Nasehat

Dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz tentang keharusan berjama’ah dan bahaya berpecah belah.

Abdul Aziz bin Baz Mufti al-‘Aam Saudi Arabia berkata (dikutip dari kaset yang berjudul “Kewajiban Berjama’ah dan Bahaya Berpecah Belah”) “Tema ini (Ket : Wajib Berjamaah dan Bahaya Berpecah Belah, yakni ta’liq oleh Abdul Ajiz bin Baz dalam Nadwah Ilmiah fil Jami’ al Kabir di Riyadh dengan judul Wajib berjamaah dan bahaya berpecah belah) tema yang layak untuk diperhatikan, ia merupakan tema yang berbahaya yang dilupakan oleh kebanyakan manusia. Mereka menebar kemaksiatan dan mencerai beraikan jama’ah, terperosok ke dalam maksiat yang besar dan resiko yang tinggi. Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang agung melalui Rasul-Nya yang mulia, dia menyuruh untuk berkomitmen dalam jama’ah dan meninggalkan perpecahan. Di antara firman-Nya adalah, “Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali agama Allah dan jangan bercerai berai” (Ali Imron: 103),

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka” (al-An’aam: 159)

“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula yang hitam muram” (al-Maidah: 106).

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Berseri-seri wajah ahli sunnah dan mereka bersatu padu, hitam kelam wajah ahli bid’ah dan mereka berpecah belah.”

Yang wajib bagi orang Islam dimana pun mereka berada, bersatu padu di atas yang hak, berpegang teguh kepada yang benar, saling menasihati dengan yang benar, dan bekerja sama merealisasikan jama’ah yang taat kepada Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, berhati-hati dari sebab-sebab perpecahan, berupa permusuhan dan saling tuduh menuduh satu sama lain, tidak memikirkan sesuatu yang menjadi isu di antara mereka, Membiarkan begitu saja permasalahan yang memerlukan perhatian dan pembahasan khusus sebagaimana yang diwajibkan oleh syari’at, dan menganalisa permasalahan yang rumit dengan sebaik-baik analisa.

Hal ini telah terjadi di masa pertama, yaitu pada masa para shahabat, suatu kaum pergi menemui Ali radhiallahu ‘anhu dan para shahabat yang lainnya, mereka membawa nash-nash yang bukan pada tempatnya, mena’wilkan bukan pada ta’wilnya sehingga mereka menghunus senjata untuk memerangi para sahabat Nabi dan semua orang-orang Muslim. Mereka berpendapat bahwa mereka yang benar sedangkan yang lainnya salah, mereka adalah orang-orang Khawarij. Mereka mena’wilkan nash bukan pada tempatnya kemudian membunuh orang-orang Islam dan membiarkan penyembah berhala, mengkafirkan Ali radhiallahu ‘anhu dan para pengikutnya, serta mengkafirkan Mu’awiyah dan orang-orang yang membantu mereka. Mereka berkata, “Sesungguhnya mereka telah keluar dari ketentuan kitab. Hal demikian di antara kebodohan orang-orang khawarij, kesesatan dan kebid’ahannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda mengenai mereka dalam sebuah hadits shahih, “Suatu kelompok keluar dari kelompok kaum muslim, hingga kelompok yang lebih berhak dengan kebenaran membunuhnya” (HR Muslim), kemudian Ali membunuh mereka. Rasul juga berkata tentang mereka, “Sesungguhnya salah seorang dari kalian akan meremehkan ibadah shalatnya dengan shalat mereka (khawarij), bacaan qurannya dengan bacaan quran mereka. Puaasanya dengan puasa mereka. Mereka keluar dari Islam dan tidak kembali lagi” (HR Muslim) Rasul juga berkata, “Mereka membaca al-Qur’an namun bacaannya tidak melewati tenggorokan mereka.” (Muttafaq Alaih).

Artinya, mereka orang-orang bodoh dan berlebihan sehingga keluar dari Islam dan lari darinya disebabkan kebodohan, kesesatan, dan berlebih-lebihan. Mereka mencerai beraikan orang-orang muslim dan memeranginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang mengangkat senjata untuk memerangi kami maka dia bukan golongan kami” (HR Bukhari Muslim)

Dalil yang memerintah keharusan berjama’ah, mendengar dan taat kepada Ulil Amri adalah firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taati Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada al-Qur’an dan as-Sunnah jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” (an-Nisa: 59)

dan firman-Nya yang artinya, “Jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an).” (asy-Syuraa:10)

Kalau orang-orang khawarij dan yang lainnya mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, tentu tidak akan terjadi apa yang terjadi pada mereka yaitu mengkafirkan, menyesatkan dan, mencerai beraikan. Namun, mereka menghukumi dengan pendapat mereka yang rusak dan pemikiran mereka yang keliru, mereka mengira bahwa mereka berada dalam kebenaran sedangkan yang lainnya sesat. Karenanya terjadilah kerusakan dan pembunuhan tanpa hak.

Begitu juga orang setelah mereka yang keluar atau tidak mengikuti Ulil Amri dan orang yang berlaku adil, akan menyerupai mereka yaitu menyalahi kitab dan sunnah.

Perintah tersebut menunjukkan kepada wajib dan menetapkan agar tidak terburu-buru dalam segala persoalan apa yang meragukan atas pencari ilmu apabila yang dicarinya baik dan benar. Wajib baginya mengembalikan hal itu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, meminta pertolongan kepada yang berilmu, serta tidak meminta tolong kepada selain-Nya yang berpendapat sesat karena inilah jalan yang celaka dan jalannya pelaku bid’ah.

Wajib atas semua orang Muslim di manapun mereka berada, baik seorang hakim, ulama, hamba biasa dan yang lainnya untuk menelusuri jalan sesuai dengan tuntunan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.

Hendaklah berpegang teguh kepada tauhid Allah dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya serta melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dan mengambil batasan-batasan yang telah dijelaskan oleh orang-orang berilmu karena orang yang berilmu sama dengan Ulil Amri, sedangkan Ulil Amri adalah para ulama dan para pejabat pemerintahan. Kewajiban kembali kepada mereka karena firman Allah Ta’ala, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta Ulil Amri diantara kamu” (an-Nisa: 59)

Mereka adalah para fikih [orang yang paham] tentang kitab Allah dan syari’at-Nya serta penegak hukum syar’i yang Allah tugaskan untuk menghukumi di antara sesama manusia, serta merealisasikan perintah dan larangan-Nya, menegakkan hukum antara sesama manusia dengan benar, memberikan sangsi bagi yang zalim, dan yang memutuskan sebab-sebab timbulnya kerusakan.

Mereka itulah Ulil Amri yang apabila mereka itu benar maka benarlah semua manusia dan apabila mereka itu rusak, maka rusaklah manusia lainnya. Firman Allah Ta’ala, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan lalu mereka menyiarkannya dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulul Amri).” (an-Nisa: 83)

Apabila mengembalikan keraguan dan segala urusan kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri, maka orang yang berilmu akan dapat mengambil kesimpulan, kemudian menjelaskan artinya dan menunjukkan kepada yang hak, mengungkap keraguan tersebut, seta menjelaskan jalan yang baik sehingga orang-orang Muslim akan berjalan sesuai dengan petunjuk dan cahaya Allah.

Adapun terus menerus mengikuti pendapat yang menyimpang, pemikiran yang rusak, dan tidak kembali pada dalil yang jadi sandaran orang yang berilmu dan telah ma’ruf dengan petunjuk dan keistiqomahannya, maka inilah jalan Khawarij dan jalan ahli bid’ah dari aliran Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah. Mereka menghukumi orang-orang Muslim dengan pendapat dan pemahamannya yang rusak.

Terakhir wahai saudaraku tercinta,

Saya akan mengakhiri dengan sebuah hadits shahih yang mendorong agar menjauhi perpecahan dan komitmen terhadap jama’ah Muslimin dan imamnya.

Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu, ia telah berkata, “Manusia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepadanya tentang kejelekan karena takut menimpaku.” Aku bertanya, “Ya Rasulallah, sesungguhnya kami berada di masa jahiliyah dan masa kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaik-an ini, apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kejelekan ada kebaikan?” beliau bersabda, “Ya, terdapat padanya asap.” Aku bertanya lagi, “Apa asapnya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Suatu kaum memberikan petunjuk bukan dengan petunjukku.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan ada kejelekan?” Beliau menjawab “ya, Yaitu para Da’i yang berdiri di pintu-pintu neraka jahanam, siapa saja yang menjawab seruannya mereka akan menjerumuskan orang tadi ke neraka tersebut” Aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah, terangkanlah sifat mereka kepadaku!” Beliau menjawab, “Mereka dari bangsa kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Maka aku bertanya lagi, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika itu menimpaku?” Beliau menjawab, “Berpeganglah kepada jama’ah Muslimin dan imamnya” Aku bertanya lagi, “Jika mereka tidak memiliki jama’ah atau imam?” Beliau menjawab, “Maka jauhilah semua kelompok-kelompok itu, lebih baik kamu berpegang ke batang pohon sampai kamu meninggal dalam keadaan itu” (HR Bukhari no.3606 dan 7074, Muslim no.1847)

Dalam lafadz Muslim dari Abi Salam (dikeluarkan Muslim no.1847), ia berkata bahwa Hudzaifah bin al-Yaman berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulallaah, aku berada dalam kejelekan kemudian Allah mendatangkan kebaikan, maka aku berada padanya, apakah di balik kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Apakah di balik kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Apakah di balik kebaikan itu ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Bagaimana itu?” Beliau menjawab, “Akan ada setelahku para imam yang memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, dan tidak mengamalkan sunnahku. Akan berdiri di kalangan mereka orang-orang yang berhati seperti hati setan dalam bentuk manusia” Kemudian aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkan itu?” Beliau menjawab, “Mendengar dan taat kepada Ulil Amri meskipun dia memukul punggungmu, dan mengambil hartamu. Maka tetaplah mendengar dan taat,”

Dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud (Dikeluarkan Ahmad dalam al-Musnad (5/386), dan lafadz baginya, dan Abu Dawud no.4226), “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepadanya tentang kejelekan dan aku tahu bahwa kebaikan itu tidak akan mendahuluiku.”

Aku bertanya, “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Wahai Khuzaifah, pelajarilah kitab Allah dan ikutilah ajaran-Nya” Beliau mengatakannya tiga kali. Aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah, apakah setelah kejelekan ini ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Perdamaian di atas asap. Jama’ah di atas debu.” Aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah, perdamaian di atas asap apa itu?” Beliau menjawab, “Hati orang-orang tidak akan kembali kepada ketentuan-Nya.” Aku bertanya lagi, “Ya Rasulallah apakah setelah kebaikan ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Fitnah yang membutakan dan menulikan yang ditunggangi oleh para penyeru ke pintu neraka. Kamu wahai Khuzaifah, jika mati dalam keadaan menggigit batang pohon lebih baik bagimu, daripada mengikuti salah seorang di antara mereka.”

Dalam sebuah lafazh dari Khalid asy-Syukri menceritakan sebuah kisah (Dikeluarkan Ahmad dalam al-Musnad (5/402) lafadz baginya, dan Abu Dawud no.4244):

Suatu kaum telah menceritakan (yaitu Khuzaifah), ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang kejelekan. Aku mengingkari kepada kaum itu dan berkata pada mereka, “Aku akan menceritakan pada kalian tentang apa yang kalian ingkari. Ketika Islam datang, ketika itu juga datang pula kebaikan. Datanglah urusan seperti bukan urusan di masa jahiliyah. Aku telah diberikan pemahaman tentang al-Qur’an, maka orang-orang datang dan bertanya tentang kebaikan, sedangkan aku menanyakan kejelekan.”

Aku bertanya, “Ya Rasulallah, apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan seperti ada kebaikan sebelum kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Dengan apa aku menjaganya. ya Rasulallah?” Beliau menjawab, “Dengan pedang.” Aku bertanya, “Apakah setelah pedang masih ada yang lain?” Beliau menjawab, “Ya, kepemimpinan di atas debu (kesesatan) dan perdamaian di atas asap (pengkhianatan)” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Kemudian akan muncul da’i yang menyeru pada kesesatan. Kalaupun pada saat itu di bumi ada seorang khalifah Allah akan memecut punggungmu dan mengambil hartamu. Maka taatilah dan jika tidak, maka matilah dalam keadaan menggigit sebuah pohon.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Setelah itu akan keluar dajjal.”