Rumah tangga merupakan perpaduan antara dua jenis berbeda, suami dengan istri. Dari perpaduan ini diharapkan terwujud kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak bisa terwujud tanpanya, namun demikian dalam perjalanan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan tersebut peluang terjadinya konflik dan perselisihan antara suami-istri cukup terbuka lebar, walaupun dalam tatanan rumah tangga suami adalah pemimpin dan istri wajib mematuhi suami dalam batas-batas yang ma’ruf, hal ini tidak mematikan sama sekali peluang perselisihan karena bagaimana pun tidak ada kesamaan seratus persen antara dua orang di dunia ini termasuk suami-istri, sebanyak apapun kesamaan antara keduanya tetap menyisakan sisi perbedaan yang menjadi pemicu perselisihan, bahkan terkadang persamaan dalam kondisi-kondisi tertentu justru malah menjadi sebab perselisihan. Oleh karena itu suami-istri tidak perlu terlalu takut terhadap perselisihan karena ia pasti terjadi dalam kehidupan rumah tangga, membersihkan rumah tangga dari perselisihan adalah omong kosong, justru perselisihan merupakan nuansa –kata orang, bumbu penyedap- rumah tangga- yang tanpanya suami-istri tidak akan mengenyam nikmatnya keserasian dan keharmonisan bahkan jika perselisihan disikapi dengan bijak dan baik maka ia bisa menjadi pupuk penyubur ketenteraman rumah tangga.

1. Menahan diri
Perselisihan terjadi ketika keinginan dan harapan suami dan istri tidak terakomodir dengan baik, yang satu ingin ke selatan pada saat yang sama yang lain ingin ke utara dan tidak ada dari keduanya yang bersedia mengalah. Perselisihan biasanya diikuti dengan kekesalan dan kemarahan karena keinginan dan harapan yang menurutnya baik tidak direspon oleh pasangan, sebaliknya pasangan juga demikian. Marah adalah emosi karena itu pertimbangan nalar pada saat marah cenderung terbenam karena kuatnya sinar pengaruh emosi. Oleh karena itu jika ia tidak terkontrol dan pemiliknya tidak menahan diri maka peluang lahirnya tindakan destruktif terbuka lebar, karena kemarahan cenderung kepada akibat yang umumnya disesali maka agama Islam memuji orang-orang yang mampu menahan amarahnya. Firman Allah,

وَالكَاظِمِيْنَ الغَيْظَ وَالعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ المُحْسِنِيْنَ .

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْسَ الشَدِيْدُ بِالصُّرُعَةِ وَلَكِنَّ الشَدِيْدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ .

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Orang kuat itu bukan dengan bantingannya, akan tetapi orang kuat itu adalah orang yang memiliki dirinya pada saat marah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Bukankah orang yang paling berhak menahan amarah di hadapannya adalah orang yang mendampingi kita?
Termasuk menahan diri pada saat perselisihan dengan pasangan adalah mengontrol ucapan, hindari mencaci, menghina, sumpah serapah, kata-kata kasar dan ucapan-ucapan yang tidak layak lainnya di mana ia tidak patut diarahkan kepada orang lain, lebih-lebih kepada pendamping kita, di samping itu kata kasar bisa melukai hati dan apabila hati telah luka maka penyelesaian perselisihan semakin rumit.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سَبَّابًا، وَلاَ فَحَّاشًا وَلاَ لَعَّانَا .

Dari Anas bin Malik berkata, “Nabi saw bukanlah pencaci, bukan pengucap kotor dan bukan pelaknat.” (HR. Al-Bukhari).

Termasuk menahan diri adalah menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan tercela: memukul, menendang, membuang, membanting dan tindakan-tindakan emosional lainnya karena tindakan-tindakan tersebut merupakan pelanggaran dan tindakan melampui batas yang tidak pada tempatnya yang justru membuka konflik baru.
Ketika sebagian istri Rasulullah saw menuntut sesuatu dari Rasulullah saw yang tidak beliau miliki, beliau tidak menghardik mereka dan tidak melakukan kekerasan kepada mereka, yang beliau lakukan hanyalah meminta mereka memilih antara kenikmatan dunia atau Allah, RasulNya dan alam akhirat. Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Rasulullah saw bersabda kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, aku berkata kepadamu suatu perkara, aku tidak ingin kamu memutuskan sebelum kamu berunding dengan kedua orang tuamu.” Aisyah bertanya,”Apa itu ya Rasulullah?” Rasulullah saw membaca firman Allah, “Hai nabi, latakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 28-29). Aisyah menjawab, “Aku memilih Allah, RasulNya dan Hari Akhirat, aku tidak perlu berunding dengan kedua orang tuaku.” Maka Nabi saw tersenyum. Ketika ucapan tersebut dibacakan kepada istri-istri Nabi saw yang lain mereka semua menjawab sama dengan jawab Aisyah. Selesai persoalan tanpa kemarahan dan kekerasan.

2. Semangat islah (semangat untuk berdamai)
Seruncing apapun pertikaian dan perselsihan jika didasari dengan keinginan kuat untuk berdamai niscaya jalan perdamaian dan perbaikan tetap tebuka lebar, niscaya akan hadir solusi-solusi bijak sehingga pertikaian yang runcing tersebut bisa ditumpulkan selanjutnya disingkirkan dan suami-istri kembali hidup rukun.
Seorang penyair berkata,

قَدْ يَجْمَعُ اللهُ بَيْنَ الشَّتِيْتَيْنِ
بَعْدَ مَا يَظُنَّانِ كُلَّ الظَّنِّ أّلاَّ تَلاَقِيَا

Mungkin saja Allah mengumpulkan dua hal yang terserak
Setelah keduanya benar-benar mengira tidak akan bertemu

Dan sebelum penyair ini Allah telah berfirman,

إِنْ يُرِيْدَآ إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا .

“Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.” (An-Nisa`: 35).

Taufik Allah kepada keduanya bersyarat dengan keinginan untuk mendamaikan dan taufik Allah hanyalah kepada kebaikan.
(bersambung)