Kesimpulan

Pendapat yang kuat menurut saya -wallahu a’lam- adalah pendapat Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu walaupun dilakukan hari itu saja selama tidak bertujuan mengagungkannya. Sebab hadits-hadits yang melarang berpuasa tidak kuat untuk mengimbangi hadits-hadits yang shahih yang secara tegas membolehkannya. Di samping itu telah dibeberkan pendapat para ulama hadits yang menyatakan bahwa hadits ini mengandung ‘illat.

Pendapat Syaikh Abu Abdullah Mushthafa bin al-Adawi setelah ia meriwayatkan hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits ini:

Masing-masing hadits secara sendiri dari semua hadits yang telah kami kemukakan ini lebih shahih dari pada hadits yang melarang berpuasa pada Hari Sabtu. Maka tidak seyogyanya dan walau bagaimana pun tidak layak menolak hadits-hadits ini dengan mendahulukan hadits yang berbunyi,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.

‘Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.’

Kemudian bagaimana pun juga pandangan para ulama dalam masalah ini tidak dapat begitu saja diabaikan.

Akan tetapi semua hadits-hadits yang ada harus dikumpulkan lalu dipilah mana di antara hadits-hadits tersebut yang lebih shahih dan lebih kuat. Demikian juga perlunya meninjau pandangan para ulama, baik dalam hal penilaian mereka terhadap derajat hadits maupun dalam hal pemahaman mereka terhadap hukum yang terkandung di dalamnya. Adapun hanya melihat satu matan hadits saja dan satu sanad saja dengan mengabaikan selain itu akan menimbulkan pemahaman yang ganjil.

Jadi sangat aneh bila ada seorang yang tidak berpuasa pada Hari Asyura` sementara Kaum Muslimin semuanya berpuasa lantaran Hari Asyura` itu jatuh pada Hari Sabtu dan menurut dugaannya berpuasa pada Hari Sabtu haram.

Juga sangat aneh bila ada seseorang yang bukan sedang melakukan ibadah haji tidak berpuasa pada Hari Arafah sementara semua orang di sekelilingnya berpuasa.

Bukankah orang seperti ini telah rugi, tidak mendapatkan pahala karena kekurangpahamannya dan sikapnya mengabaikan semua hadits? Bukankah sepatutnya ia menggabungkan semua hadits dan melihat pandangan para as-Salaf ash-Shalih serta mengkompromikannya dengan cara yang dapat diterima? Sungguh benar, itulah yang semestinya dilakukan sebagaimana sabda Nabi a,

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ.

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan pada dirinya, maka Allah akan memahamkannya dalam Agama.”

[Sumber: Disarikan dari kitab, Shiyamu ath-Tathauwu`, Syaikh Usamah Abdul Aziz; Edisi Indonesia, Puasa Sunnah, Hukum & Keutamaannya; Pent. Darul Haq Jakarta ]