Doa pada saat keluar

الحَمْدُ للهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى الأَذَى وَعَافَانِي .

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan memberiku keselamatan.”

Doa ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah tetapi dhaif. Di al-Majmu’ Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya dhaif.” Di az-Zawaid, “Rawinya Ismail bin Muslim disepakati ke dhaifannya, hadits dengan lafazh tersebut tidak shahih.”

Sebagian fuqaha menyatakan makruh menghadap rembulan dan matahari pada saat buang hajat dengan alasan keduanya termasuk diyat sebagai tanda kebesaran Allah yang jelas di samping itu pada keduanya terdapat cahaya Allah.

Ibnu Utsaimin menjawab, “Alasan tersebut bertentangan dengan sabda Nabi saw, ‘Jangan menghadap kiblat dan jangan membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke timur dan ke barat’, dan sudah dimaklumi bahwa barangsiapa menghadap ke timur ketika matahari terbit atau ke barat ketika matahari terbenam maka dia menghadap kepadanya sementara Rasulullah saw tidak bersabda, ‘Kecuali jika matahari atau rembulan di hadapan kalian maka jangan lakukan.’ Jadi yang shahih menghadap keduanya tidak makruh karena tidak ada dalil bahkan sebaliknya dalil membolehkan.”

Istinja’ dan istijmar

Jika seseorang selesai buang hajat maka dia boleh memilih satu dari tiga cara berikut untuk mensucikan diri dari najis:

A. Bersuci dengan air.

Dalilnya adalah hadits Anas berkata, “Nabi saw buang hajat maka aku bersama anak seusiaku membawakan untuknya seember air dan tombak pendek lalu beliau beristinja’ dengan air.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Di samping itu air adalah alat terbaik untuk mensucikan dari najis sebagaimana kamu mensucikan najis dari kakimu dengan air, kamu juga mensucikan najis setelah buang hajat.

B. Bersuci dengan batu

Dalilnya adalah sabda Nabi saw dan perbuatannya. Salman berkata, “Rasulullah saw melarang kami beristijmar dengan kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud berkata, “Nabi saw pergi buang hajat beliau memintaku mencari tiga batu, aku datang dengan dua batu dan kotoran hewan beliau menerima dua batu dan membuang kotoran seraya bersabda, ‘Ia kotor.” (HR. al-Bukhari).

C. Bersuci dengan batu kemudian air

Dari segi makna cara ini lebih membersihkan, walaupun tidak ada hadits dari Rasulullah saw. Ada hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bertanya kepada penduduk Quba, “Sesungguhnya Allah memuji kalian.” Mereka menjawab, “Kami menggunakan batu dan air.” Hadits ini dhaif, yang shahih tanpa menyebutkan batu.
Ibnu Hajar di Bulughul Maram berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad dhaif. Asalnya di Abu Dawud dishaihkan oleh Ibnu Khuzaemah dari hadits Abu Hurairah tanpa menyebut batu.”
Di Taudhih al-Ahkam Ibnu Bassam berkata, “Hadits tersebut shahih tanpa ‘batu’ dhaif dengan ‘batu’.” Kemudian Ibnu Bassam menukil beberapa ucapan ulama di antaranya: an-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Yang ma’ruf dari jalan periwayatan hadits bahwa mereka beristinja dengan air”. Al-Albani berkata, “Yang shahih bahwa ayatnya turun tentang penggunaan air saja sebagaimana dalam hadits Abu Dawud dari Abu Hurairah secara marfu’.

Beberapa hal terkait dengan bersuci dengan batu

A. Bersuci dengan batu tidak sebatas batu akan tetapi yang sama dengannya juga disamakan dengannya seperti kayu, tissu, daun, kertas, tanah yang mengeras dan lain-lain.

B.Syarat benda yang bisa digunakan bersuci

1) Suci, ini berarti yang najis tidak bisa dipakai sebab yang najis tidak mensucikan, dalilnya adalah hadits Ibnu Mas’ud di atas.
2) Membersihkan, ini berarti yang tidak membersihkan tidak bisa dipakai karena maksud dari bersuci adalah membersihkan, dari sini maka Nabi saw melarang istijmar dengan kurang dari tiga batu sebagaimana dalam hadits Salman di atas.
3) Bukan tulang, tidak boleh dipakai karena Nabi saw melarang bersuci dengan tulang. Dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda, “Jangan beristinja’ dengan kotoran dan tulang.” (HR. Muslim). Nabi saw menjelaskan alasannya, “Untuk kalian adalah semua tulang yang disebutkan nama Allah atasnya, kalian mendapatkannya sebagai daging yang melimpah.” (HR. Muslim).
4) Bukan sesuatu yang berharga seperti makanan, buku yang bermanfaat dan sebagainya, karena istijmar dengan tulang dilarang dengan alasan ia adalah makanan jin, dan itu merusak makanannya, maka merusak makanan manusia dengan menggunakannya beristijmar lebih pantas dilarang.
5) Tidak kurang dari tiga batu atau tiga usapan. Dalilnya adalah hadits Salman di atas.

(Rujukan: Al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Kifayatul Akhyar Abu Bakar al-Khusaini, asy-Syarhul Mumti’ Ibnu Utsaimin, al-Uddah Abdur Rahman al-Maqdisi, Fatawa Lajnah Daimah, Taudhihul Ahkam Syarah Bulughul al-Maram Abdullah al-Bassam).