Shalat memiliki kedudukan khusus yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah yang lain, salah satunya adalah ditetapkannya kekufuran bagi orang yang meninggalkannya, meskipun hal ini perlu diperjelas akan tetapi kekhususan ini hanya ada pada shalat.

Ada beberapa keadaan bagi orang yang meninggalkan shalat

Pertama: Dia meninggalkannya karena mengingkari kewajibannya.
Kedua: Dia meninggalkannya karena menghina, melecehkan dan memperolok-oloknya.
Ketiga: Dia meninggalkannya karena menyombongkan diri.
Keempat: Dia meninggalkannya karena berpaling, tidak mengingkari dan tidak membenarkan.
Kelima: Dia meninggalkan karena malas dan menyepelekannya.

Pertama, ini merupakan kekufuran tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama, hal ini karena dia mengingkari kewajiban utama dalam agama Islam. Iman adalah lawan kufur, iman adalah pengakuan dan pembenaran, sementara lawannya yaitu pengingkaran dan pendustaan.

Kedua, ini merupakan kekufuran, karena menghina dan memperolok-olok sesuatu dalam agama lebih-lebih ibadah pokok seperti shalat adalah kekufuran. Menghina shalat berarti menghina Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya, dan hal itu merupakan kekufuran tanpa ragu.

Firman Allah, “Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66).

Ketiga, ini merupakan kekufuran, karena menyombongkan diri adalah perilaku Iblis, dengannya dia menolak perintah Allah Taala agar bersujud kepada Adam, dan karenanya Allah Taala menetapkannya termasuk golongan orang-orang kafir.

Firman Allah, “Maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 34).

Ibnu Taimiyah (Majmu’ al-Fatawa 20/90) menjelaskan keadaan ini secara terperinci, dia berkata, “Dia tidak mengingkari kewajibannya tetapi dia menolak melaksanakannya karena sombong atau hasad atau benci kepada Allah dan rasulNya, dia berkata, ‘Aku tahu Allah mewajibkannya atas kaum muslimin dan Rasul adalah benar dalam menyampaikan al-Qur`an’, akan tetapi dia tetap menolak menjalankannya karena sombong atau hasad kepada Rasul atau karena fanatik kepada agamanya atau karena dia membenci apa yang dibawa oleh Rasul, maka dia kafir dengan kesepakatan, karena ketika Iblis menolak sujud yang diperintahkan kepadanya, dia tidak mengingkari iman, Allah berbicara kepadanya secara langsung, akan tetapi dia menolak dan menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang kafirin, begitu pula Abu Thalib, dia mempercayai apa yang disampaikan oleh Rasul akan tetapi di menolak mengikuti karena fanatik kepada agamanya, takut memikul malu karena ketundukan dan dia menolak bokongnya lebih tinggi daripada kepalanya, ini adalah perkara yang harus dicermati.”

Keempat, ini adalah kekufuran karena tidak terwujudnya pengakuan dan pembenaran dalam dirinya yang merupakan titik dasar bagi iman, benar dia tidak mengingkari dan tidak mendustakan akan tetapi rukun utama iman yaitu mengakui dan membenarkan tidak ada pada dirinya, jadi tidak bisa dikatakan beriman.

Firman Allah, “Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-Ahqaf: 3).

Kelima, ini menjadi topik perbincangan dikalangan para ulama, mereka terbagi menjadi dua kelompok, ada yang mengkafirkannya, ada pula yang tidak mengkafirkannya, akan tetapi kedua kelompok sepakat, dia dibunuh.

Ibnu Qudamah (al-Mughni 3/335) berkata, “Riwayat berselisih apakah dia dibunuh karena kafir atau sebagai hukuman had? Diriwayatkan bahwa dia dibunuh karena dia kafir sama dengan murtad, maka tidak dimandikan, tidak mewarisi dan diwarisi, ia dipilih oleh Abu Ishaq bin Syaqila, Ibnu Hamid, ia adalah madzhab al-Hasan, an-Nakhai, asy-Sya’bi, Ayyub as-Sakhtiyani, al-Auzai, Ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin al-Hasan. Riwayat kedua berkata, dia dibunuh sebagai hukuman had dengan tetap divonis muslim seperti pezina muhshan. Ini adalah pilihan Abu Abdullah Ibnu Batthah, dia mengingkari pendapat yang mengkafirkannya… ini adalah pendapat mayoritas fuqaha, pedapat Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i.”

Dalil-dalil kelompok yang mengkafirkan, diantaranya:

Firman Allah Taala, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan Hari Pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (Al-Muddatstsir: 38-47).

Muhammad bin Nashr al-Marwazi (Ta’zhim Qadr ash-Shalah 2/1007) berkata, “Apakah Anda tidak melihat bahwa Dia menjelaskan bahwa penghuni Padang Mahsyar yang ke surga adalah orang-orang yang shalat, bahwa orang-orang yang berputus asa dari surga yang berhak kekal di neraka adalah orang yang tidak termasuk ahli shalat dengan berita dari Allah Taala tentang orang-orang yang dikekalkan di dalam neraka ketika mereka ditanya, ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.’ (Al-Muddatstsir: 42).

Firman Allah azj, “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (At-Taubah: 11).

Mafhum dari ayat ini bahwa jika mereka tidak mendirikan shalat berarti mereka bukan termasuk saudara orang-orang mukmin, jika persaudaraan dengan orang mukmin lenyap berarti mereka termasuk orang-orang kafir karena Allah Taala berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (Al-Hujurat: 10). Persaudaraan agama tidak lenyap dengan kemaksiyatan sebesar apapun, akan tetapi ia lenyap dengan keluar dari Islam.

Nabi saw bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ .

“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Nabi saw meletakkan batasan antara Islam dengan kufur adalah meningalkan shalat, barangsiapa menunaikannya maka dia muslim, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir. Kufur dalam hadits ini hadir dengan ma’rifat alif dan lam, ini menunjukkan bahwa ia adalah kufur khusus yang sudah dimaklumi, yaitu kufur yang mengeluarkan dari Islam.

عن بريدة بن الحصيب رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : اَلعَهْدُ الّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَة فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

Dari Buraidah bin al-Hushaib berkata, Rasulullah saw bersabda, “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih gharib.” An-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/226).

Rasulullah saw meletakkan shalat sebagai batasan yang membedakan kaum muslimin dengan orang-orang kafir selain kaum muslimin.

وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: أَوْصَانِي خَلِيْلِي أَبُو القَاسِمْ صلى الله عليه وسلم بِسَبْعٍ: لاَتُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا، وَإِنْ قُطِعْتَ أَوْ حَرِّقْتَ، وَلاَتَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةِ .

Dari Abu ad-Darda` rhu berkata, kekasihku Abul Qasim saw memberiku wasiat tujuh perkara, “Jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu walaupun kamu dipotong atau dibakar, jangan meninggalkan shalat wajib dengan sengaja, karena barangsiapa meninggalkannya dengan sengaja maka dia telah terbebas dari dzimmah.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Albani dengan syahid-syahidnya dalam shahih at-Targhib wa at-Tarhib 1/227).

Ibnul Qayyim berkata, “Kalau dia tetap di atas Islam niscaya dia memiliki dzimmah Islam.”

وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ صَلىَّ صَلاَتَنَا، وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا، وَأَكَلَ ذَبِيْحَتَنَا، فَهُوَ المُسْلِمُ، لَهُ مَالَنَا، وَعَلَيْهِ مَا عَلَيْنَا.

Dari Anas bin Malik rhu berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa shalat seperti kami shalat, menghadap kiblat kami dan memakan sembelihan kami maka dia muslim, dia mendapatkan hak sama dengan kami dan atasnya kewajiban yang sama dengan kami.” (HR. al-Bukhari)

Hadits ini merupakan dalil bahwa barangsiapa tidak shalat seperti kami dan tidak menghadap kiblat kami maka dia bukan muslim.

Ibnul Qayyim (kitab ash-Shalah hal. 487) berkata tentang hadits ini, “Sisi pengambilan dalil dari hadits ini dari dua sisi, pertama: Nabi saw hanya menjadikannya muslim dengan tiga perkara ini, dia tidak menjadi muslim tanpanya. Kedua: Apabila dia shalat dengan menghadap ke Timur maka dia bukan muslim sehingga dia shalat kepada kiblat kaum muslimin, lalu bagaimanakah jika dia meninggalkan shalat sama sekali?”

(Rujukan al-Mughni Ibnu Qudamah, al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Ta’zhim Qadr ash-Shalah al-Marwazi, ash-Shalah Ibnul Qayyim, Fatawa al-Lajnah ad-Da`iamah, disusun oleh Syaikh Ahmad ad-Duweisy).