Islam sebagai agama berpijak dan berdasar kepada dalil, dan dalil dalam Islam adalah al-Qur`an, sunnah dan ijma’ yang berpijak kepada kedua dalil sebelumnya. Jika agama berpijak kepada sumber yang satu dan dasar yang sama maka ia tidak berbeda dan tidak terpecah, karena kesatuan dan kesamaan sumber dan dasar akan membawa kepada kesatuan apa yang dibangun di atasnya. Namun logika sederhana tersebut tidak serta- merta terwujud dalam dunia nyata kaum muslimin, kenyataan di lapangan berbicara bahwa kaum muslimin telah terpecah dan terkotak-kotak. Fenomena kelompok, aliran, golongan dan sekte di tubuh kaum muslimin semakin meningkat dan bertambah, padahal mayoritas dari aliran dan kelompok tersebut menyatakan diri berpijak dan berdasar kepada al-Qur`an dan sunnah. Pertanyaan sederhana yang terbetik dalam benak, mengapa demikian? Ada apa?

Karena pertanyaannya sederhana maka jawabannya pun sederhana, letak masalahnya ada pada metode pengambilan dalil. Lha kok bisa? Bukankah jika sumurnya satu dan sama-sama sumur air, dengan cara apapun kita menimbanya, dengan timba, dengan gayung, dengan pompa tangan, dengan pompa air, hasilnya tetap air? Benar dan tidak salah, namun masalah tidak sesederhana itu, kalau menimbanya benar maka air jernih didapat, kalau tidak maka air bercampur tanah, dengan asumsi air bersih yang didapat, ternyata setelah air didapat, air tidak dibiarkan berupa air, akan tetapi ia diolah menjadi berbagai wujud lain, ada teh, ada kopi, ada sirup, ada sayur dan lain-lainnya. Jadi dalam kasus ini ada unsur dan faktor luar menyusup atau dimasukkan sehingga merubah air yang telah diambil tersebut. Sama halnya dengan apa yang ditimba dari al-Qur`an dan sunnah, kalau menimbanya benar niscaya hasilnya bening, shahih dan benar, selanjutnya hasil yang shahih ini akan tetap shahih jika ia dijaga dan tidak dirusak oleh unsur dan faktor luar yang bisa merubahnya. Inilah yang terjadi secara umum pada aliran-aliran dan kelompok-kelompok kaum muslimin.

Aliran-aliran tersebut mengaku dan mengklaim menimba dari sumur al-Qur`an dan sunnah, kalau klaim mereka benar dan menimbanya pun benar niscaya hasilnya pun akan bersih dan jernih, namun kenyataannya mereka menimba dengan cara mengaduk sumur tersebut terlebih dulu atau memakai timba yang penuh kotoran, dari mana air bisa keluar dalam kondisi bersih? Inilah kenyataannya dan disinilah letak permasalahannya.

Ketika misalnya Khawarij muncul dengan ciri khasnya, kekerasan dan pengkafiran terhadap para pelaku dosa besar dari kalangan kaum muslimin, aliran ini mengaku menimba dari sumur al-Qur`an dan sunnah, namun dengan cara menimba yang tidak benar, mereka hanya mengambil dalil-dalil ancaman dan melupakan atau menutup mata dari dalil-dalil harapan dan ampunan, akibatnya hasilnya pun demikian. Hadir Murji`ah yang setali tiga uang dengan Khawarij, hanya saja aliran yang kedua ini mengambil sisi kedua yaitu dalil harapan dan ampunan dan membuang dalil ancaman, akibatnya mereka pun berkata, dosa sebesar apapun tidak membuat pelakunya berkurang imannya, imannya tetap utuh seperti sebelum melakukan dosa.

Cara menimba aliran-aliran tersebut dari sumur al-Qur`an dan sunnah adalah cara yang keliru dan salah yang berujung kepada kesesatan. Berikut ini adalah dasar-dasar metode pengambilan dalil mereka secara umum.

1- Memperlebar sumber dalil dengan tidak merasa cukup kepada wahyu yang kebenarannya otentik dan valid, mereka berdasar kepada dugaan, khayalan dan akal murni lalu mereka menamakannya dengan logika, mereka berpijak kepada kisah-kisah dari negeri Anta Berantah, hadits-hadits palsu, atsar-atsar dusta dan seterusnya.

2- Membuang kaidah-kaidah pengambilan dalil yang benar, beriman kepada sebagian ayat dan mengingkari ayat yang lain, mengambil sebagian dalil dan mencampakkan sebagian yang lain, yang mutasyabih tidak dipulangkan kepada yang muhkam, yang umum tidak dipahami melalui yang khusus, dalil-dalil ancaman diberdirikan sendiri jauh dari dalil-dalil harapan, tidak menafsirkan sebagian dalil dengan dalil lainnya dan seterusnya.

3- Memberikan ruang gerak yang lebar bagi hawa nafsu untuk memainkan peranannya, akibatnya menolak dan membuang dalil yang shahih yang tidak sejalan dengan hawa nafsu menjadi suatu keniscayaan bahkan keharusan.

4- Merasa sok pinter padahal sejatinya dungu dengan melepeh petunjuk para sahabat, menolak tafsir mereka terhadap dalil dan pemahaman mereka yang shahih, lebih memilih jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, menerjuni lahan-lahan yang tidak patut mereka terjuni, membahas masalah-masalah yang sebenarnya simple dan mudah dengan kata-kata yang muluk-muluk biar dikata lebih pandai dari para sahabat, padahal sejatinya hanya bualan, tidak lebih.

5- Menuhankan akal manusia dan menganggapnya lebih tinggi daripada syara’, padahal pencipta akal adalah peletak syara’, sejak kapan sesuatu yang diciptakan mampu mengungguli penciptanya? Akibatnya jika ada dalil syar’i yang menurutnya bertentangan dengan akal, maka nasib dalil tersebut adalah ditendang ke tong sampah.

6- Alergi kepada sunnah dan para pembawanya dan selanjutnya berpijak kepada hawa nafsu, akal manusia, khayalan dan kepalsuan yang tidak berdasar.

Inilah metode keliru dalam mengambil dalil yang dilakukan oleh aliran-aliran sesat dan para pengusung hawa nafsu di atas, akibatnya mereka pun menelorkan akidah dan pemikiran yang menyimpang dari jalan yang benar.

Jika cara mengambil dalil di atas keliru, lalu mana yang benar? Ini dia:

1- Membatasi dalil dalam agama hanya pada wahyu.

2- Memperhatikan kaidah-kaidah pengambilan dalil yang benar, tidak mempertentangkan sebagian dalil dengan sebagian yang lainnya tetapi menggabungkan di antara keduanya, dalil global dipahami melalui dalil yang mubayyan, dalil yang mutlak dipahamai melalui dalil muqayyad dan seterusnya.

3- Memakai semua dalil yang shahih tanpa membedakan antara yang mutawatir dengan yang ahad, di bidang akidah atau selain akidah.

4- Memahami al-Qur`an melalui al-Qur`an, hadits melalui hadits, al-Qur`an melalui hadits dan sebaliknya, memperhatikan makna dalam bahasa Arab karena al-Qur`an dan hadits dengan bahasa ini.

5- Merujuk kepada pemahaman para sahabat dalam memahami dalil, karena mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu, mereka lebih tahu bahasa, lebih memahami maksud syariat.

5- Mengamalkan apa yang mereka ketahui dari agama dan apa yang belum mereka ketahui mereka menerimanya dan menyerahkan ilmunya kepada Allah tanpa membahasnya panjang lebar.

6- Meyakini bahwa dalil syar’i yang shahih tidak bertentangan dengan fitrah yang bersih dan akal yang lurus, apa yang diduga oleh sebagian kalangan bahwa ia bertentangan maka hal itu karena keterbatasan akal mereka.

7- Memperhatikan sanad yang shahih dan adalah para rawi karena ia adalah bagian dari agama.

Dari Manahij Ahlil Ahwa` wal Iftiraq wal Bida’, Dr. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql.