Sifat keberanian merupakan salah satu ciri kejantanan, seorang lelaki harus menjadi orang pemberani, dengan keberanian dia terlihat sebagai laki-laki. Namun keberanian harus diiringi dengan pertimbangan agar keberanian tersebut terarah, kebenaran yang tidak dikemudikan dengan nalar sehat akan berubah menjadi sikap ngawur, tidak terkendali dan hantam kromo, kalau sudah begini maka bukan keberanian namanya akan tetapi kalap membabi buta. Di samping itu keberanian adalah keberanian jika ia berhadapan dengan lawan yang setara atau yang lebih, lebih kuat, lebih banyak, lebih lengkap dan lebih tinggi, lain perkara jika keberanian dipertontonkan kepada yang bukan tandingan, kepada yang lebih, yakni lebih lemah karena tidak mampu melawan, maka ini bukan keberanian, akan tetapi sebuah kepicikan dan kepandiran sekalipun yang bersangkutan diklaim atau mengklaim sebagai pemberani, omong kosong.

Orang-orang berikut tercatat dalam sejarah kepandiran dan kepicikan bukan keberanian, karena mereka hanya berani kepada yang lebih lemah, yang tidak kuasa melawan, mereka hanya berani terhadap kaum wanita.

Orang pertama adalah Abu Jahal Amru bin al-Hisyam, kawan-kawannya memanggilnya dengan Abu al-Hakam (al-Hakam artinya penengah atau pengadil), kerena kedudukannya di mata mereka, namun kaum muslimin memanggilnya dengan Abu Jahal (jahal artinya bodoh dan dungu), karena tindakan dan sikapnya yang buruk. Walaupun di kalangan orang-orangnya dia dikenal pemberani, namun dia tidak berkutik di perang Badar, dia adalah salah satu korbannya yang dilemparkan ke sumur Badar. Sebelum Badar Abu Jahal ini telah menunjukkan keberaniannya (baca, kepicikannya) dua kali.

Pertama, ketika dia dengan beberapa pemuka Quraisy dengan angkuhnya menyiksa keluarga Yasir. Abu Jahal ini menunjukkan kepicikannya dengan membunuh seorang wanita, Ibu Ammar Sumayyah, dengan cara menusuk kelaminnya dengan tombak. Picik lagi pandiri. Beraninya cuma melawan wanita.

Kedua ketika dia datang bersama begundalnya ke rumah Abu Bakar pasca hijrahnya Abu Bakar bersama Nabi saw ke Madinah, dia disambut oleh Asma` putri Abu Bakar. Abu Jahal bertanya, “Ke mana bapakmu?” Asma’ menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Begitu Asma menyelesaikan kalimatnya, tangan Abu Jahal yang kasar itu terangkat dan “plaak” mendarat di pipi Asma`, tamparan yang sangat keras sekaligus kasar dari orang yang memang layak dipanggil dengan Abu Jahal sehingga anting-anting yang tersemat di telinga Asma` jatuh ke tanah. Picik lagi pandiri. Beraninya cuma melawan wanita.

Orang kedua adalah Habbar bin al-Aswad bin al-Mutthalib bin Asad, laki-laki ini telah menampakkan kepicikannya dengan mempertontonkan kebuasannya di hadapan seorang wanita, lebih dari itu wanita ini sedang mengandung sehingga dia mengalami keguguran karena ulah buruk laki-laki, tahukah Anda wahai pembaca bahwa wanita tersebut adalah putri Rasulullah saw, Zaenab binti Rasulullah saw.

Kisah singkatnya, suami Zaenab Abu al-Ash bin ar-Rabi’ tertawan oleh kaum muslimin di perang Badar, Nabi saw membebaskannya tanpa tebusan dengan persetujuan kaum muslimin setelah beliau terenyuh melihat harta tebusan yang dikirim oleh istri setia Abu al-Ash yaitu Zaenab, di antara harta tersebut terdapat seuntai kalung milik Zaenab hadiah pernikahan dari ibunda tercinta Khadijah, melihatnya hati Nabi saw tersentuh, akhirnya beliau meminta persetujuan kaum muslimin untuk membebaskan Abu al-Ash, sang menantu dan kaum muslimin menyetujui.

Abu al-Ash bukan orang yang tidak tahu berbalas budi, sesampainya dia di Makkah, dia meminta Zaenab sang istri yang sedang hamil untuk bersiap-siap menyusul ayahanda tercinta di Madinah, Abu al-Ash menyiapkan kendarannya dan seorang pengawal, yaitu saudaranya sendiri Kinanah bin ar-Rabi’. Kinanah menyiapkan busur dan anak panahnya, dia menuntut unta Zaenab. Orang-orang Makkah yang mengetahui keberangkatan Zaenab menghadang, pada saat itulah Habbar bin al-Aswad, pecundang kita yang picik ini berbuat beringas, dia tidak menghadang Kinanah sebagai pengawal untuk berduel dengannya sebagai petarung, namun dia membokong, (biasa, orang penakut beraninya main bokong) mendekati Zaenab dan mengayunkan tombaknya berkali-kali seolah-olah hendak menikam Zaenab, melihat tombak berkelebat berkali-kali di sekitar dirinya, Zaenab ketakutan sehingga putra yang dikandungnya gugur dari rahimnya. Tindakan kurang ajar dari laki-laki macam Habbar. Beraninya hanya terhadap wanita.

Orang ketiga adalah laki-laki Yahudi pahlawan (baca, pecundang) dungu, karena kelancangannya mengganggu seorang wanita muslimah, (biasa, orang dungu beraninya hanya kepada wanita), dan mempermalukannya di depan umum, tindakan asusila dan pelecehan berat, akibatnya pahlawan pandir kita ini harus menebus akibat buruk perbuatannya dengan nyawanya, dia pergi ke neraka jahanam, tidak sebatas itu, kaumnya orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ harus terkena getah dari ulahnya yang tidak senonoh, mereka harus terusir dari kampung halaman sebagai pecundang untuk menjemput kematian di bumi Azdri’at Syam.

Kisahnya, seorang wanita muslimah datang ke pasar Yahudi Bani Qainuqa’ membawa barang dagangan, dia datang kepada seorang pengrajin perhiasan Yahudi untuk membeli sesuatu, dia duduk dan di sekitarnya adalah orang-orang Yahudi, mereka mengejeknya karena wanita ini menutup wajahnya, mereka memintanya agar membuka wajahnya, namun wanita ini menolak demi menjaga kesuciannya dan melindungi kehormatannya, dia tidak berkenan membuka wajahnya sehingga bisa dilihat oleh orang lain selain mahramnya.

Tiba-tiba seorang laki-laki Yahudi, semoga Allah melaknatnya, memanfaatkan kelengahan wanita ini, laki-laki Yahudi itu mengikat ujung pakaian wanita tersebut dari bawah dan mengaitkannya dengan kerudungnya, maka ketika wanita itu berdiri auratnya terbuka, dia berteriak ketakutan, “Duh auratku.” Suaranya didengar oleh seorang muslim, dia mendekat, dia melihat apa yang terjadi, maka dia memukul laki-laki Yahudi dan mati. Sontak Orang-orang Yahudi mengeroyok laki-laki muslim ini, mereka memukulinya hingga dia gugur sebagai syahid. Kaum muslimin yang mendengar kejadian ini berhamburan ke tempat kejadian, mereka pun berkelahi dengan orang-orang Yahudi.

Dengan ini orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ telah melanggar perjanjian dan mencampakkan kesepakatan, maka mereka mundur berlindung di balik benteng mereka, Nabi saw berangkat kepada mereka bersama kaum muslimin mengepung mereka selama setengah bulan sampai akhirnya mereka menyerah kepada hukum Nabi saw. Maka mereka diikat tangan dan kaki mereka untuk dihukum mati sesuai dengan konsekuensi perjanjian dan kesepakatan dengan Rasulullah saw. Namun sebelum eksekusi dilaksanakan, sekutu mereka yaitu Abdullah bin Ubay pemuka orang-orang munafik turun tangan menjadi perantara untuk mereka kepada Nabi saw agar memaafkan dan mengampuni mereka, maka Nabi saw memaafkan, tapi Nabi saw tetap mengusir mereka dari Madinah, mereka meninggalkan Madinah dengan kepala tertunduk memikul kehinaan dan kerendahan akibat ulah tidak terpuji pecundang mereka untuk menuju utara, mereka tiba di Adzri’at Syam, tidak berselang lama mereka pun binasa seluruhnya.
(Izzudin Karimi)