Dia adalah Usman bin Thalhah bin Abu Thalhah dari Bani Abdud Dar, salah satu marga Quraisy, di kalangan orang-orang Quraisy Bani Abdud Dar mendapatkan tugas memegang kunci Ka’bah, pada waktu Fathu Makkah Nabi saw meminta kunci Ka’bah kepada Usman ini sebagai pemegangnya, beliau masuk ke Ka’bah bersama Usamah dan Bilal. Selesai Shalat, pada waktu beliau sedang duduk, datanglah Ali bin Abu Thalib, dia berkata, “Ya Rasulullah, serahkanlah wewenang mengurusi Ka’bah dan memberi minum kepada kami.” Rasulullah saw menjawab, “Di mana Usman bin Thalhah?” Setelah Usman datang Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Ambillah kunci ini wahai Usman. Hari ini adalah hari kebaikan dan menepati janji.”

Dalam riwayat berbeda disebutkan bahwa pada waktu Nabi saw menyerahkan kunci itu beliau bersabda, “Peganglah ia sebagai pusaka abadi, tidak ada yang merampasnya dari kalian kecuali orang zhalim. Wahai Usman, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menitipkan rumahNya kepadamu, maka ambillah dari apa yang diberikan kepadamu dari rumah ini dengan cara yang baik.”

Dari sisi keislaman Usman bukan termasuk Sabiqun Awwalun (angkatan pertama), boleh dikata Usman agak terlambat masuk Islam, karena dia masuk Islam pasca perjanjian Hudaibiyah dan Allah tidak menyamakan orang-orang yang masuk Islam sebelum Fathu Hudaibiyah dengan orang-orang yang masuk Islam setelah itu. Namun tahukah Anda bahwa semasa Usman masih musyrik, dia pernah menorehkan namanya dalam deretan orang-orang yang berbudi mulia dan berakhlak luhur dengan melakukan satu perbuatan sangat terpuji dan sangat mulia, perbuatan yang menunjukkan kemuliaan jiwa pelakunya dan kebersihan hatinya.

Apa yang telah dilakukan oleh Usman? Ada baiknya Anda membaca kisah hijrah seorang sahabat yang mulia, Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi dan keluarganya berikut ini karena apa yang dilakukan oleh Usman bertalian dengannya.

Manakala Abu Salamah mendengar bahwa beberapa orang Anshar telah masuk Islam, maka dia bertekad untuk hijrah ke Madinah, dia pun membawa istrinya Ummu Salamah berikut anaknya yang masih kecil. Dia menuntun kendaraannya dan meninggalkan Makkah, namun beberapa orang dari Bani Makhzum menyusulnya, mereka berkata, “Kami tidak mencampuri urusanmu, tetapi tidak dengan istrimu itu, karena dia adalah bagian kami, atas dasar apa kami membiarkanmu membawanya pergi ke negeri lain?”

Mereka merebut tali kekang unta dari tangan Abu Salamah dan mereka membawa unta yang di atasnya terdapat istri dan anaknya. Pada saat tersebut beberapa laki-laki dari keluarga Abu Salamah datang dan mereka marah, mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan anak kami bersamanya, karena kalian merebut istrinya dari kawan kami.” Mereka memperebutkan anak itu sampai-sampai tangan anak itu patah. Bani Abdul Asad berhasil merebut anak Abu Salamah sementara Bani al-Mughirah membawa istri Abu Salamah yaitu Ummu Salamah. Dan Abu Salamah sendiri terus mengayun langkah mencari tempat hijrah demi Rabbnya meninggalkan setengah jiwanya di belakangnya tanpa kuasa membawanya.

Selanjutnya apa yang terjadi dengan Ummu Salamah, istri yang malang dan ibu yang menderita ini? Kita dengarkan Ummu Salamah menceritakan kisahnya. Dia, semoga Allah meridhainya berkata, mereka memisahkanku dari suamiku, karena suamiku memutuskan untuk tetap meneruskan langkahnya ke Madinah. Mereka juga memisahkanku dari anakku karena keluarga suamiku mengambilnya.

Setiap pagi aku pergi ke pinggiran Makkah, di sana aku duduk menangis, aku terus menangis sampai sore tiba, hal terus berlangsung selama setahun atau kurang lebih setahun. Sampai pada suatu hari seorang laki-laki dari sepupuku, salah seorang dari Bani al-Mughirah melewatiku, dia melihat apa yang menimpaku, dia merasa kasihan kepadaku, dia berkata kepada Bani al-Mughirah, “Izinkanlah wanita malang ini untuk menyusul suaminya. Kalian telah memisahkannya dengan suaminya dan anaknya.” Ummu Salamah berkata, maka mereka berkata kepadaku, “Susullah suamimu jika kamu berkenan.” Ummu Salamah berkata, pada saat itu Bani Abdul Asad mengembalikan anakku kepadaku.

Selanjutnya aku menyiapkan untaku, aku mengambil anakku dan memangkunya, lalu aku berangkat menyusul suamiku di Madinah, tidak seorang pun dari makhluk Allah Ta’ala bersamaku. Aku berkata kepada diriku, semoga aku bertemu seseorang yang bisa membantuku bertemu suamiku.

Sampai di Tan’im aku bertemu dengan Usman bin Thalhah bin Abu Thalhah, saudara Bani Abdud Dar, dia bertanya kepadaku, “Hendak ke mana kamu wahai putri Abu Umayyah?” Aku menjawab, “Menyusul suamiku di Madinah.” Dia bertanya, “Adakah seseorang yang menyertaimu?” Aku menjawab, “Tidak seorang pun demi Allah kecuali Allah dan putra kecilku ini.” Usman berkata, “Demi Allah, kamu tidak patut dibiarkan.”

Ummu Salamah berkata, maka Usman memegang tali kekang untaku, dia berjalan menuntunnya. Demi Allah aku tidak menyertai seorang laki-laki pun dari kalangan Arab yang menurutku lebih mulia daripada Usman. Jika aku tiba di sebuah tempat untuk singgah, dia merundukkan untaku lalu dia mundur menjauh dariku, ketika aku sudah turun dia menghampiri untaku, dia menurunkan barangku lalu membawa untaku ke sebuah pohon dan mengikatnya di sana, kemudian dia menjauh dariku ke pohon lainnya dan beristirahat di bawahnya. Jika saat melanjutkan perjalanan sudah tiba, dia menghampiri untaku, dia menyodorkan untaku kepadaku kemudian dia mundur dariku, dia berkata kepadaku, “Naiklah.” Jika aku sudah naik dan aku sudah duduk di atas untaku maka dia mendekat dan memegang tali kekangnya, lalu dia menuntunnya sampai aku tiba di tempat singgah berikutnya. Dia selalu melakukan itu kepadaku sampai dia membawaku tiba di Madinah. Ketika dia melihat kampung Bani Amru bin Auf di Quba, dia berkata, “Suamimu di kampung itu. -Abu Salamah memang singgah di sana- masuklah ke sana dengan barokah dari Allah.” Kemudian dia pulang ke Makkah padahal pada saat itu dia masih musyrik dan dia baru masuk Islam pada perjanjian Hudaibiyah.

Ummu Salamah berkata, demi Allah aku tidak mengetahui sebuah keluarga dalam Islam mendapatkan apa yang didapatkan oleh keluarga Abu Salamah. Dan aku tidak melihat seorang rekan yang paling mulia daripada Usman bin Thalhah.

Pelajaran

Pertama dari Abu Salamah, kesediaannya untuk berpisah dari istri dan anaknya, dua orang yang paling dia cintai, belahan jiwa dan jantung hatinya. Siapa pun mengetahui kedudukan seorang istri dalam hati suami dan kedudukan anak di mata bapak. Namun semua itu tidak menghalangi Abu Salamah untuk berhijrah kepada Rabbnya, berlari menyelamatkan agamanya demi meraih ridhaNya. Abu Salamah yakin Allah akan memberi kemudahan sesuai dengan apa yang telah Dia janjikan dan ternyata benar, tidak berapa lama dia pun bisa berkumpul dengan istri dan anaknya.

Kedua dari Ummu Salamah, keteguhan dan keberaniannya berhijrah kepada Allah Ta’ala tanpa didampingi oleh seorang pun selain anaknya yang masih dalam gendongannya, menempuh perjalanan bukan sehari atau dua hari, melewati padang pasir gersang tanpa pohon rindang dan air mengalir. Namun semua itu tidak menyusutkan tekad Ummu Salamah, karena dia percaya Allah Ta’ala akan menjaganya dan melindunginya, dan ternyata benar Allah Ta’ala mengirim Usman bin Abu Thalhah laki-laki berbudi mulia berhati bersih yang membantunya sampai tiba di tempat tujuan.

Ketiga dari Usman bin Abu Thalhah, sohibun najdah (orang yang gemar membantu) dan sohibul iffah (orang yang bersih hatinya dari perbuatan kotor), bagaimana Usman tidak membiarkan Ummu Salamah, dia membantunya dengan memberikan pengawalan namun tanpa pamrih dan dengan hati bersih tiada niatan untuk berbuat kotor, bahwa dia menunjukkan sikap sopan kepada seorang wanita, menghargai dan memuliakannya. Sikap seorang laki-laki sejati dan bukan seorang serigala berbulu domba. Maka benarlah Ummu Salamah ketika dia berkata, “Dan aku tidak melihat seorang rekan yang paling mulia daripada Usman bin Thalhah.” Adakah laki-laki seperti Usman?
(Izzudin Karimi)