Di antara buah yang dihasilkan oleh iman kepada takdir adalah sebagaimana berikut :

  1. Kesabaran

Iman kepada qadar menjadikan seorang mukmin senantiasa memiliki ibadah (dalam bentuk) kesabaran terhadap takdir yang menyakitkan. Kesabaran merupakan sifat yang indah dan terpuji serta mempunyai faedah-faedah dan berbagai manfaat yang banyak lagi mulia, juga berbagai akibat dan dampak yang baik nan terpuji. Manusia harus memiliki kesabaran dalam menghadapi perkara yang tidak disukainya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Orang yang mulia akan bersabar secara suka rela ; karena dia mengetahui bahwa kesabaran pasti mendatangkan kebaikan. Dia akan memuji kesabaran dan mencela kegelisahan. Seandainya pun dia tidak bersabar, maka kesedihan tidak akan kembali kepadanya. Bahkan ia juga tidak akan bisa melepaskan diri darinya dengan kebencian. Barangsiapa tidak memiliki sikap sabar layaknya orang yang mulia, maka dia tidak ada bedanya dengan binatang ternak (Tasliyyah Ahlil Masha-ib, al-Munjabi, hal. 135)

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan :

وَجَدْنَا خَيْرَ عَيْشِنَا بِالصَّبْرِ

Kami mendapati, bahwa sebaik-baik kehidupan (yang kami jalani) adalah dengan kesabaran (Iddatush Shaabiriin, hal. 124)

Seorang penyair berkata,

وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ

                      لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ

Kesabaran, seperti namanya, adalah pahit rasanya

tetapi akibatnya lebih manis dari madu

Karena itulah, orang yang beriman kepada qadar senantiasa memiliki kesabaran yang membaja, tabah terhadap beban berat, dan kuat menanggung penderitaan.

Hal ini berbeda dengan orang yang memiliki kelemahan dalam hal keimanan kepada qadar, yang justru tidak mampu tabah dan bersabar dalam menghadapi masalah yang paling kecil sekalipun. Ini karena imannya lemah, jiwanya kerdil, dan kecemasannya terlalu besar terhadap sesuatu yang kecil. Ketika tertimpa sesuatu yang remeh, dadanya menjadi sempit, hatinya sedih, wajahnya murung, penglihatannya tertunduk, dan kesedihan menghimpit dadanya. Lalu, semua itu membuatnya tidak bisa tidur dan keningnya perpeluh. Sekiranya musibah itu -bahkan yang lebih besar lagi- menimpa orang yang lebih kuat imannya dan ketabahannya, maka tentu tidak akan menghiraukannya. Bahkan, juga tidak mengusik jiwanya. Matanya masih bisa terpejam, hatinya ridha dan dirinya pun tetap tenang.

  1. Tawadhu (Rendah Hati)

Iman kepada qadar bisa menggiring seorang yang beriman kepada sikap ke-tawadhu’-an, seberapapun besar harta, kedudukan, ilmu, popularitas, atau lain-lain yang dimilikinya. Hal ini karena dia mengetahui bahwa segala yang diberikan kepadanya hanyalah dengan takdir Allah ‘Azza wa Jalla. Sekiranya Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki, semua itu dapat dicabut dari dirinya.

Karena itulah, dia bertawadhu’ kepada Allah ‘Azza wa Jalla  dan kepada sesamanya, serta mengenyahkan kesombongan dan kecongkakan dari dirinya.

Jika manusia bertawadhu’ kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka kemuliaannya akan menjadi sempurna, nilainya menjadi tinggi, keutamaannya mencapai puncaknya, dan kewibawaannya menjadi tinggi di hati manusia. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla juga menambahkan kemuliaan serta derajat yang besar kepadanya. Sebab, barangsiapa yang bertawadhu’ kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah ‘Azza wa Jalla meninggikannya. Dan jika Allah ‘Azza wa Jalla telah meninggikan derajat seorang hamba, maka siapakah yang dapat merendahkannya ?

Sebaik-baik akhlak pemuda dan yang paling sempurna

ialah ketawadhu’annya kepada manusia, padahal derajatnya tinggi

(Ghadzaa-ul Albaab, as-Safarini (II/23)

  1. Kemurahan dan Kedermawanan

Sebab, orang yang beriman kepada qadar mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah-lah Yang memberi rizki dan menentukan penghidupan di antara para makhluk, sehingga masing-masing medapatkan bagiannya. Setiap jiwa akan mati manakala rizki dan ajalnya telah sempurna. Tidaklah seseorang menjadi fakir melainkan dengan takdir Allah ‘Azza wa Jalla.

Iman kepada takdir akan membuat orang mukmin berlapang dada berinfak dalam berbagai aspek kebaikan. Hal ini karena ia percaya kepada Allah sekaligus memenuhi perintah-Nya untuk berinfak. Juga karena ia merasa bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang mulia harus ditempuh dengan mengorbankan harta di jalan kebaikan tersebut tanpa berpikir panjang dan bahwa harta itu adalah harta Allah. Akhirnya, dia memilih untuk membelanjakan harta tersebut sesui dengan perintah Allah (al-Hidayah al-islamiyyah, Muhammad al-Khidr Husein, hal. 84)

Selain itu, iman kepada qadar juga akan memadamkan kerakusan dalam hati orang yang beriman. Sehingga dia tidak tamak terhadap dunia; ia mengejarnya hanya sekedar kebutuhan. Ia tidak membuang rasa malu untuk mencarinya, bahkan dia menahan diri dari apa yang ada di tangan manusia. Karena di antara jenis kedermawanan ialah menahan diri dari apa yang ada di tangan manusia. Hal ini akan membuahkan kemuliaan dan keberanian jiwa.

Hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa yang menyebabkan manusia tidak memiliki keberanian dan kemuliaan jiwa adalah karena kerakusannya yang berlebihan terhadap kenikmatan dunia.

  1. Keberanian dan Mengenyahkan Kelemahan Serta Sifat Pengecut

Iman kepada qadar akan memenuhi hati orang mukmin dengan keberanian serta mengosongkannya dari segala kelemahan dan sifat pengecut. Hal ini karena orang yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa dia tidak akan mati sebelum ajalnya habis dan ia hanya akan ditimpa apa yang telah dituliskan untuknya. Seandainya semua umat berkumpul untuk memberi kemadharatan kepadanya, maka hal itu hanya akan terjadi jika Allah telah menentukannya.

Berikut di antara syair yang dinisbatkan kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :

Pada hariku yang manakah

aku dapat lari dari kematian

Apakah pada hari yang belum ditakdirkan

atau pada hari yang telah ditakdirkan

Apabila pada hari yang tidak ditakdirkan

maka aku tidak akan takut kepadanya

Tapi apabila kematian telah ditakdirkan

maka hati-hati dan menghindar darinya tidaklah menyelamatkanku

(Diwan imam Ali, hal.79-80)

Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu juga memiliki sya’ir yang semisal :

Orang penakut itu merasa dirinya akan terbunuh sebelum kematian datang menghabisinya

Terkadang beberapa bahaya menimpa orang penakut

sedang orang yang berani selamat darinya

(Bahjah al-Majalis, Ibnu Abdil Barr (II/480)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hal yang dapat memutuskan rasa takut adalah berserah diri kepada Allah. Maka, rasa takut kepada makhluk hanya akan pergi dari seseorang yang menyerahkan diri dan tunduk kepada Allah serta mengetahui bahwa apa yang sudah menjadi bagiannya maka tidak akan luput darinya dan apa yang luput darinya maka tidak akan pernah menjadi bagiannya. Juga mengetahui bahwa ia hanya akan ditimpa apa yang telah dituliskan untuknya. Sebenarnya, keselamatan jiwa yang selama ini ia khawatirkan telah berserah diri kepada Pelindungnya. Ia mengetahui bahwa yang akan menimpa jiwa tersebut hanyalah apa yang telah dituliskan, dan bahwa apa yang telah dituliskan itu pasti akan menimpanya. Jadi pada hakikatnya, tidak pantas ada rasa takut kepada selain Allah. Selain itu, di dalam ketundukan kepada Allah juga terdapat manfaat yang tersembunyi, yaitu apabila jiwa dipasrahkan kepada Allah, maka pada hakikatnya ia telah dititipkan kepada-Nya dan dilindungi dengan perlindungan-Nya. Sehingga tangan musuh dan kezhaliman tidak bisa menyentuhnya. (Madarijus Salikin, II/32)

  1. Cita-cita yang Tinggi

Maksud dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan menjadi akhir perkara-perkara yang mulia. Sebaliknya, cita-cita yang rendah adalah lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha dengan kehinaan, dan tidak menggapai perkara-perkara yang mulia.

Iman kepada qadar menjadikan seorang mukmin memiliki kemauan yang tinggi sekaligus menjauhkannya dari sikap kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah terhadap takdir.

Kerena itu, orang yang beriman kepada qadar  -dengan keimanan yang benar– selalu memiliki cita-cita yang tinggi dan jiwa yang besar serta senantiasa mencari kesempurnaan dan menjauhi perkara-perkara remeh nan hina. Ia tak rela dirinya ditimpa kehinaan. Ia tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan. Ia tidak akan pasrah terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya.

Bahkan, keimanan yang dimilikinya mengharuskan untuk berusaha bangkit ; mengubah keadaan yang pahit serta menyakitkan menuju ke arah yang lebih baik dengan cara-caya yang disyariatkan dan menuju ke arah pembebasan dari berbagai aib dan kekurangan. Sebab, berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah saja, bukan pada saat terkungkung berbagai macam aib (al-Himmatul ‘Aaliyah Mu’awwiqaatuha wa Muqawwimaatuhu, Muhammd bin Ibrahim al-Hamd)

  1. Bertekad dan Bersungguh-sungguh dalam Berbagai Hal

Orang yang beriman kepada qadar akan bersungguh-sungguh dalam berbagai urusannya. Ia akan memanfaatkan semua peluang yang datang kepadanya. Bahkan, ia sangat segala kebaikan, baik akhirat maupun dunia. Sebab, iman kepada qadar mendorong kepada hal tersebut, bukan kepada kemalasan dan sedikit beramal.

Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam memotivasi para tokoh untuk melakukan pekerjaan besar, hal yang sebelumnya mereka duga mustahil terwujud, karena keterbatasn kemampuan dan berbagai faktor lainnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ

“… Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah dan janganlah bersikap lemah! Jika sesuatu menimpamu, janganlah mengatakan, ‘Seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan demikian dan demikian.” Tetapi katakanlah,’ Ini takdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi…(HR. Muslim, no. 2664)

  1. Selamat Dari Kedengkian dan Penentangan

Iman kepada qadar dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit yang menjangkiti dan menanamkan kedengkian di tengah-tengah masyarakat semisal hasad. Karenanya, orang yang beriman kepada qadar tidak akan memiliki sifat dengki atas karunia yang Allah berikan kepada orang lain. Sebab ia mengimani bahwa Allah-lah yang memberi dan menentukan rizki manusia; Allah memberikan dan menghalangi siapa yang dikehendaki-Nya sebagai ujian. Maka, apabila dia dengki kepada selainnya, berarti dia menentang ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla.

Seseorang yang beriman kepada qadar akan selamat dari kedengkian dan penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syariat) serta ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah). Ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata. (Wasathiyyah Ahli Sunnah fil Qadar, Dr. ‘Awwad al-Mu’tiq, dalam Majallah al-Buhuuts, no.34 hal.250)

Wallahu A’lam (Redaksi)

Sumber :

Al-Iimaanu Bil Qadha-I Wal Qadari, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd (ei, hal.111-118) dengan gubahan