Masalah-masalah seputar haid

1. Bertambah dan berkurangnya masa haid

Secara umum wanita memiliki masa haid yang rutin, namun demikian terkadang kebiasaan tersebut melenceng, haid yang biasanya berlangsung selama –misalnya- enam hari ternyata dalam bulan ini kurang dari itu, misalnya menjadi lima hari atau bertambah dari itu misalnya menjadi tujuh hari atau delapan hari.

2. Maju mundurnya waktu hadirnya haid

Terkadang haid hadir mendahului jadwal kebiasaannya, terkadang pula ia hadir melebihi waktu yang diperkirakan. Di bulan lalu ia hadir di akhir bulan tetapi di bulan ini ia hadir di awal atau di pertengahan bulan.

Pendapat yang benar dalam dua masalah di atas adalah bahwa bertambah dan berkurangnya masa haid atau maju-mundurnya waktu haid tidak memberi pengaruh hukum apapun, artinya walaupun masa haid bertambah maka ia tetap dianggap haid atau berkurang dan sudah nampak tanda-tanda suci maka selesailah masa haid. Begitu pula dengan maju-mundurnya waktu hadirnya haid bila ia datang maka haid bila belum maka belum haid.

Argumentasinya:
Karena Allah mengaitkan hukum haid dengan darah, ada tidaknya. Ada darah berarti haid tidak ada berarti tidak ada haid.

3. Darah keruh atau kuning

Jika ia terjadi pada masa haid sebelum tanda suci terlihat maka ia haid, sebaliknya jika terjadi setelah tanda suci terlihat maka ia bukan apa-apa. Ummu Athiyah berkata, “Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci.” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa para wanita mengirimkan kepadanya sepotong kain berisi kapas dengan noda darah berwarna kuning. Aisyah berkata, “Jangan tergesa-gesa sebelum kamu melihat cairan putih.”

4. Terjadinya pengeringan darah

Dalam masa haid terkadang darah berhenti sama sekali, yang bersangkutan hanya merasakan lembab tanpa terlihat adanya darah atau kering sama sekali. Dalam kondisi ini, karena ia terjadi dalam masa haid dan yang bersangkutan belum melihat tanda suci maka dia dihukumi dalam keadaan haid.

5. Bolehkah menunda mandi haid?

Selesai haid dengan hadirnya tanda suci mewajibkan yang bersangkutan wajib mandi. Mandi ini hendaknya dilakukan dengan segera agar dia bisa melaksanakan kewajiban yang terhalang oleh haid.
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, dia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, maka ia boleh bertayamum sebagia ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.

Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi emnunda mandi ke waktu lain, dalihnya:, “Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini.” Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.

6. Bolehkah wanita haid minum pil pencegah haid?
Boleh dengan syarat:
1) Dipastikan aman dan tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. jika membahayakan maka tidak boleh, karena hal itu berarti menjerumuskan diri ke dalam bahaya dan itu dilarang.
2) Izin suami yang berkaitan hukum dengannya, misalnya istri ditalak suami, dia beriddah dengan tiga kali haid selama iddah nafkah istri ditanggung suami, lalu istri minum pil pencegah haid agar iddahnya lebih panjang yang secara otomatis bertambah nafkahnya dari suaminya. Dalam kondisi ini maka harus ada izin dari suami karena suami dirugikan.

7. Bolehkah wanita minum perangsang haid?
Boleh dengan syarat:
1) Tidak bermaksud lari dari kewajiban, misalnya menjelang Ramadhan wanita minum perangsang haid dengan maksud supaya bisa tidak berpuasa, atau supaya bisa tidak shalat dan sebagainya.
2) Izin suami, karena hadirnya haid menghalangi hak suami.

8. Apakah wanita haid harus mengganti pakaiannya setelah suci/

Kalau pakaian tersebut tidak terkena darah haid maka hal itu tidak harus, sebab darah haid tidak menjadikan badan najis, ia hanya menajiskan bagian dari badan dan pakaian yang terkena najis saja, oleh karena itu Nabi saw hanya menyuruh mencuci pakaian yang terkena darah haid saja dan setelah itu ia bisa dipakai untukshalat.

9. Wanit ahaid membaca dzikir dan lain-lain

Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismilah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fikih, doa dan aminnya, serta mendengarkan al-Qur`an, maka tidak diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi saw pernah bersandar di kamar Aisyah yang ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca al-Qur`an.

Diriwayatkan pula dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dari Ummu Athiyah bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda,

يَخْرِجُ العَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الخُدُوْرِ وَالخُيَّضُ – يَعْنِي إِلَى صَلاَةِ العِيْدَيْنِ – وَاليَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى .

“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid – yakni ke shalat Idul Fitri dan Adha- supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan doa orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.”

Sedangkan membaca al-Qur`an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya, misalnya mushaf diletakkan di depannya, lalu dia membaca dengan hatinya, menurut Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ hal tersebut boleh tanpa ada perbedaan pendapat.

(Rujukan: Darah kebiasaan wanita, 52 Persoalan sekitar hukum haid Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin).