Rasulullah bersabda,
“Andaikata engkau berinfak di jalan Allah seukuran gunung Uhud, niscaya Allah tak akan menerimanya darimu hingga engkau beriman kepada Qadar.” (HR. Ibnu Hibban, no.727 )
Saudaraku…

Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah ini – yakni: iman kepada qadar- bahkan merupakan suatu keharusan karena ia adalah termasuk rukun iman. Rasulullah pernah ditanya oleh Jibril, “Apakah iman itu?“ di antara isi jawaban beliau yaitu, “Beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.” (HR. al-Bukhari ).

Lalu, apakah yang dimaksud dengan “Qadar” itu? Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin dalam bukunya “Syarh Ushul al-Iman” mengatakan, “al-Qadar adalah takdir Allah untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan Ilmu dan Hikmah-Nya.”
Dalam rangka memahami hal penting ini, berikut ini kami kemukakan 6 prinsip dalam masalah ini.

Prinsip Pertama:
Kita wajib mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci baik yang terkait dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya. Kita juga wajib mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di Lauh Mahfuzh.
Allah berfirman, artinya, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. al-Hajj: 70).
Abdullah bin Umar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi 50 ribu tahun’” (HR. Muslim).

Prinsip Kedua:
Kita wajib mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada, kecuali dengan kehendak Allah, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan makhluk-Nya.
Allah berfirman, artinya, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (Qs. al-Qashash: 68)
Allah juga berfirman, artinya, “Kalaulah Allah menghendaki, maka Dia memberikan kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu..” (Qs. an-Nisa: 90).

Prinsip Ketiga:
Kita wajib mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya, dan geraknya diciptakan oleh Allah.
Allah berfirman, artinya, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (Qs. az-Zumar: 62)
Allah juga berfirman, artinya, “Dan Dia telah menciptakan segala suatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. al-Furqaan: 2). Allah berfirman tentang nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, artinya, “Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS. ash-Shaffat: 96).

Prinsip Keempat:
Iman kepada takdir tidak menafikkan kehendak dan kemampuan manusia
Allah berfirman tentang kehendak manusia, artinya, “Maka barangsiapa menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabnya” (QS. an-Naba: 39). Allah berfirman tentang kemampuan manusia, artinya, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taat…” (QS. at-Taghabun: 16)
Allah juga berfirman, artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang dikerjakannya serta mendapatkan siksa dari (kejahatan) yang dikerjakan…” (QS. al-Baqarah: 286).
Saudaraku…
Bukankah manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu? Bukankah pula ia dapat membedakan antara kemauannya (seperti berjalan) dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar)? Namun perlu diketahui dan diyakini bahwa kehendak serta kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyiah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah. Allah berfirman, artinya, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir: 28-29)
Dengan demikian, adalah sesat pendapat orang yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa atas perbuatannya, tidak mempunyai iradah (kemauan) dan qudrah ( kemampuan). Sesat pula pendapat orang yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya, kehendak serta takdir Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Prinsip Kelima:
Iman kepada takdir bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat.
Apakah iman kepada takdir berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat? Jawabannya adalah “tidak“.
Perhatikan firman Allah, artinya, “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?’ kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” (QS. al-An’am: 148). Kalaulah alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, tentu Allah tidak akan menjatuhkan siksa-Nya. Perhatikan juga firman Allah, artinya, “(mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. an-Nisa’: 165).
Kalaulah seandainya takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, maka tentulah Allah tidak menafikannya dengan mengutus para rasul, karena menyalahi sesuatu setelah terutusnya para rasul jatuh pada takdir Allah juga.

Prinsip Keenam:
Keimanan yang benar terhadap takdir Allah memiliki buah yang baik bagi pelakunya. Diantara buahnya adalah:
1. Bersandar kepada Allah ketika mengerjakan sebab-sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allah.
2. Kita tidak lagi mengagumi diri ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan nikmat dari Allah yang dikarenakan takdir-Nya yaitu sebab-sebab keberhasilan. Dan mengagumi diri akan dapat melupakan syukur nikmat ini.
3. Akan timbul dalam diri –insyaallah– ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang berlaku, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau datangnya sesuatu yang tidak disukai. Karena dia tahu bahwa hal itu ditentukan dengan takdir Allah yang memiliki langit dan bumi dan bahwa hal itu akan terjadi dengan pasti.
Saudaraku…
Kita tutup tulisan ini dengan firman Allah. Allah berfirman, artinya, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira (yakni: gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah) terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. al-Hadid: 22-23). Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab (Redaksi)
[Sumber:
Disarikan dari berbagai sumber]