Seputar Shalat Raghâ`ib

Pertama, sifatnya (spesifikasinya).

Mengenai sifat/spesifikasinya terdapat hadits yang palsu (Maudlû’) dari Anas, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam., bahwa beliau bersabda,
“Tidaklah seseorang yang berpuasa pada hari Kamis (Kamis pertama dalam bulan Rajab), kemudian dia melakukan shalat antara ‘Isya dan tengah malam, yakni pada malam Jum’at sebanyak 12 raka’at, dengan membaca pada setiap raka’atnya surat al-Fatihah satu kali dan surat ‘Innâ Anzalnâhu..(al-Qadr)’ sebanyak tiga kali, dan ‘Qul huwallâhu Ahad’ sebanyak 12 kali, antara setiap dua rak’at dipisahkan oleh satu salam, setelah menyelesaikan shalatnya, dia membaca shalawat kepadaku sebanyak 70 kali, mengucapkan ‘Subbûhun Quddûsun Rabbul Malâ`ikati War Rûh’ di dalam sujudnya sebanyak 70 kali, kemudian mengangkat kepalanya (I’tidal) seraya mengucapkan ‘Rabbighfir warham wa tajâwaz ‘amma ta’lam, innaka antal ‘azîzul a’zham’ sebanyak 70 kali, lalu mengucapkan bacaan yang sama seperti pada sujud pertama, kemudian memintakan hajatnya kepada Allah ; maka sesungguhnya ia pasti akan dikabulkan.” …Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki dan wanita pun yang melakukan shalat ini kecuali akan diampuni Allah seluruh dosanya sekalipun sebanyak buih di lautan, sebanyak bilangan pasir, seberat gunung-gemunung dan sebanyak daun-daun pepohonan. Sebanyak 700 orang dari anggota keluarganya akan diberi syafa’at pada hari Kiamat sekalipun mereka itu orang-orang yang dipastikan masuk neraka.” (Lihat, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn karya al-Ghazaly, Jld.I, h.202; Tabyîn, Ibid.,h.22-24)

Ke-dua, Ucapan Para Ulama Mengenainya.

  • Imam an-Nawawy

    “Ia (shalat Raghâ`ib) adalah perbuatan bid’ah yang buruk lagi munkar (yang harus diingkari dengan sangat), mengandung beberapa kemungkaran. Karena itu, wajib ‘aib untuk ditinggakan dan tidak melakukannya serta mengingkari pelakunya.”(Lihat, Fâtâwa al-Imâm an-Nawawy, h.57)

  • Ibnu Taimiyyah

    mengatakan, “Adapun shalat Raghâ`ib tersebut tidak ada asalnya sama sekali bahkan ia perbuatna bid’ah, tidak dianjurkan baik melakukannya secara berjama’ah ataupun sendiri-sendiri. Di dalam Shahih Muslim terdapat hadits yang shahih bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, melarang untuk mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan berpuasa. Sedangkan atsar (hadits) yang menyebutkan hal itu adalah bohong dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak seorang ulama Salaf dan para imam pun yang menyebutkan ada asalnya .”(Lihat,Fatâwa Ibn Taimiyyah, Jld.XXIII, h.132, 134, 135)

Dalam hal ini, ath-Thurthûsyiy telah menjelaskan perihal bagaimana mula terjadinya,“Abu Muhammad al-Maqdisy memberitahukan kepadaku seraya berkata, ‘Kami di Baitul Maqdis (Palestina), tidak mengenal sama sekali apa itu shalat Raghâ`ib yang dikerjakan pada bulan Rajab dan Sya’ban. Awal mula terjadinya di tempat kami, yaitu pada tahun 448 H. Ketika itu, seorang laki-laki yang berasal dari Nables (Tripoli Lebanon) datang ke Baitul Maqdis, ia dikenal dengan nama Ibnu Abi al-Hamrâ` yang suaranya amat bagus. Pada malam Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan, tgl 15) dia melakukan shalat malam di Masjid Aqsha….[hingga ke perkataannya: ) “Adapun mengenai shalat Rajab, tidak pernah terjadi pada kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 H. Kami tidak pernah melihat ataupun mendengar tentangnya sebelum itu.”(Lihat, al-Hawâdits Wa al-Bida’, h.103)

Dan di antara para ulama yang dengan tegas menyatakan kepalsuan hadits mengenai shalat Raghâ`ib tersebut adalah: Ibn al-Jawziy di dalam kitabnya, al-Maudlû’ât, Al-Hâfizh Abu al-Khaththâb dan Abu Syâmmah (lihat, al-Bâ’its ‘Ala Inkâr al-Bida’ Wa al-Hawâdits, h.61-67)

Sedangkan para ulama yang menyatakan secara tegas kebid’ahan perbuatan tersebut adalah: Ibn al-Hâjj (lihat, al-Madkhal, Jld.I, h.211), Ibn Rajab, Abu Ismâ’îl al-Anshâry, Abu Bakar as-Sam’âny, dan Abu al-Fadll bin Nâshir (lihat, Lathâ`if al-Ma’ârif, tahqiq al-Ustadz Yâsîn as-Sawwâs, h.228) Dan lain-lain (lihat, Muqaddimah Musâjalah al-‘Izz bin ‘Abd as-Salam Wa Ibn ash-Shalâh, h.87)