Kebodohan termasuk sebab kesesatan yang paling besar, tidak sebatas sesat diri namun menyesatkan orang lain. Bahaya kebodohan, lebih-lebih pada seseorang yang diikuti, dipaparkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abdullah bin Amru berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوساً جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضّلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari manusia secara langsung, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika Dia tidak menyisakan seorang ulama, orang-orang mengangkat para pemimpin yang bodoh, mereka ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka sesat dan menyesatkan.” Muttafaq alaihi, al-Bukhari dan Muslim.

Bentuk-bentuk kebodohan dalam agama yang berbahaya

1- Kebodohan terhadap manhaj salaf

Manhaj beragama yang benar adalah manhaj salaf, berdasarkan sanjungan Allah Ta’ala kepada mereka dalam beberapa ayat dan tazkiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka, di tambah bukti historis yang menunjukkan bahwa kehidupan agama dan dunia mereka adalah yang terbaik, karena kebenaran cara beragama mereka. Pada saat generasi berikut atau orang-orang yang hadir sesudah mereka, mengikuti jejak mereka, maka generasi tersebut selalu berjalan di atas jalan kebenaran, namun tatkala mereka mulai meninggalkannya dan mengambil cara-cara beragama lainnya, kehidupan beragama dan dunia mereka mengalami kemunduran dan perpecahan. Generasi berikut tidak mengikuti jalan salaf shalih disebabkan, salah satunya, oleh kebodohan mereka terhadap manhaj ini.

2- Kebodohan terhadap posisi akal sehat dalam agama

Benar, akal mempunyai nilai urgensi sendiri dalam Islam, di mana ia merupakan manath taklif, salah satu syarat pembebanan, tanpanya tidak ada pembebanan syariat, namun hal ini tidak berarti bahwa akal bisa melancangi wahyu, karena keterbatasannya dan keunggulan wahyu, dari sini bila ada dugaan –saya katakan dugaan, karena sebenarnya tidak ada- pertentangan, maka akal harus mengikuti wahyu, bukan malah dijadikan sebagai timbangan bagi wahyu. Bila hal ini dibalik, di mana akal menjadi titik timbang wahyu maka yang terjadi adalah kesesatan yang bermula dari kebodohan terhadap posisi akal dalam agama.

3- Kebodohan terhadap petunjuk dalil

Said bin Mansur meriwayatkan dari Ibrahim at-Taimi berkata, suatu hari Umar menyendiri, dia berkata kepada dirinya sendiri, “Bagaimana umat ini berselisih sementara Nabinya satu?” Maka dia mengundang Ibnu Abbas, Umar bertanya, “Bagaimana umat ini berselisih sementara Nabinya satu dan kiblatnya satu?” Ibnu Abbas menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, al-Qur`an diturunkan kepada kami lalu kami membacanya dan kami mengetahui pada apa ia diturunkan, lalu setelah kita muncul orang-orang yang membaca al-Qur`an dan tidak mengetahui pada apa ia diturunkan, sehingga masing-masing orang mempunyai pendapat, bila sudah demikian maka mereka akan berselisih.”

4- Kebodohan terhadap maqashid syariah

Dan kebodohan ini biasanya terjadi pada orang-orang yang ilmunya dangkal, sehingga dia tidak mampu memperhatikan dalil-dalil secara general dan komprehensif yang darinya dia mampu menetapkan suatu hukum secara proporsional. Saat hal ini tidak dilakukan karena ketiadaan ilmu, maka yang terjadi adalah ketimpangan dalam menarik kesimpulan dan hukum terhadap sesuatu.

Ambil Khawarij sebagai contoh, apa yang saya katakan terbukti pada mereka, Ibnu Umar berkata, “Mereka adalah makhluk Allah terburuk. Mereka mengambil ayat-ayat untuk orang-orang kafir dan menerapkannya atas orang-orang mukmin.” Hal ini tidak lain karena mereka tidak melihat secara komprehensif, hanya memandang dari satu sudut saja, Nabi shallallahu ‘alaihi wasalllam telah menyifati mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang membaca al-Qur`an namun tidak melewati tenggorokan mereka, artinya –wallahu a’lam- mereka tidak memahami karena al-Qur`an hanya sampai di tenggorokan mereka saja, tidak menyentuh hati yang menjadi titik pemahaman, hanya terbatas pada suara dan bunyi yang tidak membedakan antara orang-orang yang paham dengan orang-orang yang tidak paham.

5-Kebodohan terhadap kebodohan diri

Akibatnya dia merasa bahkan yakin di atas kebenaran, padahal perasaan atau keyakinan di atas kebenaran bukan berarti memang di atas kebenaran. Hal ini rumit, pemiliknya sulit meninggalkannya, karena dia tidak menyadari kebodohannya bahkan dia menyangka itulah ilmu, bahkan membodohkan orang lain. Akibatnya mereka akan terus di atas kesesatan tanpa menyadarinya, setan menjadikan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran yang indah.

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang setan menjadikannya memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Muhammad: 14).

“Maka apakah orang yang dijadikan setan menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan) ? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dan menunjuki siapa yang dikehendakiNya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Fathir: 8). Wallahul Musta’an.

Dari Manahij Ahlil Ahwa` wal Iftiraq wal Bida’, Dr. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql.