Keinginan suami istri untuk mendapatkan buah hati adalah keinginan yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan sebagai bapak atau ibu, tidak ada penghalang dari sisi syar’i bagi keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas kaidah syariat yang suci, namun terkadang ikhtiar mereka berdua belum juga membuahkan hasil, upaya keras mereka dibayangi aroma kegagalan, padahal harapan hati akan buah hati sudah sedemikian menggebu, akhirnya muncul pemikiran untuk menempuh jalan tabanni, mengangkat anak yang tidak lahir dari rahim sendiri sebagai anak. Ini satu sisi.

Sisi yang lain, norma akhlak masyarakat semakin longgar, dosa dan kemaksiatan mudah didapatkan, hubungan Bani Adam dengan Binti Hawa berjalan tanpa ikatan dan dasar agama yang mapan, akibatnya tidak jarang Binti Hawa hamil tanpa suami syar’i, anak pun lahir hanya dengan bapak biologis, tidak tahan menahan malu maka bayi pun dibuang, bisa di tempat sampah, bisa di teras orang dan yang paling mendingan adalah di panti asuhan. Anak malang dan miskin, lahir tanpa dosa tetapi harus memikul beban akibat ulah bapak ibu biologisnya yang tidak bertanggung jawab, femnomena anak buangan atau anak yang tidak mengenal bapak ibunya pun mewabah. Ini sisi yang kedua.

Sisi yang ketiga, beberapa suami istri, Allah belum melapangkan rizki mereka, mereka hidup serba pas-pasan, kekurangan adalah hal lumrah bagi mereka, ibarat kata pagi makan sore tiada, tidak tercium aroma kemakmuran sedikit pun pada mereka, beban hidup mereka semakin berat manakala sang istri adalah seorang yang walud, mudah melahirkan sehingga keluarga tersebut adalah keluarga dengan anak yang banyak, alhasil dengan kondisi yang serba minim, maka minim pula perhatian suami istri kepada anak-anak mereka, perhatian terhadap kesehatan, pendidikan, pengajaran dan kasih sayang minim.

Di sinilah kebutuhan tabanni itu muncul, adanya anak-anak yang tidak jelas bapaknya dan adanya anak-anak yang bapak ibunya miskin papa, tetapi ada suami istri yang mampu dari sisi ekonomi namun tidak mempunyai anak.

Tabanni adalah seseorang anak orang lain diangkat sebagai anaknya. Jika hal itu hanya sebatas pengasuhan, di mana orang yang mengambilnya hanya bertindak sebagai wali yang menjamin kebutuhan makan, minum dan pendidikannya tanpa mengaburkan atau menghapus nasab anak tersebut kepada bapak syar’inya, anak tersebut tetap dipanggil dengan fulan bin fulan (bapaknya, bukan bapak pengasuhnya) maka hal ini tidak bermasalah, boleh dari sisi syar’i, bahkan bisa jadi dianjurkan karena ia termasuk tolong menolong dalam kebaikan, termasuk membantu meringankan kesulitan saudara seagama.

Namun sebaliknya jika tabanni dilakukan dengan menghapus nasab anak yang bersangkutan padahal nasabnya jelas dan diketahui lalu menggantinya dengan nasab bapak yang mengangkatnya maka hal ini dilarang dalam agama Islam, karena nasab termasuk perkara yang dijaga secara mendasar dalam Islam, haram menghapuskannya atau mengaburkannya, karena ia mengakibatkan banyak mudharat yang tidak diinginkan.

Tabanni dengan makna kedua pernah dibolehkan di awal-awal Islam, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya sehingga Zaid dipanggil dengan Zaid bin Muhammad, hal yang sama pernah dilakukan oleh Abu Hudzaefah bin Utbah yang mengangkat Salim sebagai anaknya, namun setelah itu ia dinasakh (dihapus-ed) dan Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka.

Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” (Al-Ahzab: 4-5).

Dari Abdullah bin Umar bahwa Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak memanggilnya kecuali Zaid bin Muhammad sampai al-Qur`an turun, “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 4782 dan Muslim no. 2425.

Dari Aisyah bahwa Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams, dia termasuk sahabat yang ikut dalam perang Badar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengangkat Salim sebagai anak, dia menikahkannya dengan keponakannya Hindun binti al-Walid bin Utbah bin Rabi’ah, sebelumnya Salim adalah hamba sahaya seorang wanita Anshar, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak, siapa yang mengangkat seorang anak pada masa jahiliyah maka anak tersebut dinasabkan kepadanya dan mewarisi hartanya, sampai Allah Ta’ala menurunkan, “Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka…” Sampai kepada, “Dan maula-maulamu.” Maka mereka dikembalikan kepada bapak-bapak mereka, siapa yang tidak diketahui bapaknya maka dia adalah maula dan saudara dalam agama, maka Sahlah binti Suhail bin Amru al-Qurasyi kemudian al-Amiri, istri Abu Hudzaifah bin Utbah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, kami telah menganggap Salim sebagai anak, padahal Allah telah menurunkan kepadamu apa yang engkau ketahui… Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 5088 dan Muslim no. 1453.

Ucapan Orang Dewasa Kepada Anak Kecil, “Wahai Anakku.”

Ucapan seorang laki-laki kepada anak kecil sebagai ungkapan kasih sayang, “Wahai anakku.” bukan termasuk tabanni, karena maknanya adalah wahai anak yang seperti anakku.

Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda kepadaku, “Wahai anak kecilku.” Diriwayatkan oleh Muslim no. 2151. Imam an-Nawawi telah meletakkan bab dalam hal ini dengan judul, “Bab dibolehkan dan dianjurkan mengucapkan, ‘Wahai anakku’ kepada bukan anaknya sebagai ungkapan kasih sayang.” Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim 3/1693.

Dari ash-Sha’ab bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya berkata, aku datang kepada Umar bin al-Khatthab, dia berkata, “Wahai anak saudaraku.” Kemudian dia bertanya kepadaku, maka aku menyebutkan namaku dan nama bapakku, maka dia mengetahui bahwa bapakku tidak mendapatkan Islam, maka dia berkata, “Wahai anakku, wahai anakku.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad 1/281 no. 806.

Al-Bukhari meletakkan bab, “Bab Qaul ar-Rajul, ya bunayya lima abuhu lam yudrik al-Islam.”

Ucapan Anak Kecil Kepada Orang Dewasa, “Wahai Bapakku.”

Demikian pula ucapan anak kecil kepada laki-laki dewasa, “Wahai bapakku.” Atau, “Wahai ayahku.” sebagai ungkapan hormat dan penghargaan, ini tidak mengapa, tidak termasuk ke dalam apa yang kita bicarakan sedikit pun.

Seseorang Menasabkan Diri Bukan Kepada Bapaknya

Termasuk dosa besar, sebagaimana pengangkatan seseorang terhadap seorang anak sebagai anaknya adalah haram, maka penasaban diri seorang anak kepada yang bukan bapaknya juga haram, bahkan ia termasuk ke dalam dosa-dosa besar.

Dari Abu Dzar bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang laki-laki menasabkan dirinya kepada orang yang bukan bapaknya sedangkan dia mengetahui kecuali dia telah kafir. Barangsiapa mengakui suatu kaum padahal dia bukan dari mereka maka hendaknya memilih tempat duduknya di neraka.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 3508 dan Muslim no. 61.

Dari Watsilah bin al-Asqa’ berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk dusta terbesar adalah seseorang menasabkan diri bukan kepada bapaknya atau menceritakan mimpinya padahal dia tidak bermimpi atau dia berkata dusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 3508.

Seorang Bapak Tidak Mengakui Anaknya

Termasuk dosa besar, sebagaimana haram mengakui anak orang lain sebagai anaknya, haram pula tidak mengakui anak sendiri. Syariat Islam memang syariat yang adil.
Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa memungkiri anaknya untuk membeber aibnya di dunia maka Allah akan membeber aibnya di hadapan manusia, qishash dengan qishash.” Diriwayatkan oleh Ahmad 2/26, sanadnya menurut Hafizh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya` 4/79 jayyid, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3480.

Seorang Wanita Memasukkan Orang lain Kepada Suatu Kaum Padahal Dia Bukan Dari Mereka

Wanita itu berzina, padahal dia bersuami lalu dia hamil, anak itu dinasabkan kepada suaminya padahal dia bukan anak suami, ini termasuk dosa besar.

Dari Abu Hurairah bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat ayat tentang dua orang yang berli’an turun, “Wanita mana pun yang memasukkan seseorang kepada suatu kaum padahal dia tidak termasuk dari mereka maka dia telah berlepas diri dari Allah, Allah tidak memasukkannya ke dalam surgaNya. Laki-laki mana pun memungkiri anaknya sedangkan dia melihatnya niscaya Allah akan berhijab darinya dan Dia akan membuatnya malu di hadapan orang-orang dahulu dan orang-orang yang datang kemudian.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2263, an-Nasa`i no. 3481, ad-Darimi no. 2238, al-Hakim no. 2814, dia menshahihkannya di atas syarat Muslim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.