“Rasulullah menetap di Madinah di sisa bulan Dzulhijjah dilanjut-kan bulan Muharram, Shafar, Rabiul Awal, dan Rabiul Akhir. Pada bulan Jumadil Ula, beliau mengirim pasukan ke Syam dan di antara mereka gugur sebagai syahid di Mu’tah.” Dan menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan, Rasulullah bersabda, ‘Jika Zaid gugur, maka yang menjadi komandan pasukan adalah Ja’far bin Abu Thalib. Jika Ja’far bin Abu Thalib gugur, maka yang menjadi komandan pasukan adalah Abdullah bin Rawahah’.

Pasukan tersebut segera mengadakan persiapan dan bersiap-siap untuk berangkat menunaikan tugas. Pasukan tersebut terdiri dari tiga ribu personel.

Ketika saat keberangkatan tiba, kaum muslimin melepas dan mengucapkan salam kepada para komandan pasukan. Ketika Abdullah bin Rawahah dilepas bersama para komandan pasukan, ia menangis. Para sahabat bertanya kepadanya, ‘Kenapa engkau menangis, wahai Ibnu Rawahah?’ Abdullah bin Rawahah menjawab, ‘Demi Allah, aku mena-ngis bukan karena cinta dunia atau rindu kalian, namun karena aku per-nah mendengar Rasulullah membaca ayat Al-Qur’an yang mengingatkan tentang Neraka,
‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi Neraka tersebut; hal ini bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.’ (Maryam: 71)

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa kembali setelah mendatanginya (Neraka). Kaum muslimin berkata, ‘Semoga Allah menemani, melindungi, dan mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan selamat.”

“Kemudian Abdullah bin Rawahah RA berkata,
‘Aku meminta ampunan kepada Ar-Rahman
Dan pukulan dahsyat yang memuncratkan darah
Atau tikaman oleh orang haus darah
Dengan tombak hingga menembus usus dan hati
Hingga orang-orang berkata ketika melewati kuburanku,
Semoga Allah memberi petunjuk kepada tentara dan sungguh ia telah mendapatkannya’.”

“Kemudian pasukan tersebut berangkat dengan diantar Rasulullah. Setelah beliau melepas dan meninggalkan mereka, Abdullah bin Rawahah berkata,
‘Kedamaian tercurah kepada orang yang aku tinggalkan di Madinah
Ia orang pengantar dan kekasih terbaik’.”

“Pasukan kaum muslimin berjalan dan singgah di Ma’an, daerah di Syam. Di sana, mereka mendapat kabar bahwa Hiraklius tiba di Ma’ab, daerah di Al-Balqa’, dengan membawa seratus ribu tentara Romawi dan seratus ribu tentara gabungan dari Lakhm, Judzam, Al-Yaqin, Bahra’, dan Baly dipimpin salah seorang dari Baly kemudian dari Irasyah bernama Malik bin Zafilah. Ketika kaum muslimin mendengar informasi tersebut, mereka menetap di Ma’an dua malam untuk berpikir. Sebagian dari mereka berkata, ‘Kita kirim surat kepada Rasulullah dan kita jelaskan jumlah musuh, agar beliau mengirim bantuan personel atau menyuruh kita pulang’. Abdullah bin Rawahah memberi motivasi kepada mereka dengan berkata, ‘Hai kaum muslimin, demi Allah, sesuatu yang kalian takuti pada hakikatnya adalah sesuatu yang kalian minta selama ini, yaitu mati syahid. Kita tidak memerangi musuh dengan jumlah besar pasukan atau kekuatan, namun kita memerangi mereka dengan agama Islam dimana Allah memuliakan kita dengannya. Berangkatlah kalian, niscaya kalian mendapatkan salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid’. Kaum muslimin berkata, ‘Sungguh Abdullah bin Rawahah berkata benar’.

“Kaum muslimin terus berjalan. Ketika tiba di perbatasan Al-Balqa’ tepatnya di desa Masyarif, mereka bertemu pasukan Romawi dan pasukan gabungan orang-orang Arab. Kedua belah pihak saling mendekat, namun kaum muslimin pindah ke desa Mu’tah. Di sanalah, kedua belah pihak bertemu. Kaum muslimin bersiap-siap untuk menghadapi musuh dengan menunjuk salah seorang dari Bani Udzrah bernama Quthbah bin Qatadah sebagai komandan pasukan sayap kanan dan salah seorang dari kaum Anshar bernama Abayah bin Malik.

“Kedua belah pihak bertemu kemudian saling serang. Zaid bin Haritsah bertempur dengan memegang bendera perang Rasulullah hingga gugur karena terkena tombak musuh kemudian bendera perang diambil alih Ja’far bin Abu Thalib. Ketika perang memuncak, Ja’far bin Abu Thalib turun dari kudanya dan menyembelihnya. Setelah itu, ia menyerang musuh hingga gugur.

Ia berkata,
‘Duhai betapa dekatnya Surga
Sungguh enak Surga itu dan minumannya menyegarkan
Orang-orang Romawi telah dekat siksanya
Mereka kafir dan nasabnya jauh
Jika aku bertemu mereka, aku akan menyerang mereka’.”

Ibnu Hisyam berkata, ulama yang aku percayai berkata kepadaku bahwa Ja’far bin Abu Thalib memegang bendera perang dengan tangan kanannya hingga putus, kemudian ia pegang bendera perang dengan tangan kirinya hingga putus, kemudian ia dekap bendera perang dengan kedua lengannya hingga gugur dalam usia tiga puluh tiga tahun. Allah SWT memberinya pahala dalam bentuk dua sayap di Surga dimana ia dapat terbang dengannya ke mana pun ia mau. Ada yang mengatakan bahwa salah seorang tentara Romawi memukulnya hingga badannya terbelah menjadi dua.

“Ketika Ja’far bin Abdullah gugur, Abdullah bin Rawahah mengambil alih bendera perang. Ia maju dengannya dengan mengendarai kuda dan mendorong dirinya terjun ke medan perang, namun agak ragu-ragu, kemudian ia berkata,
Wahai diriku aku bersumpah, engkau harus terjun ke medan perang
Engkau harus terjun ke kancah perang atau aku memaksamu terjun
Manusia telah berkumpul dan mengeraskan teriakan
Namun kenapa kulihat engkau benci kepada Surga?
Sudah sekian lama engkau tentram
Dan engkau hanyalah setetes air mani di tempat air’.

Abdullah bin Rawahah juga melantunkan,
‘Wahai diriku, jika engkau tidak terbunuh, engkau tetap akan mati
Inilah kendali kematian telah mengenaimu
Apa yang engkau dambakan telah diberikan kepadamu

Jika engkau mengerjakan perbuatan dua orang, engkau mendapat petunjuk’.
“Setelah itu, Abdullah bin Rawahah terjun ke medan perang. Ketika ia turun, ia didatangi saudara sepupunya dengan membawa tulang yang masih ada dagingnya. Saudara sepupunya berkata, “kuatkan badanmu dengan daging ini, karena kulihat engkau lapar sejak beberapa hari ini’. Abdullah bin Rawahah mengambil daging tersebut dan menggigitnya. Tiba-tiba ia mendengar suara perang dari arah dua belah pihak yang sedang bertempur, ia pun berkata, ‘Engkau (daging) berada di dunia’. Ia buang daging tersebut, mengambil pedang, dan bertempur hingga gugur”.

“Setelah Abdullah bin Rawahah gugur, bendera perang diambil alih Tsabit bin Arqam saudara Bani Al-Ajlan. Ia berkata, ‘Hai kaum muslimin, angkatlah salah seorang dari kalian menjadi komandan pasukan’. Kaum muslimin berkata,’Engkau komandan perang kami’. Tsabit bin Arqam berkata, ‘Aku tidak siap’. Kaum muslimin mengangkat Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan mereka. Ketika Khalid bin Walid mengambil bendera perang, ia menyerang musuh, kemudian mundur dan pulang bersama kaum muslimin”.

“Ketika para komandan pasukan Islam gugur, Rasulullah bersabda, ‘Bendera perang dipegang Zaid bin Haritsah kemudian ia bertempur hingga gugur sebagai syahid, lalu bendera perang diambil alih Ja’far bin Abu Thalib, kemudian ia bertempur hingga gugur sebagai syahid’. Rasulullah diam hingga wajah orang-orang Anshar berubah dan menyangka telah terjadi sesuatu yang tidak mereka sukai pada Abdullah bin Rawahah. Rasulullah bersabda lagi, ‘Kemudian bendera perang diambil alih Abdullah bin Rawahah, lalu ia bertempur hingga gugur sebagai syahid’. Rasulullah bersabda lagi, ‘Dalam mimpiku, aku lihat mereka di Surga diangkat kepadaku di atas singgasana dari emas. Aku lihat singgasana Abdullah bin Rawahah miring dari singgasana dua sahabatnya. Aku bertanya, ‘Kenapa singgasana Abdullah bin Rawahah miring?’ Dikatakan kepadaku, ‘Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abu Thalib bertempur tanpa ragu, sedang Abdullah bin Rawahah agak ragu-ragu, kemudian ia bertempur’.”

Setelah Khalid bin Walid berhasil mundur, ia pulang ke Madinah bersama pasukan Islam.

“Ketika pasukan Islam mendekati Madinah, mereka disambut Rasulullah, kaum muslimin, dan anak-anak yang berlari-lari. Rasulullah datang ke tempat tersebut dengan mengendarai kuda bersama kaum muslim. Beliau bersabda, ‘Ambillah anak-anak, bawa mereka, dan berikan kepadaku anak Ja’far’. Abdullah bin Ja’far dibawa kepada Rasulullah, kemudian beliau mengambilnya dan membawanya di depan. Kaum muslimin menaburkan tanah di depan pasukan Islam sambil berka-ta, ‘Hai orang-orang yang lari, kalian lari dari medan jihad fi sabilillah’, Rasulullah bersabda, ‘Mereka tidak melarikan diri, namun mereka lari untuk kembali (mengatur siasat), insya Allah’.”

“Di antara syair-syair duka cita terhadap syuhada Perang Mu’tah adalah syair Hassan bin Tsabit RA. Ia berkata,
‘Malam yang sulit silih berganti datang kepadaku
Duka lara datang kepadaku jika manusia tidak bisa tidur
Ingat kekasih membuatku mengalirkan air mata dengan deras
Setiap kali aku ingat mereka, aku menangis
Ketahuilah, sesungguhnya kehilangan orang tercinta adalah musibah
Betapa banyak orang diuji, kemudian bersabar
Kulihat orang-orang pilihan kaum Mukminin gugur secara bergantian
Satu orang disusul orang lain
Allah tidak menjauhkan para korban yang meninggal secara bergantian
Di Mu’tah, di antaranya pemilik dua sayap, Ja’far,
Zaid, dan Abdullah yang meninggal secara beruntun
Ketika sebab-sebab kematian datang di suatu pagi
Mereka berjalan dan menuntun kaum Mukminin
Kepada kematian dengan senang hati dan cerah
Ia lebih putih daripada bulan purnama dan berasal dari keturunan Hasyim
Ia pantang menyerah dan pemberani jika menghadapi kezhaliman
Ia menikam hingga jatuh tanpa bantal
Di medan perang karena terkena tombak yang mematikan
Ia pun bersama para syuhada’
Pahalanya adalah Surga dan taman-taman hijau
Kami lihat Ja’far menempati janji Muhammad dan tegas dalam menyuruh
Islam selalu mempunyai pilar-pilar tangguh dari Bani Hasyim
Dan itu akan selalu menjadi kebanggaan
Mereka laksana gunung Islam
Sedang manusia rendah di sekitar mereka
Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Ja’far, saudaranya yaitu Ali
Ahmad yang terpilih manjadi nabi
Hamzah, Abbas, dan Aqil
Dengan mereka semua, segala kesulitan di masa-masa sulit menjadi hilang
Jika manusia mendapatkan kesukaran
Mereka adalah wali-wali Allah dimana Allah menurunkan hukumNya kepada mereka.
Dan pada mereka ada kitab yang suci ini.”

NOTE:

Mu’tah adalah nama sebuah kampung di wilayah Balqaa’ Syam