Hari Ahad lalu, kerajaan Arab Saudi mengeluarkan keputusan melarang para imam masjid membaca al-Qur`an al-Karim dalam shalat tarawih dan Qiyamullail dengan menggunakan Handphone (HP).

Keputusan yang dikeluarkan menteri urusan keislaman, wakaf, dakwah dan penyuluhan Arab Saudi, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh itu untuk menyikapi polemik yang santer seminggu sebelumnya ketika seorang imam shalat tarawih di salah satu masjid di Arab Saudi membuat bingung jemaah shalatnya. Pasalnya, saat shalat, ia membaca ayat-ayat dari media modern ‘HP’ di mana ayat-ayat itu terlebih dulu didownloadnya ke HP tersebut.

Terkait dengan polemik tersebut, beberapa ulama terkemuka di Arab Saudi mengemukakan pendapatnya. Dr Ali bin Hamzah al-Umari, rektor Universitas Terbuka ‘Mekkah’, yang memberi mata kuliah fiqih Islam mengatakan, “HP bukanlah mushaf dan tidak termasuk dalam lingkup hukum Mushaf.” Ia menyiratkan, buktinya membawa media tersebut ke dalam WC dibolehkan. Demikian juga, boleh dibawa wanita haidh. Hal ini menjadikan hukumnya berbeda dengan hukum Mushaf.

Al-Umari menambahkan, “HP pada dasarnya dinilai sebagai media untuk mengingatkan ayat-ayat dan melihatnya bila seorang imam membutuhkannya dan terpaksa membawanya, sehingga ia membawanya hanya dalam rangka mengingatkan saja.” Ia menambahkan, “Yang direkomendasikan dalam fiqih adalah membawa Mushaf di dalam shalat karena ia memiliki kekhususan tersendiri yang tidak ada pada yang lainnya.!”

Ia juga menyiratkan, sebagian ulama fiqih (fuqaha) menilai makruh membawa Mushaf dan membaca darinya saat sedang shalat karena membawanya itu membutuhkan semacam gerakan. “Membawa HP memiliki cara yang sama dengan gerakan seorang yang shalat. Inilah yang menyebabkan membawanya dalam posisi hukum Makruh,” katanya.

Lebih jauh al-Umari mengingatkan, HP merupakan media elektronik, sehingga karenanya menuntut banyak gerakan yang bertentangan dengan tujuan shalat. Hal ini terkait dengan membawa HP tersebut. Ia kembali menegaskan, andaikata seorang imam hafal al-Qur`an, maka itu adalah lebih baik baginya. Dan bila terpaksa membawa HP tersebut dan membaca darinya, maka tidak apa-apa. Sedangkan bila tindakan ini sudah menjadi kebiasaannya yang rutin, maka hukum syariat mengenainya bisa menjadi makruh.”

Selanjutnya, dosen Fiqih Islam itu menerangkan, para ulama fiqih secara umum memandang bahwa untuk shalat berjemaah, imam shalat haruslah orang yang paling baik bacaan al-Qur`an-nya. Jika mereka melakukan hal itu, pastilah sang imam tidak butuh gerakan membawa Mushaf atau selainnya di dalam shalat.

Sementara itu, Dr Ali bin Sa’id al-Ghamidi, dosen materi fiqih Islam di Universitas Islam Madinah menilai tindakan membawa HP dan membaca darinya itu saat sedang shalat boleh secara syariat. Al-Ghamidi mengatakan, “Yang utama, hendaknya imam membaca al-Qur`an al-Karim dari Mushaf saat sedang shalat.” Ia menyiratkan, tidak apa-apa bila ia membaca beberapa ayat al-Qur`an melalui HP.

Ia menambahkan, “Tidak ada masalah menggunakan Mushaf atau pun HP saat membaca dalam shalat.” Ia kembali menyiratkan bolehnya menggunakan alat bantu seperti HP dan shalatnya tidak batal, baik ia hafal al-Qur`an atau pun tidak.

Senada dengan itu, Syaikh Sasi bin Abdul Aziz al-Majid, dosen mata kuliah fiqih dan anggota staf pengajar di fakultas Syariah, Universitas Islam, Imam Muhammad bin Su’ud mengatakan, “”Larangan itu merupakan sikap preventif dari pak menteri. Tujuannya untuk mencegah kesalahan yang terkadang terjadi akibat kesalahan isi mushaf-mushaf elektronik tersebut, seperti kesalahan-kesalahan dalam tulisan ‘Rasm Utsmani,’ atau tidak adanya sebagian kata.”

Al-Majid menambahkan, “Bergantung kepada media-media tersebut terkadang mengalihkan perhatian para imam dari menghafal al-Qur`an al-Karim.” Ia menyiratkan, larangan itu ingin menegaskan agar para imam harusnya menghafal al-Qur`an al-Karim di luar kepala.

Selanjutnya ia menjelaskan, mushaf-mushaf elektronik atau media-media elektronik yang berisi ayat-ayat al-Qur`an al-Karim tidak dinilai sebagai Mushaf itu sendiri dan tidak mengambil hukum Mushaf, karena bila alat/media itu dimatikan atau program yang ada selesai, maka berakhir pula kemunculan ayat-ayat di dalamnya. Dengan begitu, ia tidak dapat mengambil hukum Mushaf yang dikenal di tengah umat, yaitu yang dapat diraba dan terbuat dari kertas. (istod/AS)