Di dalam kehidupan ini terkadang kita dapati sebagian orang ketika melakukan perbuatan dosa, seperti mencuri, mabuk-mabukan, berjudi, berzina, dan lain sebagainya, ataupun meninggalkan kewajibannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan ramadhan, menutup aurat, mereka berdalih dengan taqdir, seraya berkata, “Aku melakukan ini karena takdir dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala”, dan lain sebagainya.

Apakah beralasan dengan takdir atas perbuatan maksiat dan musibah yang menimpa seseorang dibenarkan dalam islam?

Seorang pelaku maksiat (dosa) tidah boleh berdalih dengan takdir atas kemaksiatan yang dilakukannya, hal ini dikarenakan ia memiliki kehendak dan kemampuan untuk berbuat, dan ia juga tidak mengetahui sebelumnya bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mentakdirkan perbuatan maksiat itu terhadap dirinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak boleh seseorang berdalih dengan taqdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (Ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal, seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikan, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir.”

Dalam edisi kali ini, kami mencoba memaparkan kepada pembaca sebagian dalil-dalil syar’i, ‘aqli (akal) dan dalil realita, yang menjelaskan kebatilan (kesalahan) berhujjah (beralasan) dengan takdir atas perbuatan maksiat, atau ketika meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Pertama: berdalil dengan takdir atas perbuatan maksiat termasuk bagian dari ajaran agama orang-orang musyrik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang musyrik berkata”, jika Allah menghendaki, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan kami tidak akan mengharamkan apapun”, demikian pula orang-orang yang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu mempunyai pengatahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kami ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira” (Qs. Al-An’am: 148)

Kaum musyrikin tersebut berdalil dengan takdir atas perbuatan syirik yang mereka lakukan, seandainya argumen mereka diterima dan benar, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menimpakan azab kepada mereka.

Kedua: Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang artinya, “(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. (QS. an-Nisa’:165).

Seandainya berdalih dengan takdir atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya tidak ada alasan lagi bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengutus para rasul, namun ternyata Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetap mengutus mereka, berarti berhujjah dengan takdir adalah suatu kebatilan yang nyata.

Ketiga: Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintah dan melarang hambaNya dari sesuatu, namun Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menuntutnya kecuali yang mampu ia kerjakan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (QS. at-Taghabun: 16).

Kalau manusia di paksa untuk mengerjakan sesuatu yang ia tidak sanggup mengerjakannya, maka hal ini merupakan suatu kesalahan, oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan, atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa (dimaafkan) oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Keempat: Seandainya berdalil dengan takdir semacam ini bisa menjadi argumen dan alasan, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima argumen iblis yang mengatakan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya, “(iblis) menjawab karena Engkau telah menghukumku tersesat, pasti aku akan selalu (menghalangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus”. (QS. al-A’raf: 16).

Namun ternyata Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menerima argumen tersebut, maka sangatlah jelas akan kebatilan berhujjah dengan takdir atas perbuatan dosa (maksiat).

Kelima: Seandainya beralasan dengan takdir itu dibenarkan, niscaya penghuni neraka akan berargumen dengannya, ketika mereka melihat neraka dan merasa bahwa mereka akan memasukinya, ketika mereka memasukinya, ketika mereka mulai di siksa dan di hukum, akan tetapi mereka justru mengatakan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang mereka, yang artinya, “Ya Rabb kami, beri lah kami kesempatan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruanMu dan akan mengikuti para rasul.” (QS. Ibrahim: 44).

Demikian pula mereka mengatakan, yang artinya, “Ya Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami dan kami adalah orang-orang yang tersesat”. (QS. al-Mu’minun:106).

Mereka juga mengatakan yang artinya, “Sekiranya kami (dahulu) mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk:10).

Sekiranya berdalih dengan takdir atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya mereka berdalih dengannya, karena mereka sangat membutuhkan sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa neraka jahannam.

Keenam: Diantara jawaban yang dapat diberikan kepada orang yang berdalil dengan takdir ini berdasarkan madzhabnya, adalah, “Janganlah kamu menikah! Sebab jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendakimu memiliki seorang anak, maka anak itu akan datang kepadamu dan jika tidak menghendakinya maka anak tersebut tidak datang (walaupun pasti menikah)”.

Apakah ia menyetujui kita atas pernyataan ini ataukah tidak? Jika ia menyetujui kita, maka kita mengetahui kerusakan akalnya, dan jika menyelisihi kita, maka kita mengetahui kerusakan ucapannya dan kebatilan argumennya.

Ketujuh: Seandainya beralasan dengan takdir atas perbuatan aib dan dosa diperbolehkan, niscaya berbagai kemaslahatan manusia akan banyak terabaikan, anarkisme terjadi dimana-mana, tidak diperlukan lagi hudud (hukuman) dan peringatan serta balasan, karena orang yang berbuat keburukan akan beralasan dengan takdir, kita tidak perlu memberikan hukuman kapada orang-orang dzalim, juga perampok dan penyamun. Jadi alasan bahwa segala yang terjadi adalah karena takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh orang yang berakal.

Yang pasti argument kebanyakan dari mereka bukanlah muncul dari qana’ah dan keimanan, tetapi hanyalah muncul dari hawa nafsu dan penentangan. Karena itu, sebagian ulama mengatakan mengenai orang yang demikian keadaannya, “Ketika ta’at dia menjadi Qadari (pengikut paham qodariyyah) dan ketika bermaksiat, dia menjadi jabari (pengikut paham jabariyah), madzhab apapun yang selaras dengan hawa nafsunya, itulah yang akan ia ikuti”.

Ringkasnya, berargumen dengan takdir atas perbuatan maksiat atau meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah argument yang batil menurut syari’at, akal, dan kenyataan (realita).

Adapun berdalil dengan takdir atas suatu musibah yang menimpa, seperti kefakiran, sakit, kematian, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, maka hal tesebut diperbolehkan. Ia harus ridha dan rela menerima musibah tersebut serta memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala atasnya seraya mengatakan, “Ini telah ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan Dia berhak berbuat apa saja yang dikehendakiNya”. Adapun musibah yang berhubungan dengan kasb (yang dapat diusahakan) maka seseorang tidak boleh berdalih dengan takdir.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Nabi Adam dan Nabi Musa berbantah-bantahan, Nabi Musa berkata kepadanya, ‘Engkau Adam, kesalahanmulah yang telah mengeluarkanmu dari surga?’ Nabi Adam menjawab, ‘Engkau Musa yang dipilih oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan risalahNya dan engkau berbicara secara langsung denganNya, akankah engkau mencelaku atas suatu perkara yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan? Maka, nabi Adam dapat membantah nabi Musa”. (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits di atas, jelaslah bahwa Adam tidak berdalih dengan takdir atas kemaksiatan yang dilakukannya, akan tetapi ia hanya berdalih dengan takdir atas dikeluarkannya beliau dari surga, dan nabi Musa tidak mencela nabi Adam atas dosanya, karena nabi Adam telah memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan bertobat.

Perhatikanlah contoh berikut ini; seandainya seseorang membunuh orang lain tanpa sengaja, kemudian orang lain mencelanya dan beralasan dengan takdir, maka alasannya diterima, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk diberi sanksi. Tetapi seandainya seseorang membunuh yang lain dengan sengaja, kemudian pembunuh dikecam dan dicela atas pebuatannya itu, lalu ia berdalih dengan takdir, alasannya itu tidak bisa diterima.

Maka sebagai penutup, diantara orang yang diperbolehkan berdalih dengan takdir ialah orang yang telah bertaubat dari dosa. Seandainya ada orang yang mencela perbuatan dosa yang dia telah perbuat, maka dia boleh beralasan dengan takdir. Kemudian seseorang tidak boleh mencela orang yang telah bertaubat dari dosanya, sebab yang menjadi pertimbangan ialah kesempurnaan di akhirnya, bukan kekurangan pada permulaannya.

Sumber:

-Al-Iman bil Qadha’ wal qadar. (Muhammad bin Ibrahim al-Hamd)
-Syarah Ushulul Iman . (syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Usaimin)
-Al-qadha’u wa al-Qadaru ‘inda as-Salaf (Abu ‘Abdurrahman ‘Ali bin as-Sayyid)
-Muqarrar at-Tauhid.