Manusia adalah manusia, seluas apa pun ilmunya, sedalam apa pun pengetahuannya, setinggi apa pun kemuliaannya, sekuat apa pun ibadahnya dan sebesar apa pun ketakwaannya, dia tetap manusia yang tidak akan pernah keluar dari lingkaran kemanusiaan. Sama dengan manusia lainnya, terjadi padanya apa yang terjadi pada manusia; marah, rela, suka, benci, sedih, bahagia, tertawa, menangis, benar, salah, takut, berharap, menerima, menolak dan seterusnya. Hal seperti ini tidak seorang pun terlepas darinya termasuk seorang ulama ahli ibadah.

Ini adalah salah satu kisah Bani Israil yang disampaikan oleh seorang yang masuk Islam di kalangan mereka. Kisah ini tentang seorang ulama Bani Israil yang istrinya meninggal dunia, maka dia memutuskan untuk menyendiri, menutup diri dari masyarakat karena kesedihannya yang sangat. Lalu ada seorang wanita yang nekad menemuinya. Wanita ini membuat perumpamaan yang menggambarkan keadaannya tanpa dia menyadari. Maka ulama ini bisa mengambil manfaat dari perumpamaan yang dibuat wanita itu. Dia membuang kesedihannya dan kembali bergaul dengan orang-orang.

Imam Malik dalam al-Muwattha’ meriwayatkan dari Yahya bin Said dan al-Qasim bin Muhammad bahwa dia berkata, “Istriku wafat, maka Muhammad bin Kaab al-Qurazhi mendatangiku bertakziyah. Muhammad berkata, “Di kalangan Bani Israil terdapat seorang fakih, alim, ahli ibadah dan ahli berijtihad. Dia beristri, dia mengagumi dan mencintai istrinya. Istrinya wafat, dia sangat bersedih karenanya dan sangat menyesalinya sampai dia menyendiri di rumah dan menutup diri, menghindari orang-orang. Tidak seorang pun yang menemuinya.

Ada seorang wanita yang mendengarnya, dia mendatanginya dan berkata, “Aku ada perlu dengannya. Aku ingin meminta fatwa, tidak bisa diwakilkan.” Orang-orang pergi dan wanita ini menunggu di pintu, wanita ini berkata, “Aku harus bertemu dengannya.”

Seseorang menyampaikan kepada laki-laki alim itu bahwa ada seorang wanita di pintu yang ingin meminta fatwamu. Wanita itu berkata, “Aku hanya ingin berbicara dengannya.” Orang-orang telah bubar sementara dia tetap di pintu. ‘Alim itu berkata, “Suruh dia masuk.” Wanita itu masuk dan berkata, “Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara.” Alim itu bertanya, “Apa itu?”

Wanita ini berkata, “Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakainya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikannya?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, demi Allah.” Wanita itu berkata, “Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu.” Laki-laki itu menjawab, “Hal itu lebih wajib atasmu untuk megembalikannya.” Wanita itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu, apakah kamu menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu.” Laki-laki ‘alim ini tersadar dari kekeliruannya dan ucapan wanita ini berguna baginya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam Muwattha’nya, Kitabul Janaiz Bab al-Ihtisab min al-Mushibah nomor 43. Syaikh Syuaib al-Arnauth berkata tentang hadits ini dalam Jami’ul Ushul (6/339), “Sanad kepada Muhammad bin Kaab al-Qurazhi shahih.”

Syarah

Muhammad bin Kaab al-Qurazhi mengunjungi al-Qasim bin Muhammad menghiburnya dalam rangka wafatnya istri. Maka Muhammad menceritakan kisah seorang laki-laki ahli ibadah dan agama dari Bani Israil yang ditinggal wafat oleh istrinya yang sangat dikagumi dan dicintainya. Maka laki-laki itu sangat bersedih. Saking sedihnya dia menyendiri, mengucilkan diri dari orang-orang dan tidak mau ditemui oleh siapa pun.

Datanglah seorang wanita yang hendak menemuinya meminta fatwanya. Wanita ini menunggu di pintunya. Dia menolak mengatakan masalahnya, dia ngotot harus berbicara langsung. Ketika dia bertemu, dia bertanya tentang suatu kaum yang meminjaminya perhiasan yang banyak dan baik. Dia memakainya dan meminjamkannya. Kemudian pemiliknya memintanya, apakah dia wajib mengembalikannya?

Laki-laki ini terkejut dengan sebuah pertanyaan yang jawabannya sangat mudah, dia menjawab harus dikembalikan.

Padahal wanita ini hanyalah membuat perumpamaaan perhiasan yang dipinjam dengan istrinya. Istri berada di sisinya sebagai pinjaman dan semua yang ada di dunia hanyalah titipan dan pinjaman. Harta, keluarga dan anak-anak. Allah pasti mengambil kembali titipanNya. Manakala wanita ini mengarahkan pandangan laki-laki itu kepada persamaan antara keadaannya dengan keadaan perhiasan pinjaman, maka dia tersadar dan mengoreksi kekeliruannya.

Faidah

1- Seorang ulama bisa lalai terhadap apa yang mereka ketahui dan mengerti sebagaimana alim fakih ini lalai terhadap kewajiban bersabar pada waktu turunnya musibah yang diketahui oleh semua orang.

2- Bahwa apa yang Allah ambil hanyalah apa yang Dia titipkan kepada kita. Dia adalah pemiliknya sejati, kapan Dia mengambil dan bagaimana Dia mengambil adalah terserah Dia.

3- Orang pandai lagi berakal agar menunjukkan kesalahan dan kelalaian orang lain seperti yang dilakukan oleh wanita ini terhadap alim itu. Ilmu dan pemahaman bukan monopoli kaum laki-laki saja. Tetapi dimiliki bersama. Wanita ini telah menyadarkan laki-laki alim.

4- Tidak ada halangan bagi wanita berusaha mengajarkan dan menyebarkan kebaikan kepada manusia jika dia bisa menjaga diri dari mudharat dan tidak terjerumus ke dalam hal yang diharamkan.

5- Pentingnya membuat perumpamaan. Perumpamaan menghilangkan syubhat, melenyapkan kesulitan, meluruskan orang yang melenceng dan memberi nasehat kepada orang yang sesat dengan cara yang halus namun mengena.

6- Menghibur orang-orang dengan berita orang-orang terdahulu yang sama dengan keadaan orang yang diberi nasehat. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)