Kisah ini termasuk salah satu kisah dari kisah-kisah yang sangat mengagumkan, yang dijelaskan oleh Allah secara keseluruhan (lengkap), dan Allah menjelaskannya tersendiri dalam suatu surat yang panjang dengan penjelasan yang rinci dan gamblang, yang dapat dibaca dari tafsirnya. Di dalamnya Allah SWT menjelaskan kisah Nabi Yusuf AS dari awal hingga akhir berikut sejumlan perubahan dan peristiwa yang terjadi yang menyertainya. Berkenaan dengan kisah tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7).

Dalam pembahasan ini, kami akan mengemukakan sejumlah faidah yang besar yang dapat diambil dari penjelasan kisah tersebut seraya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

FAIDAH-FAIDAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI KISAH TERSEBUT

Adapun sejumlah faidah yang dapat diambil di antaranya bahwa kisah tersebut termasuk kisah yang sangat baik serta jelas. Karena di dalamnya terdapat sejumlah perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan berikutnya, dari suatu cobaan kepada cobaan berikutnya, dari kehinaan kepada kemuliaan, dari kedamaian kepada ketakutan dan sebaliknya, dari raja kepada budak dan sebaliknya, dari perpecahan dan kekacauan kepada persatuan dan keharmonisan serta sebaliknya, dari kebahagiaan kepada kesedihan dan sebaliknya, dari kemakmuran kepada kelaparan serta sebaliknya, dari kesempitan kepada kelapangan serta sebaliknya dan pencapaian hasil-hasil yang terpuji (baik). Maha Pemberi Keberkahan Dzat yang telah menjelaskannya dan menjadikannya sebagai pelajaran berharga bagi orang-orang yang berakal.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan ketepatan dalam menafsirkan mimpi, dimana ilmu tentang penafsiran mimpi itu adalah suatu ilmu yang dikaruniakan Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Pada umumnya yang menjadi patokan di dalam menafsirkan mimpi ialah adanya kecocokan dengan kenyataan, perumpamaan-perumpamaan dan persamaan dalam sejumlah sifat.

Kecocokan mimpi Nabi Yusuf AS dengan kenyataan, bahwa ia memimpikan matahari, bulan serta sebelas buah bintang sujud kepadanya, dimana benda-benda tersebut adalah hiasan langit yang bermanfaat. Begitu juga dengan para nabi, para ulama dan orang-orang pilihan, dimana mereka adalah hiasan bumi.

Dengan sebab mereka, maka diperolehlah petunjuk dalam kegelapan, seperti halnya diperoleh petunjuk dengan sebab benda-benda langit yang bersinar serta bercahaya. Karena bapaknya dan ibunya Nabi Yusuf AS adalah pokok dan saudara-saudaranya adalah cabang dari keduanya, tentunya sesuatu yang pokok memiliki sinar dan ukuran yang jauh lebih besar daripada sesuatu yang menjadi cabang.

Demikian juga halnya dengan mimpi Nabi Yusuf AS, dimana matahari melambangkan ibunya atau bapaknya, bulan melambangkan bagian lain dari keduanya serta sebelas buah bintang melambangkan saudara-saudaranya. Kecocokan mimpi tersebut dengan kenyataan bahwa yang bersujud niscaya menaruh hormati kepada yang disujudi dan yang disujudi niscaya memiliki kedudukan yang agung dan terhormat. Mimpi tersebut menunjukkan, bahwa Nabi Yusuf AS niscaya akan memiliki kedudukan yang agung dan terhormat di hadapan kedua orang tuanya serta saudara-saudaranya. Tetapi hal tersebut tidak akan sempurna, kecuali ditempuh sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepadanya, misalnya: sejumlah ilmu, amal-amal shalih dan penyeleksian dari Allah. Hal itu ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi).” (Yusuf: 6).

Faidah lainnya ialah kecocokan dalam menafsirkan mimpi dua orang pemuda.
Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang pemuda yang memeras anggur, bahwa orang yang melakukan perbuatan demikian biasanya adalah seorang pelayan dan perasan anggur yang dimaksud diperuntukkan bagi orang lain, dan seorang pelayan biasanya menuruti perintah orang lain. Adapun tafsiran dari memberi minum adalah memberi minum orang yang dilayaninya. Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi itu berdasarkan kenyataan yang biasa berlaku.

Sedangkan berkenaan dengan mimpi seorang pemuda lainnya, yang bermimpi membawa roti di atas kepalanya, lalu sebagiannya dimakan seekor burung, bahwa pelakunya niscaya akan dibunuh dan disalib selama beberapa hari hingga datang kepadanya seekor burung dan memakan otaknya.

Kemudian Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang raja yang bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus serta tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering. Adapun kecocokan mimpi raja itu dengan kenyataan, bahwa seorang raja terkait dengan urusan-urusan dan kemaslahatan rakyatnya, dengan melakukan urusan-urusan yang mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya, maka hal itu akan mendatangkan kemaslahatan baginya dan dengan melakukan urusan-urusan yang mendatangkan kerusakkan bagi rakyatnya, maka hal itu akan mendatangkan kerusakkan baginya. Itulah kecocokan tafsiran mimpi tersebut dengan kenyataan. Begitu juga dengan tafsiran tentang tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, dimana hal itu berkaitan dengan urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesejahteraan dan urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesengsaraan. Sapi merupakan alat untuk membajak tanah yang dapat mendatangkan hasil dengan menanaminya. Mimpi tersebut terkait dengan sebab akibat.

Dengan demikian tafsiran dari mimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus, dan tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, bahwa tujuh butir gandum itu awalnya tumbuh subur, kemudian mengering dan hanya memakan hasil yang didapatkan darinya, dimana tidak ada butir gandum yang tersisa kecuali yang disimpan. Jika tidak ada gandum yang disimpan, niscaya semuanya akan habis dimakan.

Jika dikatakan, “Dari manakah pernyataan Nabi Yusuf AS berikut dikutip: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf: 49).

Sebagian ahli tafsir berpendapat, bahwa pernyataan itu merupakan tambahan dari Nabi Yusuf AS terhadap wahyu yang diwahyukan kepadanya dalam menafsirkan mimpi tersebut?

Jawabannya, bahwa masalahnya bukanlah demikian, tetapi Nabi Yusuf AS mengutipnya dari mimpi raja tersebut, karena musim kemarau itu hanya berlangsung selama tujuh tahun saja dan setelahnya akan datang tahun yang agung, yang subur dan banyak membawa keberkahan (musim hujan) serta menghilangkan musim kemarau yang dahsyat yang tidak mungkin hilang dengan musim subur (hujan) yang biasa, tetapi harus dengan musim hujan yang luar biasa. Penafsiran tersebut sangat gamblang, yang dipahami dari jumlah bilangan yang terdapat di dalam pernyataan raja yang berkenaan dengan mimpinya.

Faidah lainnya, bahwa dalam kisah tersebut terkandung sejumlah dalil dan bukti nyata atas kenabian Muhammad SAW, dimana Allah telah menceritakan kisah itu kepadanya secara rinci dan jelas yang sesuai dengan kenyataan yang dimaksud secara keseluruhan, padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah membaca kitab-kita suci umat-umat terdahulu dan tidak juga belajar kepada seseorang; sebagaimana yang diberitahukannya kepada kaumnya, dan beliau sendiri adalah orang tidak dapat menulis dan membaca. Karena itu, maka Allah SWT berfirman, “Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya.” (Yusuf: 102)

Faidah lainnya, bahwa wajib bagi seseorang menghindari sebab-sebab yang mendatangkan keburukan dan menyembunyikan sesuatu yang dikhawatirkan dapat mendatangkan kemadharatan. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS kepada Nabi Yusuf AS, “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)

Faidah lainnya adalah keharusan mengingatkan seseorang tentang sesuatu yang dibenci; yang disampaikan dengan jujur dan sebagai nasehat baginya atau bagi yang lainnya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “… maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)

Faidah lainnya, bahwa ni’mat Allah yang dikaruniakan kepada seseorang merupakan ni’mat pula terhadap orang yang memiliki hubungan dengannya serta berkaitan dengan anggota keluarganya, kerabatnya dan sahabat-sahabatnya. Karena itu, sudah semestinya ia memelihara hubungan dengan mereka serta meliputi mereka dengan ni’mat itu. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “… dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub.” (Yusuf: 6)

Yakni sebab ni’mat yang dikaruniakan kepadamu. Karena itu, ketika ni’mat yang diperoleh Nabi Yusuf AS mencapai tingkat kesempurnaan, maka keluarga Nabi Ya’qub AS pun memperoleh kemuliaan, kedudukan yang terhormat, kebahagiaan, terbebas dari penderitaan dan memperoleh hal-hal yang disukai sebagaimana dijelaskan oleh Allah pada akhir kisah.

Faidah lainnya, bahwa pencapaian ni’mat-ni’mat besar, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan harus didahului dengan sebab-sebab dan langkah-langkah yang akan mengantarkan kepada pencapaian ni’mat tersebut. Karena Allah adalah Maha Bijaksana dan Ia memiliki ketentuan yang tidak akan berubah. Allah telah menetapkan bahwa orang yang mencari kedudukan yang tinggi, niscaya ia tidak akan dapat mencapainya, kecuali dengan sebab-sebab yang bermanfaat, khususnya ilmu-ilmu yang bermanfaat yang disertai dengan akhlak yang terpuji dan amal shalih.

Karena itu, Nabi Ya’qub AS mengetahui bahwa keberhasilan Nabi Yusuf AS dalam mencapai kedudukan yang terhormat serta derajat yang tinggi yang menyebabkan bapaknya, ibunya serta saudara-saudaranya menaruh rasa hormat kepadanya, niscaya tidak terlepas dari pertolongan Allah yang memberi kemudahan kepada Nabi Yusuf AS dalam melakukan langkah-langkah yang mengantarkannya kepada pencapaian kedudukan tersebut. Karena itulah, maka Allah SWT berfirman, “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu.” (Yusuf: 6)

Faidah lainnya, bahwa keadilan merupakan sesuatu yang dituntut dalam seluruh urusan; baik yang kecil maupun yang besar seperti: dalam perlakuan penguasa terhadap rakyatnya, perlakuan kedua orang tua terhadap anak-anaknya, penunaian hak-hak suami istri dalam hal kasih sayang, pengutamaan dan lain-lain. Penegakan keadilan dalam urusan tersebut niscaya akan mendorong tegaknya urusan yang kecil dan yang besar, sehingga seorang hamba mendapatkan apa yang didambakannya. Sedang jika keadilan tidak ditegakkan, niscaya keadaan akan mengalami kehancuran dan seorang hamba akan mendapatkan apa yang dibencinya tanpa disadarinya. Karena itu, maka ketika Nabi Ya’qub AS mengutamakan kasih sayang kepada Nabi Yusuf AS serta mengarahkan mukanya (perhatiannya) kepadanya, maka saudara-saudaranya menunjukkan sikap yang menyebabkan bapak dan ibu mereka harus menerima sesuatu yang tidak disukai.

Faidah lainnya, bahwa merupakan keharusan untuk mengingatkan akibat buruk yang ditimbulkan dari perbuatan dosa. Karena sering kali perbuatan suatu dosa diikuti sejumlah perbuatan dosa-dosa lainnya dan keburukkan yang beruntun berkaitan dengan perbuatan dosa yang pertama. Perhatikanlah kesalahan yang dilakukan saudara-saudara Nabi Yusuf AS ketika mereka bermaksud memisahkan dia dengan bapaknya yang tergolong dosa besar, dimana mereka melakukan tipu daya setelah melakukan sejumlah tipu daya lainnya dan mereka melakukan kebohongan berulang kali serta mendatangi bapak mereka sambil membawa sebuah baju yang telah dilumuri darah.

Sifat mereka terlihat ketika mereka datang kepada bapak mereka di sore hari sambil menangis dan dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang masalah tersebut saling berantai serta bercabang-cabang, bahkan terkadang ia dikaitkan dengan keinginan mereka berkumpul kembali dengan Nabi Yusuf AS. Padahal ketika mereka membahas masalah itu, maka pembahasan itu penuh rekayasa dan kebohongan seiring dengan berlanjutnya pengaruh musibah tersebut terhadap Nabi Ya’qub AS, bahkan terhadap Nabi Yusuf AS.
Karena itulah, sudah semestinya seseorang berhati-hati serta merasa takut akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa, khususnya perbuatan dosa yang menyebabkan perbuatan-perbuatan dosa yang berikutnya. Sebaliknya dengan sebagian dari perbuatan taat, meski hanya melakukan suatu perbuatan taat, tetapi manfaat serta keberkahannya berantai atau berkelanjutan hingga diikuti oleh perbuatan-perbuatan taat yang lainnya baik yang dilakukan oleh pelakunya maupun orang lain. Itulah pengaruh keberkahan yang sangat besar yang dikaruniakan Allah kepada seseorang berkenaan dengan ilmu dan amalnya.

Faidah lainnya, bahwa pelajaran berharga bagi seorang hamba berkenaan dengan pencapaian kesempurnaan di akhir itu tidak ada hubungan dengan kekurangan pada permulaan. Karena putera-putera Nabi Ya’qub AS pun sejak awal telah melakukan sejumlah perbuatan dosa yang bermacam-macam, tetapi urusan mereka berakhir dengan taubah yang sesungguhnya, pengakuan kesalahan dengan sepenuh hati, mendapatkan pengampunan dari Nabi Yusuf AS serta bapak mereka atas dosa yang dilakukan mereka serta mendo’akan mereka supaya mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. Jika seorang hamba memaafkan sesuatu hak, niscaya Allah akan lebih memaafkan, dan Allah adalah sebaik-baiknya pemberi rahmat dan ampunan. Karena itu, perkataan yang tepat bahwa Allah telah menjadikan mereka sebagai nabi karena telah diampuninya dosa mereka di masa lalu sehingga keadaan mereka bersih seperti semula, serta merujuk firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya.” (Ali ‘Imran: 84), yakni putra-putra Nabi Ya’qub AS yang jumlahnya sebelas orang dan keturunan mereka.”

Di antara yang menguatkan keterangan di atas, bahwa di dalam mimpi Nabi Yusuf AS, mereka dilambangkan dengan sebelas bintang yang memiliki cahaya yang dapat dijadikan petunjuk, dan hal itu termasuk salah satu sifat dari sifat-sifat para nabi. Seandainya mereka tidak menjadi nabi, nicaya mereka menjadi ulama yang kharismatik.

Faidah lainnya, bahwa apa yang dikaruniakan Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS berupa ilmu, kesabaran, akhlak yang sempurna, menyeru supaya beribadah kepada Allah Ta’ala dan mentaati perintah agama-Nya, mengampuni saudara-saudaranya yang bersalah dengan pengampunan yang membuat mereka merasa dekat dengannya dan menyempurnakan hal itu dengan mengabari mereka bahwa ia tidak akan mencerca mereka setelah adanya pengampunan tersebut, kebaktiannya yang besar kepada bapak dan ibunya, kebaikkannya kepada saudara-saudaranya dan juga kebaikannya kepada mahluk secara umum, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam biografinya dan kisahnya.

Faidah lainnya, bahwa sebagian keburukan lebih rendah dari sebagian yang lainnya, dan melakukan keburukan yang lebih ringan akibatnya lebih utama daripada melakukan keburukan yang lebih berat kemadharatannya, karena itu ketika saudara-saudara Nabi Yusuf AS berkata, “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal).” (Yusuf: 9), maka salah seorang dari mereka berkata, “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.” (Yusuf: 10). Perkataannya itu lebih baik daripada perkataan mereka dan lebih ringan akibatnya daripada dosa besar (pembunuhan) yang akan dilakukan saudara-saudaranya, dan itu termasuk dalam sejumlah sebab yang telah ditetapkan Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS dalam mengantarkannya kepada tujuan yang dikehendaki.

Faidah lainnya, bahwa jika sesuatu berpindah tangan serta menjadi bagian dari sejumlah harta dan para pelakunya tidak mengetahui bahwa hal itu tidak sesuai dengan hukum syara’ (agama), maka tidak berdosa bagi orang yang bahagia dengan menjual, membeli, mempekerjakan, mengambil manfaat, atau mempergunakannya, karena Nabi Yusuf AS pun dijual oleh saudara-saudaranya, padahal penjualan itu diharamkan atas mereka. Ia dibeli oleh sekelompok orang-orang musafir, dan mereka menduga, bahwa ia adalah budak milik saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang menjualnya, kemudian mereka membawanya pergi ke Mesir dan menjualnya di Mesir, sehingga ia tinggal di rumah tuannya dan Allah menyebutnya dengan sayyid (tuan) sebagai budak dan di hadapan mereka ia adalah seorang budak yang mulia. Allah menyebut para pembeli yang pertama dengan sayyarah (sekelompok orang-orang musafir) dan penjualannya di Mesir (saudara-saudaranya) dengan mu’amalah (transaksi), sebagaimana kami sebutkan.

Faidah lainnya berkenaan dengan peringatan akan bahayanya khalwat (menyendiri) dengan wanita lain (bukan muhrim), khususnya dengan wanita yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, danperingatan akan bahaya cinta yang dikhawatirkan mendatangkan kemadharatan. Karena isteri Al-Aziz (sebutan bagi raja di Mesir) menghadapi bahaya itu karena menyendiri dengan Nabi Yusuf AS serta cintanya yang mendalam kepadanya yang menyebabkannya lupa diri sehingga ia menggodanya, lalu ia berdusta kepada Al-Aziz dan memintanya agar memasukannya ke dalam penjara dalam waktu yang lama.

Faidah lainnya, bahwa ada keinginan Nabi Yusuf melakukan perbuatan keji itu kemudian Allah cegah dengan cahaya iman yang dimasukan ke dalam hatinya sehingga mendorongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan salah satu dorongan dari dorongan-dorongan nafsu yang mendorong kepada kejelekan yang merupakan tabiat manusia. Jika keinginan berbuat maksiat datang, sedangkan tidak ada cahaya iman dan perasaan takut kepada Allah yang dapat mencegahnya, niscaya perbuatan maksiat itu akan terlaksana. Jika seorang mukmin memiliki iman yang sempurna dan dorongan tabiat itu datang, niscaya imannya yang murni dan kuat dapat mencegahnya dari dorongan tabiat itu, meski dorongan itu kuat. Nabi Yusuf AS termasuk orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam masalah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “… andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.” (Yusuf: 24), sebagai petunjuk dari Allah: “Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)

Jadi hal tersebut terjadi, karena pencegahan Allah Ta’ala kepadanya, kekuatan imannya dan keikhlasannya, dimana Allah menyelamatkannya dari perbuatan dosa, sehingga ia termasuk orang yang takut kepada Rabbnya dan memelihara dirinya dari keinginan hawa nafsunya. Ia akan menjadi pimpinan tertinggi dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya. Nabi SAW menyebutkan ketujuh golongan manusia tersebut dalam sabdanya di antaranya ialah: “seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik, lalu ia menjawab, “Sesungguhnya aku merasa takut kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari;660, 1423 dan 6806 dan Muslim;1031: 91 dari hadits Abu Hurairah RA)

Jika tidak ada yang mencegahnya, niscaya istri Al-Aziz akan terus-menerus menggodanya dan keinginan Nabi Yusuf AS untuk menuruti keinginan hawa nafsunya akan terlaksana. Tetapi keinginan itu tidak terlaksana karena melihat tanda kekuasaan Rabbnya.

Faidah lainnya, bahwa orang yang hatinya diliputi oleh keimanan, disinari sinar ma’rifat kepada Rabbnya, diterangi cahaya keimanan yang memancar di dalamnya dan keikhlasan kepada Allah dalam seluruh perilakunya, niscaya Allah akan memeliharanya dengan cahaya keimanan dan keikhlasannya dari berbagai kejahatan, kekejian serta sebab-sebab yang dapat menjerumuskannya ke dalam perbuatan maksiat sebagai balasan atas keimanan serta keikhlasannya. Allah memberikan alasan dipalingkannya Nabi Yusuf AS dari keinginan hawa nafsunya, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24) Karena orang yang ingin diselamatkan serta dijauhkan Allah dari perbuatan buruk, hendaklah ia ikhlas kepada-Nya.

Faidah lainnya, bahwa diwajibkan atas seseorang ketika menghadapi cobaan di suatu tempat yang di dalamnya terdapat fitnah dan sebab-sebab yang mendorong kepada kemaksiatan supaya melarikan diri ke suatu tempat yang memungkinkannya dapat terhindar dari keburukan itu, sebagaimana Nabi Yusuf AS melarikan diri ke pintu, sehingga istri Al-Aziz menarik bajunya ketika beliau membelakanginya.

Faidah lainnya, bahwa indikasi-indikasi dapat dipakai sebagai sebuah petunjuk dalam memutuskan suatu kasus ketika terjadi kesamaran dalam tuduhan (dakwaan), sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf AS, dimana seorang saksi memberikan kesaksian atau menetapkan hukum terhadap Nabi Yusuf AS dan istri Al-Aziz berdasarkan sebuah indikasi yang ada, seraya berkata, “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.” (Yusuf: 26) Sehingga ketetapan hukumnya sesuai dengan kebenaran.

Dalam kasus Nabi Yusuf AS dengan saudaranya (Bunyamin), bahwa di antara indikasi yang dijadikan sebagai petunjuk di dalam menetapkan hukum ialah keberadaan piala (gelas minum) di dalam karung saudaranya, sehingga hukum pun ditetapkan berdasarkan indikasi tersebut.