Allah telah menceritakan dalam kitab-Nya biografi Nabi Ibrahim AS dalam sejumlah ayat, karena di dalamnya terdapat teladan yang baik bagi kita, dimana keteladanan itu secara umum dapat kita temukan pada biografi para nabi dan secara secara khusus pada biografi Nabi Ibrahim AS.

Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Nabi kita SAW dan kepada kita supaya mengikuti ajaran agamanya dalam hal yang berkaitan dengan akidah, akhlak serta ibadah baik yang berhubungan langsung dengan Allah maupun yang berhubungan dengan manusia.

Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada Nabi Ibrahim AS, mengajarinya ilmu sejak kanak-kanak serta memperlihatkan kepadanya kerajaan langit dan bumi. Karena itu, ia menjadi manusia yang paling agung dalam segi keyakinan, ilmu serta kekuatan dalam urusan agama Allah serta kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya.

Allah mengutusnya kepada kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan dan bintang yaitu kaum ash-Shab’iah, yaitu suatu kaum yang paling jelek dan paling berbahaya terhadap manusia, sehingga Nabi Ibrahim AS menyeru mereka ke jalan Allah dengan berbagai macam cara.

Pertama, Nabi Ibrahim AS menyeru mereka dengan cara-cara yang tidak memungkinkan orang yang berakal menghindar darinya. Ketika mereka menyembah tujuh buah planet termasuk di dalamnya matahari serta bulan, maka mereka pun membangun gedung-gedung yang disebut al-Hayaakil (kuil-kuil).

Nabi Ibrahim AS berdialog dengan mereka: “Hai kaumku, setelah kami memperhatikan dengan seksama, bahwa ternyata tidak satu pun dari planet-planet itu yang memiliki sifat Uluhiyyah dan Rububiyyah (ketuhanan): “Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Rabbku.” (Al-An’am: 76).

Dialog memiliki perbedaaan dengan pembicaraan lainnya dalam membahas sejumlah masalah. Adapun perbedaan tersebut di antaranya: orang yang berdialog akan mengatakan sesuatu yang diyakininya supaya dikemukakan hujjah kepadanya dan ia pun akan mengemukakan hujjah kepada lawan bicaranya seperti Nabi Ibrahim AS mengemukakan hujjah dalam kasus perusakan berhala-berhala ketika mereka bertanya kepadanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” (Al-Anbiya’: 62). Ketika itu Nabi Ibrahim AS menunjuk berhala yang tidak dihancurkannya, seraya berkata, “Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 63).

Tujuan Nabi Ibrahim AS melakukan tindakan itu adalah memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah, dan ternyata hal itu berhasil.

Sehingga memudahkan kita untuk memahami perkataannya: “Inilah Rabbku.” (Al-An’am: 76). Yakni jika bintang-bintang itu berhak disebut ilah setelah memperhatikan keadaan dan sifatnya, maka bintang-bintang itu pantas menjadi Rabbku. Sedang Nabi Ibrahim AS telah mengetahui berdasarkan ilmu yakin, bahwa bintang-bintang tersebut tidak berhak disebut sebagai Rabb atau ilah, melainkan hanya susunan atom. Akan tetapi dengan perkataannya itu, Nabi Ibrahim AS bermaksud memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah: “Tetapi tatkala bintang itu tenggelam.” (Al-An’am: 76). Yakni tidak tampak (menghilang), maka “Dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (Al-An’am: 76).

Sesungguhnya mahluk yang keberadaannya antara ada dan tiada atau tampak dan menghilang, niscaya setiap orang yang berakal akan meyakini bahwa mahluk tersebut tidak sempurna, sehingga tidak berhak disebut ilah. Kemudian Nabi Ibrahim AS beralih kepada bulan, dan ketika ia melihatnya terbit, seraya berkata, “Inilah Rabbku.” Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata, “Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-An’am: 77). Kemudian Nabi Ibrahim AS memperlihatkan kepada mereka rahmat Allah dan keselamatan dari-Nya yang dikaruniakan kepadanya.

Nabi Ibrahim AS menggambarkan dirinya dalam gambaran yang sesuai dengan mereka, akan tetapi tidak dalam gambaran Taqlid (peniruan) melainkan dalam gambaran yang dimaksudkan untuk mengemukakan hujjah mengenai ketuhanan bintang serta bulan yang kini menghilang. Menurut logika dan keterangan nash, maka sangatlah jelas kebathilan mentuhankan keduanya. Karena itulah, hingga sekarang aku belum memiliki keputusan tentang Rabb dan Ilah yang agung.

Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit” , maka Nabi Ibrahim AS berkata, “Ini yang lebih besar.” (Al-An’am: 78). Yakni lebih besar daripada bintang dan bulan, tetapi apabila berlaku padanya ketentuan sebagaimana yang berlaku pada keduanya, maka keberadaannya adalah seperti keduanya (tidak patut dijadikan sebagai Ilah atau Rabb).

Allah Ta’ala berfirman, “… Tatkala matahari itu telah terbenam.” (al-An’am: 78). Nabi Ibrahim AS telah menegaskan semua pengakuannya yang telah lalu, bahwa beribadah kepada sesuatu yang suka menghilang adalah perbuatan yang bathil.

Ketika itu Nabi Ibrahim AS mengharuskan mereka kepada kemestian tersebut serta memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah, seraya ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku ….” (al-An’am: 78-79). Yakni lahir serta bathinku. Nabi Ibrahim AS berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” (al-An’am: 79).

Itulah hujjah yang logis dan jelas, bahwa Pencipta alam yang tinggi dan rendah adalah Dzat yang harus disembah dengan cara mentauhidkan-Nya serta ikhlas beribadah kepada-Nya, sedangkan tata surya, bintang-bintang dan planet yang lainnya adalah mahluk yang diciptakan, yang tidak memiliki sifat-sifat yang menjadikannya pantas disembah. Selanjutnya mereka menakut-nakuti Nabi Ibrahim AS dengan berbagai macam siksaan serta ancaman dari ilah mereka yang akan menimpakan keburukkan kepadanya. Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang musyrik ialah orang-orang yang memiliki khayalan yang kacau serta pandangan yang rendah terhadap sesuatu yang mereka yakini, bahwa ilah-ilah mereka itu akan memberikan manfaat kepada orang yang menyembahnya dan mendatangkan kemadaratan kepada orang yang mengabaikannya atau mencelanya.

Kemudian Nabi Ibrahim AS berkata kepada mereka sebagai penjelasan bahwa ia tidak takut sama sekali dengan ancaman atau siksaan ilah mereka, malah ketakutan yang sebenarnya justru terdapat pada dirimu, seraya ia berkata, “Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui.” (al-An’am: 81).

Allah menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang umum yang mencakup kisah tersebut dan kisah lainnya di sepanjang zaman. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82).

Kemudian Allah Ta’ala mengangkat derajat Nabi Ibrahim AS kekasih-Nya dengan ilmu dan hujjah yang dikemukakannya, kemudian melemahkan mereka dalam membela kebathilan mereka, tetapi mereka bungkam seribu bahasa dan tidak mengemukakan hujjah kepadanya; sehingga nasehat, peringatan serta hujjah tidak bermanfaat bagi mereka.

Nabi Ibrahim AS terus-menerus menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah dan melarang mereka dari ibadah yang biasa mereka lakukan dengan larangan yang khusus dan yang umum. Adapun seruannya yang lebih khusus ditujukan kepada Azar bapaknya, dimana ia mengajak bapaknya dengan berbagai cara yang bermanfaat, tetapi “Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (Yunus: 96-97).

Adapun di antara sejumlah seruannya yang disampaikan kepada bapaknya adalah “ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak medengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 42-43).

Perhatikanlah, betapa indahnya perkataan tersebut yang dapat memikat hati (kecuali hati yang keras), dimana Nabi Ibrahim AS tidak mengatakan kepada bapaknya: “Sesungguhnya ayahanda adalah seorang yang bodoh.” Hal itu dimaksudkan supaya bapaknya tidak berpaling dan lari karena mendengar perkataan yang kasar, melainkan ia berkata kepada bapaknya dengan perkataan sebagai berikut: “Wahai bapakku, janganlah kamu meyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab oleh Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 44-45).

Nabi Ibrahim AS mengganti cara menyerunya dengan cara lain dengan harapan mudah-mudahan bermanfaat bagi bapaknya, akan tetapi seiring dengan seruannya maka bapaknya bertanya kepadanya: “Bencikah kamu kepada ilah-ilahku, hai Ibrahim! Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (Maryam: 46).

Begitulah kenyataan yang terjadi, dan Nabi Ibrahim AS tidak benci dan tidak menanggapi perkataan bapaknya dengan sebagian bantahannya, tetapi menanggapi keburukkan (ancaman besar) tersebut dengan kebaikkan, seraya berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu.” (Maryam: 47). Yakni aku tidak akan berkata kepadamu, kecuali perkataan yang baik, yang tidak mengandung kebencian dan kekasaran di dalamnya. Meskipun demikian, aku tidak akan berputus asa memohonkan petunjuk bagimu: “… Aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47). Yakni sesungguhnya Allah sangat baik dan penuh kasih sayang kepadaku. Dia pun telah menjanjikan kasih sayang-Nya bagiku, membimbingku menuju arah yang baik dan mengabulkan permohonanku.

Nabi Ibrahim AS dan kaumnya senantiasa terlibat dialog dan perdebatan, dan ia selalu mematahkan dalil, hujjah dan keraguan mereka. Nabi Ibrahim AS mampu mengalahkan hujjah mereka dengan hujjah yang agung dan menghadapi kekasaran, kelaliman, kekuasaan serta kekuatan mereka tanpa rasa takut dan khawatir.

Ketika pada suatu hari mereka bepergian keluar wilayah mereka untuk mengadakan suatu perayaan dan Nabi Ibrahim AS ikut pergi bersama mereka, lalu ia melihat ke arah bintang-bintang, seraya berkata, “Sesungguhnya aku sakit.” (ash-Shafat: 89). Tindakan itu dilakukannya, karena ia merasa khawatir akan terlewatkan melakukan perbuatan yang berbeda dengan perayaan tersebut, sehingga tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkannya, karena ia secara terang-terangan menunjukkan kebencian atas perayaan tersebut dan menentang keras keseriusan keluarganya dalam melaksanakannya. Setelah Nabi Ibrahim AS merasa yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi ke gurun pasir, maka ia segera pergi menuju bangunan tempat penyimpanan berhala-berhala dan menghancurkan semua berhala hingga berkeping-keping kecuali sebuah berhala yang paling besar yang dibiarkannya tetap utuh, supaya ia dapat memberikan hujjah kepada mereka. Ketika mereka pulang dari perayaan itu maka mereka langsung pergi mendatangi berhala-berhala mereka dengan penuh kecintaan dan ketika itu mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan yang disaksikan para pemilik berhala-berhala itu, seraya mereka berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zhalim.” Mereka berkata, “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini.” (al-Anbiya’: 59-60). Yakni yang mencacinya dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang kurang pantas dan buruk, “yang bernama Ibrahim.” (al-Anbiya’: 60). Setelah mereka meyakini bahwa Nabi Ibrahim AS yang telah menghancurkan berhala-berhala tersebut, seraya berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (al-Anbiya’: 61). Yakni mempersaksikannya di depan orang banyak dan mencacinya dengan cacian yang kasar. Selanjutnya mereka menjatuhkan hukuman kepadanya.

Tindakan itulah yang justru dikehendaki Nabi Ibrahim AS supaya dapat memperlihatkan kebenaran di depan mata dan pendengaran mereka. Setelah orang-orang hadir dan berkumpul maka mereka menghadirkan Nabi Ibrahim AS, seraya bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya.” (al-Anbiya’: 62-63). Nabi Ibrahim AS menunjuk sebuah berhala yang paling yang selamat dari kehancuran. Dengan isyarat tersebut, maka mereka dihadapkan pada dua pilihan:

– Mengakui kebenaran, karena tidaklah masuk akal bagi siapa pun bahwa sebuah benda mati yang terbuat dari materi tidak mungkin melakukan perbuatan itu.

– Mereka akan mengatakan ya bahwa berhala yang besar itulah yang melakukannya dan kamu selamat dari kutukannya. Nabi Ibrahim AS yakin, bahwa mereka tidak akan mengatakan kemungkinan yang lain.

Nabi Ibrahim AS berkata, “… maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (al-Anbiya’: 63). Perkataan itu merupakan kritikan terhadap sesuatu yang mustahil yang mereka ketahui.

Ketika itu kebenaran terlihat dengan jelas dan mereka yang hadir mengetahui kebenaran itu sehingga mereka berkata terhadap diri mereka sendiri: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian kepala mereka jadi tertunduk ….” (Al-Anbiya’: 64). Yakni tidaklah pengakuan mereka akan bathilnya ketuhanan berhala-berhala itu, melainkan hanya dalam waktu sementara. Setelah itu, mereka langsung mengemukakan hujjah yang tidak mungkin mengingkari ketuhanan berhala-berhala itu, sehingga mereka pun segera kembali kepada keyakinan yang bathil yang telah berakar dalam hati mereka dan menetapkan sifat-sifat yang pantas bagi berhala-berhala itu; jika ditemukan sifat-sifat yang menafikan ketuhanan berhala-berhala itu, dimana sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang baru yang disifatkan, dan setelah itu; sifat itu hilang. “… kemudian kepala mereka jadi tertunduk, (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu(hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (Al-Anbiya’: 64-65).

Mereka mendapat celaan dan cemoohan setelah diutarakan kepada mereka hujjah yang dengannya diketahui bantahan yang membuat kepala-kepala yang bersaksi tertunduk. Nabi Ibrahim AS berkata kepada mereka, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa’at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu.” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami.” (al-Anbiya’: 66-67). Jika saja mereka memiliki akal yang sehat, niscaya mereka tidak akan beribadah kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau madharat, dan tidak dapat membela dirinya dari orang yang melakukan kejahatan kepadanya.

Ketika kebingungan mereka dikalahkan dengan dalil yang nyata dan hujjah yang kuat, maka mereka beralih menggunakan kekuatan, kekasaran dan kekerasan mereka untuk menjatuhkan siksaan kepada Nabi Ibrahim AS, seraya berkata, “Bakarlah dia dan bantulah ilah-ilah kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (al-Anbiya’: 68). Mereka menyalakan api yang besar sekali dan melemparkan Nabi Ibrahim AS ke dalam kobaran api tersebut.

Dalam menghadapi keadaan tersebut, maka Nabi Ibrahim AS berkata, “Cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung.”*

Allah Ta’ala berfirman kepada api: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjaddi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (al-Anbiya’: 69), sehingga tidak membahayakannya sedikitpun.

Allah Ta’ala berfirman, “Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim.” (al-Anbiya’: 70), yakni untuk menolong ilah-ilah mereka dan menanamkan ketundukan dan pengagungan kepadanya dalam hati mereka dan hati para pengikut mereka. Akibat dari perbuatan makar tersebut adalah kembali ke diri mereka sendiri dan Nabi Ibrahim AS mendapatkan kemenangan di hadapan orang-orang tertentu dan masyarakat umum dan di hadapan para pemimpin serta rakyat jelata.

Penentangan terhadap Nabi Ibrahim AS hingga dilakukan raja mereka (Namrud) berkenaan dengan Rabbnya dengan sikap sombong dan lalim “karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan).” (al-Baqarah: 258). Nabi Ibrahim AS menjawab, “Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (al-Baqarah: 258).

Nabi Ibrahim AS mematahkan dalil raja itu dengan cara yang jitu, seraya berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (al-Baqarah: 258).

* Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, seraya berkata: “Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung” diucapkan Ibrahim AS ketika dilemparkan ke dalam kobaran api, dan Muhammad SAW mengucapkannya saat dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung.” (Ali Imran: 173). (HR. al-Bukhari).