Berpijak kepada dusta dan riwayat palsu yang tidak bersanad

Di antara sebab kesesatan para pengusung hawa nafsu adalah bahwa mereka berpijak dalam mengambil dalil kepada pijak yang tidak berdasar, palsu, dusta dan tidak bersanad. Mereka tidak segan untuk berdusta, menerima kedustaan demi mendukung pendapat mereka, di saat yang sama mereka jarang berpijak kepada yang shahih yang diriwayatkan oleh para ulama hadits, justru sebaliknya mereka membuang yang shahih ini jika tidak sejalan dengan pemikiran mereka.

Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun para pengusung hawa nafsu maka mereka berpijak kepada nukilan yang tidak diketahui siapa pengucapnya, tidak orang terpercaya, tidak pula orang yang bisa dipegang kata-katanya, yang paling ringan bagi mereka adalah dusta yang dibuat-buat. Orang yang paling tahu di antara mereka tidak merujuk dalam nukilannya kepada sesuatu yang bisa dijadikan pijakan, akan tetapi kepada cerita-cerita orang-orang bodoh dan para pembual serta riwayat dari ahli dusta yang nyata.”

Ikhtilaf ala al-Anbiya

Di antara sebab-sebab perpecahan adalah perselisihan terhadap para Rasul dengan meninggalkan apa yang mereka bawa atau menyimpamng dari garis mereka, Nabi saw bersabda, “Biarkan apa yang aku diamkan untuk kalian, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyaknya mereka bertanya dan penyelisihan mereka terhadap Nabi-nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan kalian kepada sesuatu maka lakukanlah apa yang kalian mampu darinya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Allah Ta’ala telah melarang bertanya dalam perkara-perkara di mana peletak syariat mendiamkannya, peletak syariat mendiamkannya karena sebuah hikmah dan rahmat bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Kaum sebelummu telah bertanya tentangnya kemudian mereka menjadi kafir karenanya.” (Al-Maidah: 101).

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, Dia melarang beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya, Dia meletakkan batasan-batasan maka janganlah kalian melampauinya, Dia memaafkan beberapa hal karena kasih sayangNya kepada kalian bukan karena lupa maka janganlah kalian mencari-carinya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bar dalam Jami’ Bayan al-Ilm.

Ibnu Batthah berkata, “Saudara-saudaraku, ketahuilah bahwa aku telah berpikir tentang sebab yang mengeluarkan suatu kaum dari sunnah dan jama’ah dan membuat mereka terlempar masuk ke lingkarang bid’ah yang buruk, membukan musibah atas hati mereka, menutup cahaya kebenaran dari bashirah mereka, maka aku melihat hal itu kembali kepada sua perkara:

1- Membahas dan menggali sesuatu yang tidak penting, pemahamanan tentangnya tidak berguna bagi seorang mukmin, ketidaktahuan terhadapnya tidak merugikan orang yang berakal.

2- Bergaul dengan orang yang fitnahnya sulit diredam sehingga ia merusak hati.” (Al-Ibanah, 1/390).

M engambil ilmu syar’i bukan dari para ulama

Di antara kekeliruan besar dalam belajar ilmu syar’i adalah tidak mengambilnya dari para ulama, minimnya bergaul dengan mereka atau meninggalkan mereka dan meninggalkan majlis mereka. Al-Lalika`i menyebutkan bahwa Khalaf bin Sulaiman berkata, “Jahm bin Shafwan adalah seorang laki-laki yang berasal dari Kufah, lisannya fasih, namun dia tidak berilmu dan tidak bergaul dengan ulama, dia berbicara ala ahli kalam dan Samaniyah.”

Hal inilah yang terjadi pada aliran-aliran menyimpang seperti Khawarij, Mu’tazilah, Rafidhah, jahmiyah dan lainnya, mereka tidak belajar ilmu syar’i dari para imam pembawa petunjuk, akan tetapi dari sebagian yang lain, dan mereka tidak belajar kecuali di atas dasar-dasar mereka yang rusak. Jika salah seorang dari mereka hadir di majlis ulama maka dia akan menempatkan dirinya lebih tinggi dan menyombongkan diri.

Mengambil ilmu syar’i bukan di atas dasar-dasarnya yang syar’i

Di antara sebab terjerumusnya seseorang ke dalam cengkeraman bid’ah dan hawa nafsu adalah kekeliruan dalam cara mengambil ilmu, yakni dengan mengambilnya dengan cara-cara yang tidak syar’i, seperti seseorang yang mulai belajar agama namun dia memulainya dengan belajar ilmu-ilmu filsafat, ilmu ahli kalam dan yang sepertinya.

Mengambil dari ahli kitab

Hal ini termasuk pemicu lahirnya bid’ah dan hawa nafsu, mengambil dari mereka atau dari para pengikut agama lainnya seperti Majusi, orang-orang Shabi`in dan sebagainya, bisa melalui membaca buku-buku mereka atau mendengarkan dai-dai mereka atau yang sepertinya.

Nabi saw telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam perkara ini, suatu kali Umar bin al-Khatthab memegang sebuah naskah Taurat dan memperlihatkannya kepada Nabi saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, ini adalah sebuah naskah Taurat.” Nabi saw diam, lalu Umar mulai membaca sementara wajah Nabi saw mulai berubah, maka Abu Bakar berkata, “Celaka kamu, apakah kamu tidak melihat perubahan pada wajah Rasulullah saw?” Maka Umar berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari murka Allah dan kemarahan Rasulullah saw, aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Demi dzat yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Musa ada di antara kalian lalu kalian meninggalkanku dengan mengikutinya niscaya kalian tersesat dari jalan yang lurus, seandainya Musa hidup dan mendapatkan kenabianku niscaya dia mengikutiku.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan ad-Darimi.

Dari Manahij Ahlil Ahwa` wal Iftiraq wal Bida’, Dr. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql.