukmin. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak halal bagi seorang mukmin manjauhi saudaranya lebih dari tiga hari”.

Setiap orang mukmin meskipun fasik maka haram menjauhinya selama dalam menjauhinya tidak ada maslahat, tapi apabila terdapat maslahat maka jauhilah, karena hijrah darinya merupakan obat. Adapun jika tidak terdapat maslahat atau dapat menambah maksiat dan menambah kedurhakaan, maka sesunggunya segala sesuatu yang tidak terdapat kemaslahatan di dalamnya maka meninggalkannya.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya (Kitab Dakwah, 7, Fatwa- fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, 1/40-41.), “Apabila ada seorang yang tidak shalat dan ia menyepelekan hukum dengan memendekkan jenggot dan memanjangkan baju. Kemudian, ia masuk menemui seseorang yang istiqomah –kami tidak mensucikan seorangpun atas Allah-, yang pertama mengucapkan salam pada yang kedua namun yang kedua tidak menjawab salamnya. Disela-sela itu kami bertanya kepadanya, lalu ia berkata, “Aku tidak menjawab salam orang-orang yang bermaksiat seperti mereka.” Bagaimana pendapat anda tentang hal ini?”

Beliau menjawab, “Apabila orang yang masuk itu tidak shalat selamanya, maka ia telah kafir dan keluar dari agama, dengan dalil dari kitab sunnah dan perkataan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Dalil-dalil mengenai hal ini telah makruf, terkadang aku mengemukakannya dalam program Nuurun ‘ala Darbi, dan terkadang dalam naskah tertentu.” (Rasail dengan judul “Hukum Meninggalkan Shalat”, karya Ibnu Utsaimin.)

Apabila yang masuk selamanya tidak shalat, maka tidak berhak menjawab salam untuknya karena ia telah murtad, keadaan murtad sangat hina lebih dari orang kafir asli. Adapun apabila ia shalat namun melakukan perbuatan maksiat, maka ia tidak keluar dari iman menurut madzhab ahli sunnha wal jama’ah. Kalau ia tidak keluar dari iman, maka berarti tidak boleh menjauhinya, kecuali dengan menjauhinya terdapat maslahat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِمُؤْمِنْ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَ يُعْرِضُ هَذَا وَ خَيْرُهُمَا الَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسّلاَمِ

“Tidak halal bagi seorang mukmin untuk menjauhi saudaranya lebih dari (tiga) hari. Ketika keduanya bertemu, masing-masing memalingkan muka dari yang lain dan yang baik di antara keduanya yaitu yang memulai dengan salam”.

Apabila dalam menjauhinya ada maslahat, maka sesungguhnya dia dijauhi dalam rangka meraih kemaslahatan tersebut. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhi Kaab bin Malik dan teman-temannya ketika mereka tidak ikut perang Tabuk tanpa alasan. (Kisah Ka’ab bin Malik dan kedua sahabatnya, hadits Bukhari dan Muslim.)

Pengucilan bagi pelaku maksiat seperti obat. Jika berkhasiat maka akan obat itu bagus. Namun jika tidak, maka meninggalkannya adalah kebaikan.

Oleh karena itu kita temukan banyak sekali pelaku maksiat apabila mereka dikucilkan, pengucilan tersebut tidak bermanfaat bagi mereka. Bahkan sebaliknya kekerasan mereka semakin menjadi-jadi dan lari sejauh-jauhnya dari orang-orang yang baik serta mereka tidak akan menerima seruan orang-orang tersebut.”

Masyarakat Muslim membutuhkan kepada para da’i yang menjelaskan agama Allah dan menasihati karena Allah, dan menjelaskan kepada mereka yang halal dan yang haram. Apabila para du’at meninggalkan masyarakat itu, maka kemaksiatan akan menjamur karena mendapatkan lahan yang subur dibawah naungan kelemahan beragama dan kebodohan, dan dengan sebab inilah kejahatan akan menyebar di masyarakat.

Merupakan sebuah kepastian bagi para du’at menjalankan aktivitas yang terus-menerus dan getol berdakwah, terlebih lagi di tempat-tempat yang banyak kemungkaran dan menyibukkan diri di tempat-tempat umum seperti sekolah-sekolah, masjid-mesjid, universitas-universitas, dan yang lainnya di mana manusia berkumpul padanya untuk mengajari dan mengarahkan mereka. Dan inilah yang bisa meminimalisir dan menggembosi kemungkaran dan kemaksiatan.

Adapun jika memisahkan diri dari manusia[uzlah] dan meninggalkan pelaku kebatilan bersenang-senang dan bersuka-cita, maka sikap ini menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena menyeru pada manusia dan sabar atas cercaannya lebih utama dari pada meninggalkan mereka.

Ketahuilah wahai para da’i, bahwa meninggalkan menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta berdakwah pada jalan Allah, merupakan di antara kerusakan-kerusakan dan kemudaratan-kemudaratan yang akan mendatangkan siksa Allah kepada hamba dan negara, serta menyebabkan tersebar luasnya kemaksiatan dan melenyapnya agama.

Ibnu Jibrin berkata (Ket : Kebutuhan Manusia terhadap Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar, Ibnu Jibrin hal. 45. Terdapat pula dalam Kumpulan Fatwa dan Naskah Ibnu Jibrin, Kitab al Akidah, Juz XII), “Menyia-nyiakan Amar ma’ruf dan nahi mungkar berindikasi pada timbulnya marabahaya dan kerusakan yang fatal. Bahayanya akan menimpa semua, orang yang bermaksiat dan yang lainnya, di antaranya:

  • Mantapnya kedudukan orang-orang jelek atau jahat, kekuatannya, dan kekuasaannya. Karena itu, orang-orang yang bermaksiat akan mengumumkan dan menampakkan kekufurannya, dosa-dosanya, dan penentangannya. Mereka tidak peduli dengan penentangan-penentangan yang mereka tampakkan dan penyepelean mereka dalam urusan agama.

  • Melemahnya kebenaran dan orang-orang pemegang kebenaran. Orang Mukmin akan merasa takut untuk menampakkan ibadah-nya dan mengingkari orang yang melanggar sesuatu yang diha-ramkan. Orang-orang yang berbuat baik akan menjadi terhina dan lemah, mereka menyembunyikan ibadah mereka, seolah-oleh mereka ahlu mungkar, karena barangsiapa yang melakukan kebaikan atau mengajak pada kebaikan, dihinakan, diintimidasi dan diusir.

  • Rencana akan menimpa pada masyarakat secara merata.

  • Tampaknya kekafiran, bid’ah, kemaksiatan, serta tersebarnya kerusakan. Tatkala manusia menganggap enteng pada dosa, ia akan diremehkan yang lainnya, rumah dan kerabatnya pun ikut bergelimang dengan dosa. Semuanya akan penuh dengan dosa, tidak akan menolak dosa kecil maupun dosa besar.

  • Orang-orang sekuler dan munafik akan menempati wilayah penting dan strategis, yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat. Pada saat itu mereka akan mewajibkan umat apa yang mereka kehendaki, tersebarlah di muka bumi ini kerusakan. Mereka menghukumi umat sesuai nafsunya. Orang-orang muslim akan jadi rendah, terhina, dan diremehkan, sementara orang-orang munafik menjadi tinggi hati, congkak dan sombong.

Hal-hal itulah di antara sebab-sebab yang mendatangkan siksaan dari langit. Kita mohon pertolongan dan ampunan dari Allah.”

Saudaraku wahai para da’i, apakah engkau tahu bahaya akibat meninggalkan dakwah di jalan Allah, dan meninggalkan amar ma’ruf nahyi mungkar?!

Setelah engkau mengetahui meninggalkannya karena sebab pemikiran-pemikiran dan manhaj-manhaj di luar manhaj al-Qur’an, as-Sunnah, dan manhaj salafus shaleh, serta para ulama, lalu apa kewajibanmu sekarang?