Memperhatikan pemikiran-pemikiran kelompok ini, kening penulis berkerut, bukan kerena sulit dicerna dan dipahami, akan tetapi karena keheranan yang bukan kepalang, ternyata ada suatu kelompok yang tanpa rasa malu dan risih menisbatkan diri kepada Islam sementara pemikiran-pemikirannya merupakan buldoser yang menggusur dan meruntuhkan bangunan Islam sampai ke dasar-dasarnya, antara pemikiran-pemikirannya dengan Islam layaknya antara as-Sama` Dzati ar-Raj’ wa al-Ardhi Dzati ash-Shad’ (antara langit penyiram hujan dengan bumi yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan), jarak pemikiran-pemikirannya dengan Islam sangatlah jauh sejauh timur dengan barat.

سِرْتُ مَشْرِقًا وَسَارَ مَغْرِبًا
وَشَتَّانَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ

Aku berjalan ke timur dan dia berjalan ke barat
Berbeda jauh sekali antara timur dan barat

Pertama: Masalah imamah

Masalah imamah dalam Islam termasuk masalah penting, kemaslahatan dan kebaikan umat tidak akan terwujud tanpa adanya kepemimpinan, beberapa hukum Allah tidak bisa diterapkan tanpa kepemimpinan, manusia tanpa pemimpin akan hidup tanpa aturan dan undang-undang, akibatnya hukum yang berlaku adalah hukum rimba dan hal ini tidak selaras dengan Islam yang hadir memperbaiki manusia.

لاَ يَصْلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لاَ سُرَاةَ لَهُمْ
وَلاَ سُرَاةَ إِذَا جُهَالُهُمْ سَادُوْا

Manusia tidak menjadi baik dalam keadaan tanpa aturan dan pemimpin
Dan tidak ada pemimipin bagi mereka jika orang-orang bodoh mendominasi

Sejarah telah berbicara bahwa umat Islam dari awal kemunculannya tidak pernah terlepas dari pemimpin. Pemimpin pertama Rasulullah saw, di samping sebagai rasul, beliau juga sebagai pemimipin negara, beliau menata dan mengatur masyarakat dalam kapasitas beliau sebagai pemimipin. Setelah itu kepemimpinan dilanjutkan oleh para Khulafa` Rasyidin dan khulafa` setelah mereka.

Di samping itu terdapat banyak hadits Nabi saw di mana beliau mensyariatkan kepemimpinan dalam suatu komunitas. Pembaca bisa merujuk kepada shahih Muslim kitab al-Imarah. Dalam kitab ini tertulis hadits-hadits shahih dari Rasulullah saw tentang imarah (kepemimpinan).

Akan tetapi klaim bahwa imamah atau kepemimpinan umat ini telah diberikan dan diwasiatkan secara khusus oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abu Thalib dan anak keturunannya adalah palsu dan dusta, tidak berdasar sama sekali, klaim seperti ini tidak berbeda dengan klaim orang-orang Yahudi yang berkata, ‘kami tidak masuk neraka kecuali hanya beberapa hari saja, hanya kami yang akan masuk surga, kami adalah wali-wali dan orang-orang terkasih Allah.’

Kepada mereka Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah: 111). Kami pun berkata kepada orang-orang yang mengklaim bahwa imamah umat ini telah diwasiatkan secara khusus oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abu Thalib dan anak keturunannya seperti apa yang difirmankan Allah kepada orang-orang Yahudi tersebut. Dan mana mungkin mereka mampu mendatangkannya?

Yang menjadi pegangan mereka dalam perkara ini adalah sabda Nabi saw pada tanggal 18 Dzul Hijjah sepulang dari haji Wada’ di tempat yang dikenal dengan Ghadir Khum di antara Makkah dan Madinah, dan selanjutnya sabda Nabi saw ini dikenal dengan hadits Khum atau hadits Ghadir Khum. Padahal dalam hadits tersebut tidak terdapat isyarat lebih-lebih wasiat dari Rasulullah saw bahwa imamah adalah hak khusus Ali bin Abu Thalib dan anak cucunya, yang ada hanyalah wasiat beliau agar umat ini menghormati dan menyintai ahlu bait beliau.

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya di Kitab Fadhail Ashab an-Nabi saw, bab Fadhail Ahli Bait an-Nabi saw dari Yazid bin Hayyan berkata, aku pergi bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim kepada Zaid bin Arqam, ketika kami tiba kepadanya Hushain berkata, “Wahai Zaid engkau telah mendapatkan banyak kebaikan, engkau melihat Rasulullah saw, mendengar haditsnya, berperang bersamanya, dan shalat di belakangnya. Wahai Zaid engkau telah mendapatkan banyak kebaikan, sampaikan kepada kami wahai Zaid apa yang telah engkau dengar dari Rasulullah saw.” Zaid menjawab, “Wahai keponakanku, demi Allah, aku sudah tua, umurku sudah lanjut, aku telah lupa sebagian dari apa yang dulu pernah aku hafal dari Rasulullah saw, apa yang kau sampaikan kepadamu terimalah, dan apa yang tidak maka jangan membebaniku.” Kemudian Zaid berkata, “Suatu hari Rasulullah saw berkhutbah di hadapan kami, di mata air yang bernama Khum di antara Makkah dan Madinah, beliau memuji Allah dan menyanjungNya, beliau menasihati dan mengingatkan, kemudian beliau bersabda, ‘Amma ba’du. Wahai manusia, aku hanyalah manusia, tidak lama lagi utusan Tuhanku akan datang kepadaku dan aku akan menjawab panggilanNya, aku meninggalkan kepada kalian tsaqalaini. Yang pertama adalah, Kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, ambillah kitab Allah dan berpeganglah kepadanya.” Zaid berkata, “Beliau mendorong orang-orang agar berpegang kepada kitab Allah.” Kemudian beliau bersabda, “Dan ahli baitku, aku mengingatkan kalian kepada Allah pada ahli baitku –tiga kali-.” Hushain berkata, “Siapa itu ahli baitnya wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk ahli bait beliau?” Zaid menjawab, “Istri-istri beliau termasuk ahli bait beliau, akan tetapi ahli bait beliau adalah orang-orang yang dilarang menerima zakat sesudahnya.” Hushain bertanya, “Siapa mereka?” Zaid berkata, “Alu Ali, alu Aqil, alu Ja’far, dan alu Abbas.” Hushain bertanya, “Mereka semua tidak boleh menerima zakat?” Zaid menjawab, “Ya.”

Inilah hadits Ghadir Khum, lalu di mana wasiat yang mereka klaim tersebut? Syaikh al-Albani dalam tahqiq Mukhtashar shahih Muslim berkata, “Kemudian hadits ini dikenal setelah itu dengan hadits Ghadir Khum, dan orang-orang Syi’ah menempelkan kepada hadits ini apa yang tidak termasuk di dalamnya, mereka mengklaim bahwa Nabi saw mewasiatkan khilafah kepada Ali sesudah beliau dan hal tersebut adalah salah satu dari khurafat dan bualan mereka yang berjumlah banyak, seandainya hal itu shahih berarti para sahabat Rasulullah saw termasuk Ali sendiri menyelisihi wasiat Rasulullah saw, karena para sahabat itu telah berijma’ dengan membaiat Abu Bakar ash-Shiddiq, mustahil para sahabat tersebut berijma’ di atas kesesatan, lebih-lebih Ali sendiri, dia lebih menyelisihi daripada para Khulafa` tiga sebelumnya karena dia membaiat Umar lalu Usman.”

Suatu keanehan yang sangat aneh, mereka mengklaim menyintai dan mendukung Ali dan anak cucunya dan dengan alasan ini mereka membenci, memusuhi dan mencaci Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab, orang-orang dungu itu tidak melek matanya sehingga mereka tidak mengetahui atau mereka memang pura-pura tidak mengetahui bahwa Ali sendiri mengakui keunggulan mereka berdua atasnya.

Dalam kitab Fadhail ash-Shahabah di shahih al-Bukhari dari Muhammad bin al-Hanafiyah berkata, aku bertanya kepada bapakku –Ali bin Abu Thalib-, “Siapa orang terbaik setelah Rasulullah saw?” Dia menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanaya, “Lalu siapa?” Dia menjawab, “Lalu Umar.” Muhammad berkata, “Aku khawatir dia akan berkata, ‘Lalu Usman’, maka aku berkata, ‘Kemudian engkau?” Dia menjawab, “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin.”

Hal yang sama ditunjukkan oleh salah seoarang anak Ali, Zaid bin Ali bin al-Hushain bin Ali bin Abu Thalib, yang mereka angkat menjadi salah seorang imam mereka. Zaid ditanya tentang Abu Bakar dan Umar, Zaid memuji keduanya, dia berkata, “Dua orang ini adalah pendukung kakekku.”

Di mana mereka dari imam-imam mereka? Pada saat para imam mereka memuji, menyintai, menghormati dan memuliakan Abu Bakar dan Umar serta sahabat lainnya, mereka justru bersikap berlawanan, mencela, mencaci, menghina bahkan melaknat. Inikah yang disebut dengan kecintaan kepada ahli bait Rasulullah saw? Naudzubillah jika demikian.

Sebagian orang mengklaim bahwa Ali menolak membaiat Abu Bakar untuk membenarkan tuduhan bahwa di antara Ali dan Abu Bakar terdapat sesuatu. Klaim ini dusta, sejarah membuktikan sebaliknya, Ali dan juga Bani Hasyim adalah orang-orang yang loyal kepada Abu Bakar, Ali membaiat, mendukung dan setia dengan pengabdiannya kepada khalifah Rasulullah saw ini.

Syaikh Allamah Muhibbuddin al-Khathib dalam ta’liqnya atas kitab al-Awashim min al-Qawashim karya Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi menetapkan baiat Ali kepada Abu Bakar, Syaikh al-Khathib menulis, al-Bukhari berkata, (kitab 64 bab 38 juz 5 hal. 82-83) berkata dari hadits Urwah dari Aisyah, “Ketika Fatimah wafat, Ali suaminya menguburkannya di malam hari tanpa memberitahu Abu Bakar dan dia menshalatkannya sendiri. Semasa hidup Fatimah, Ali mempunyai kehormatan di mata masyarakat, ketika Fatimah wafat pandangan mereka kepada Ali berubah, maka Ali berdamai dengan Abu Bakar dan membaiatnya…” dan seterusnya. Baiat Ali ini adalah yang kedua setelah yang pertama di Saqifah Bani Saidah.

Hadits Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 5/249 menambahkan bahwa Ali tidak pernah memutuskan diri dari satu shalat pun di belakang Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali mendampingi Abu Bakar ketika dia keluar ke Dzil Qishshah dengan menghunus pedang hendak memerangi orang-orang murtad.

Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli menguatkan apa yang ditetapkan oleh Syaikh al-Khathib, dalam tahqiqnya terhadap kitab yang sama, Syaikh Mahmud berkata, “Sebenarnya telah terjadi kesimpang-siuran riwayat tentang sikap Ali bin Abu Thalib terhadap khilafah Abu Bakar ash-Shiddiq, desas-desus memainkan peranannya, kedustaan dan kepalsuan disusun di sekelilingnya dengan target meruntuhkan kepercayaan kepada Islam secara umum dan kepada para sahabat secara khusus serta memamerkan mereka dalam potret keserakahan dan ambisi terhadap kedudukan dan harta meskipun dengan menabrak syariat. Dan berikut ini kami menukil riwayat tershahih tentang sikap Ali yang luhur …Allamah Muhammad Azzat Dirwaza dalam buku al-Jins al-Arabi 7/14 dan seterusnya berkata, ath-Thabari meriwayatkan dari Abdullah bin Said az-Zuhri dari pamannya Ya’qub dari Said bin Umar dari al-Walid bin Abdullah dari al-Walid bin Jami’ az-Zuhri bahwa Amru bin Huraits bertanya kepada Said bin Zaid, dia berkata, “Kapan Abu Bakar dibaiat? Apakah kamu menyaksikan wafat Nabi saw?” Dia menjawab, “Ya.. pada hari kematian Rasulullah saw, mereka tidak ingin membiarkan sebagian hari sementara mereka tidak di atas jama’ah.” Dia bertanya, “Adakah seseorang yang menyelisihi?” Dia menjawab, “Tidak, kecuali murtad atau orang yang hampir murtad kalau bukan Allah menyelamatkan mereka dari orang-orang Anshar.” Dia bertanya, “Adakah seorang Muhajirin yang berpangku tangan?” Dia menjawab, “Tidak, mereka berbondong-bondong membaiatnya tanpa dia menyeru mereka.” (Juz 2 hal. 447).

Inilah fakta sejarah tershahih, Ali membaiat Abu Bakar, tidak pernah tidak shalat walaupun sekali di belakangnya dan mendukungnya sebagai khalifah Rasulullah saw. Adakah orang-orang itu berkenan untuk membuka mata?