Perlu diketahui bahwa semua yang telah dikisahkan oleh Allah kepada kita dari biografi Nabi Ibrahim AS, maka kita diperintahkan supaya memperhatikannya dengan perintah yang bersifat khusus:
Allah Ta’ala berfirman, “(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (Al-Hajj: 78). Yakni hendaklah kamu mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” (An-Nahl: 123). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4).

Apa yang disampaikan Nabi Ibrahim AS mengenai masalah tauhid, pokok-pokok agama, keyakinan, akhlak dan semua yang dikisahkan kepada kita tentang beritanya, maka mengikutinya termasuk pengamalan dari ajaran agama kita. Karena perintah itu masih bersifat umum yang mencakup seluruh perilakunya, maka Allah mengecualikan salah satu perilakunya sebagaimana ditegaskan di dalam firman-Nya, “Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu.” (Al-Mumtahanah: 4). Janganlah kamu mengikutinya dalam memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik. Adapun permohonan ampunan Nabi Ibrahim AS bagi bapaknya merupakan suatu janji yang telah dijanjikan kepadanya. Ketika Allah Ta’ala menjelaskan kepadanya bahwa bapaknya termasuk musuh Allah, maka ia pun berlepas diri darinya.

Faidah lainnya, bahwa Allah SWT telah menjadikan Nabi Ibrahim AS sebagai kekasih-Nya, yaitu orang yang memiliki derajat yang tinggi dalam hal kecintaan (kepada Allah), dimana tidak ada seorang pun yang mampu mencapai derajat tersebut, kecuali dua orang kekasih-Nya; yaitu Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW.

Faidah lainnya, bahwa berbagai macam kemuliaan telah dikaruniakan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS, dimana Allah telah menjadikan keturunannya sebagai nabi dan memberinya kitab. Selain itu telah keluar dari tulang sulbinya dua golongan umat, yang keduanya merupakan bangsa-bangsa Arab yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan Bani Israil. Allah telah memilihnya untuk membangun rumah-Nya (Baitullah) yang merupakan rumah yang mulia dan rumah yang pertama dibangun untuk dijadikan sebagai tempat beribadah, memberinya anak-anak setelah tua atau lanjut usia, yang banyak diceritakan di barat dan timur, hati manusia dipenuhi oleh perasaan cinta kepadanya dan lidah mereka banyak memberikan sanjungan dan pujian kepadanya.

Faidah lainnya, bahwa Allah telah meninggikan derajat Nabi Ibrahim AS dengan ilmu, keyakinan dan kekuatan hujjah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan dibumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (Al-An’am: 75). Kemudian dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 83).

Kerinduannya kepada pencapaian tujuan akhir dan puncak ilmu diperlihatkannya dengan pertanyaan yang diajukannya kepada Rabbnya, sebagaimana disinyalir oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu belum percaya.” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” Allah berfirman, “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakanlah tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 260).

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang berniat melakukan ketaatan serta mengerahkan kemampuannya dalam mengusahakan sebab-sebab yang dapat mewujudkan niatnya dan ia menghadapi rintangan yang menghalangi kesempurnaan ketaatannya. Meski ketaatannya tidak sempurna, tetapi Allah tetap memberinya pahala yang sempurna, sebagaimana Allah firmankan di dalam ayat yang berkenaan dengan kasus orang yang berhijrah yang wafat sebelum sampai ke tempat yang dituju.

Juga sebagaimana Allah firmankan dalam ayat yang berkenaan dengan kisah penyembelihan Nabi Isma’il AS, bahwa Allah telah menyempurnakan balasan pahala bagi Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS ketika keduanya berserah diri kepada Allah dan mentaatiNya. Kemudian Allah Ta’ala menghilangkan kesulitan itu dari keduanya serta membalas keduanya dengan balasan yang sempurna; baik balasan yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.

Faidah lainnya, bahwa apa yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang berkenaan dengan etika berdebat, cara-caranya, langkah-langkah yang bermanfaat (tepat), tata cara mematahkan argumentasi lawan berdebat dengan caca-cara yang jelas yang diketahui orang-orang yang berakal; menggiring lawan berdebat kepada penyadaran akan kebathilan madzhabnya dan mengemukakan argumen kepada orang-orang yang ingkar dan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang patut mendapat petunjuk.

Faidah lainnya, bahwa di antara ni’mat Allah kepada seorang hamba ialah pemberian anak-anak yang shalih, dan ia wajib memuji Allah dan berdo’a kepada-Nya untuk kebaikan keturunannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS yang tertera dalam perkataannya: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a.” (Ibrahim: 39).

Allah SWT memuji orang yang berdo’a kepada-Nya secara umum untuk kebaikkan keturunannya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku da kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15).

Hal itu disebabkan jika seorang hamba meninggal dunia, maka amalnya terputus; kecuali tiga hal: “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akannya.” *

Faidah lainnya, bahwa sejumlah bukit dan tempat dalam pelaksanaan ibadah haji serta sejumlah ketentuan hukum yang terdapat di dalamnya mengandung keterangan yang berkaitan dengan tempat-tempat yang dipergunakan oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya dalam menunaikan ibadah kepada Rabb mereka, keimanan kepada Allah dan para rasul-Nya dan anjuran supaya mecontoh semua perilaku para rasul; baik dalam urusan agama maupun dalam urusan dunia, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (Al-Baqarah: 125).

Faidah lainnya adalah perintah membersihkan masjid Al-Haram (Baitullah) dari semua najis dan seluruh kemaksiatan baik ucapan maupun perbuatan karena mengagungkan Allah dan membantu atau menambah semangat orang-orang yang menunaikan ibadah di dalamnya serta membersihkan masjid-masjid lainnya; berdasarkan firman Allah SWT, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.” (Al-Baqarah: 125). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (An-Nur: 36).

Faidah lainnya, bahwa wasiat yang paling utama secara umum ialah wasiat yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya, yaitu wasiat untuk selalu komitmen menjalankan perintah agama dan bersatu di atasnya, ini adalah wasiat Allah untuk orang-orang terdahulu dan akan datang karena dengan wasiat itulah seseorang bisa mencapai kebahagiaan yang abadi dan selamat dari kejelekan dunia dan akhirat.

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang beramal; selain diwajibkan kepadanya meyakini amalnya dan berusaha sungguh-sungguh dalam menunaikannya sehingga mencapai kesempurnaan; maka diwajibkan pula kepadanya untuk menyertakan perasaan takut serta penuh harap dalam menunaikannya, memohon kepada Rabbnya untuk menerimanya, menyempurnakan kekurangannya dan memohon ampunan dari cacat atau kekurangan yang terdapat di dalamnya, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS pada waktu membangun Baitullah, dimana keduanya melakukannya dalam gambaran yang sempurna.

Faidah lainnya, bahwa menyatukan di antara permohonan kepada Allah yang berkaitan dengan kebaikkan dalam urusan dunia dan permohonan yang berkaitan dengan kebaikkan dalam urusan agama merupakan jalan para nabi. Juga dalam berusaha mencapai kesuksesan dalam keduanya, dimana agama merupakan sumber pokok serta tujuan utama yang mesti dicapai mahluk, karena ia diciptakan untuk hal itu, sedang dunia merupakan perantara dan pembantu. Karena itulah, maka Nabi Ibrahim AS mendo’akan penduduk Baitul Haram supaya dikarunai kebaikkan dalam dua hal, dimana ia mengaitkan do’a tersebut dengan kebaikan dalam urusan dunia, karena kebaikkan dalam urusan dunia merupakan perantara timbulnya rasa syukur sebagaimana terungkap dalam do’anya: “… dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37).

Faidah lainnya, bahwa kisah Nabi Ibrahim AS mengandung ketentuan syari’at yang terkait dengan etika memperlakukan tamu,** dan Allah memberitahukan kepadanya mengenai keadaan para tamunya; bahwa mereka adalah mahluk-mahluk yang mulia (para malaikat), yakni mereka itu adalah mahluk-mahluk yang dimuliakan di sisi Allah. Nabi Ibrahim AS memuliakan mereka sebagai tamunya dengan perkataan dan perbuatan. Memuliakan tamu adalah bagian dari keimanan. Nabi Ibrahim AS melayani dan menyambut mereka sebagai tamunya langsung oleh dirinya sebelum melakukan segala sesuatu. Ia menghidangkan makanan yang terbaik bagi mereka seperti daging sapi yang dibakar, tidak mengusir mereka supaya pergi ke tempat yang lain dan menghidangkan makanan kepada mereka dengan tutur kata yang lemah-lembut, seraya berkata, “Silahkan kamu makan.” (Adz-Dzariyat: 27).***

Faidah lainnya adalah disyari’atkannya ucapan salam, dimana orang yang harus memulainya adalah orang yang masuk (datang) dan orang yang berkendaraan dan wajib menjawabnya. Kemudian disyari’atkan mengetahui nama orang yang menjalin hubungan dengan kamu baik sahabat, karyawan atau tamu. Hal tersebut didasarkan kepada firman Alah SWT, “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (Al-Hijr: 62). Yakni aku tidak mengenalmu, sehingga aku merasa senang jika kamu berkenan memperkenalkan dirimu kepadaku. Perkataan itu lebih halus daripada perkataan: “Aku tidak mengenalmu” atau perkataan lainnya yang setara dengan perkataan tersebut.

Faidah lainnya adalah anjuran kepada istri seseorang atau orang yang ditugasi mengurus urusan rumahnya hendaklah memiliki keteguhan hati dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sebagian mereka (para tamu) yang berkaitan dengan beberapa kebutuhan dan penunaian tugas-tugas penting rumah, karena Nabi Ibrahim AS pun ketika kedatangan tamunya segera menemui keluarganya, maka ia menemukan makanan yang dapat dihidangkan kepada tamunya dan ia tidak membiarkannya melainkan segera menghidangkannya.****

Faidah lainnya, bahwa kelahiran seorang anak dan kabar gembira yang diterima Sarah karenanya ketika telah lanjut usia merupakan mu’jizat bagi Nabi Ibrahim AS dan merupakan karamah bagi Sarah, sehingga dalam peristiwa itu terdapat mu’zijat seorang nabi dan karamah seorang wali.

Contoh lain yang setara dengan kasus tersebut adalah kabar gembira yang disampaikan oleh para malaikat kepada Maryam dengan kelahiran Nabi Isa AS dan kabar gembira yang disampaikan oleh para malaikat kepada Nabi Zakariya AS dan istrinya dengan kelahiran Nabi Yahya AS. Berkenaan dengan keberadaan Nabi Zakariya AS, maka Allah telah menjadikan tanda adanya kabar gembira dengan kelahiran Nabi Yahya AS, bahwa ia tidak dapat berbicara selama tiga hari, kecuali dengan kode dan isyarat, padahal ia dalam keadaan sehat dan tidak sedang sakit. Semuanya itu serta kejadian yang serupa termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, dan kejadian yang paling mengagumkan ialah penciptaan Nabi Adam AS dari (sari pati) tanah. Maha suci Allah Dzat yang Maha Mampu atas segala sesuatu.

Faidah lainnya adalah pujian dan sanjungan Allah yang ditujukan terhadap Nabi Ibrahim AS yang menghadap Rabbnya dengan hati yang bersih.

Allah Ta’ala berfirman, “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara: 88-89). Keseluruhan pengertian yang terkandung dalam ayat di atas bahwa Nabi Ibrahim AS bersih dari semua keburukan dan sebab-sebabnya dan diliputi dengan kebaikkan, ketaatan dan kemuliaan; bersih dari segala yang samar yang tercela dalam ilmu serta keyakinan; bersih dari syahwat yang menghalangi antara seseorang dengan kesempurnaannya; bersih dari sifat sombong, riya, perselisihan, kemunafikan dan akhlak tercela dan bersih dari sifat benci, iri hati dan diliputi tauhid, iman, tawadhu’ kepada kebenaran dan mahluk, memberi nasehat kepada kaum muslimin dan senang beribadah kepada Allah dan mendatangkan manfaat bagi hamba-hamba Allah.

Faidah lainnya adalah apa yang dituturkan dalam kisah Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS dan Nabi Ilyas AS, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam.” (Ash-Shaffat: 79). Kemudian dalam ayat lain dikatakan, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (Ash-Shaffat: 109). Kemudian disusul oleh firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Ash-Shaffat: 80).

Allah SWT telah menjanjikan kepada setiap orang yang berbuat baik dalam beribadah kepadanya serta berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya bahwa Allah akan membalasnya dengan pujian yang baik serta do’a dari seluruh alam sesuai dengan derajat kebaikkannya, dan itu merupakan balasan pahala yang kontan (di dunia) dan balasan pahala yang ditangguhkan (di akhirat) dan hal itu termasuk kabar gembira dalam kehidupan dunia dan termasuk tanda-tanda kebahagiaan.

NB:
* Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, seraya bersabda: “Jika manusia meninggal, niscaya amalnya terputus; kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim (1631), (14)). Dalam kitabnya Al-Hafizh Ibnu Rajab terdapat satu juz yang menjelaskan hadits tersebut.

** Pembicaraan ini merujuk kepada ayat tersebut di atas yang di dalamnya mengandung ketentuan mengenai etika dalam memperlakukan tamu tanpa ada penambahan di bawahnya seperti yang tertera dalam Ar-Risâlah At-Tabwikiyyah karya Ibnu Al-Qayyim (122:131).

*** Firman Allah Ta’ala: “Silahkan kamu makan.” (Adz-Dzariyat: 27). Perkataan tersebut adalah bentuk permohonan izin yang disampaikan dengan tutur kata yang lemah-lembut dan sopan. Berbeda sekali dengan seseorang yang berkata: “Letakkanlah tanganmu pada makanan, makanlah, majulah dan perkataan yang lainnya. (Ar-Risâlah At-Tabwikiyyah karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 130).

**** Firman Allah SWT: “Maka ia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya.” (Adz-Dzariyat: 26), maka di dalamnya terdapat ajaran; bahwa memuliakan tamu itu cukup dengan makanan yang tersedia dalam keluarga, tidak perlu menghutang kepada para tetangganya dan tidak perlu pergi kepada selain keluarganya karena hidangan tamu itu adalah makanan yang terdapat pada keluarga.