DEPOSITO BANK

Yang dimaksudkan dengan deposito bank adalah uang yang dititipkan pada pihak bank oleh pribadi maupun lembaga usaha tertentu untuk disimpan dan kemudian ditarik kembali saat dibutuhkan, atau berdasarkan syarat yang disepakati bersama. Yang dapat dikembalikan saat diminta atau dibutuhkan, disebut deposito komersial. Sementara deposito yang tidak harus dikem-balikan oleh pihak bank melainkan pada saat yang ditentukan saja, disebut saving deposito atau deposito simpanan, alias deposito modal.

Ditinjau dari kebebasan pihak bank dalam mengoperasikan deposito, deposito terbagi menjadi dua:
1. Deposito kontan biasa. Yakni deposito yang menurut kebiasaan digunakan dan dioperasikan secara bebas oleh pihak bank, dengan catatan, harus dikembalikan pada saat yang diten-tukan.
2. Deposito Support atau deposito kontan dengan target ter-tentu. Deposito ini tidak dapat digunakan dan dioperasikan oleh pihak bank, tetapi hanya disimpan untuk kepentingan target yang ditentukan. Pihak bank harus menyimpan deposito tersebut dalam brangkas, dan pada saatnya nanti dibelanjakan untuk tar-get yang menjadi sasaran semata.

Membedah Hakikat Deposito Bank

Pengertian penitipan secara fikih tidak bisa disamakan dengan penitipan dalam bentuk deposito bank. Karena hakikat penitipan dalam ilmu fiqih yaitu: Mewakilkan pihak lain untuk menyimpan harta untuk dikembalikan lagi harta itu juga kepada yang meminta diwakilkan. Hal tersebut diaplikasikan dengan berbagai komitmen yang diberikan kepada pihak yang mewakili untuk menyimpannya dan mengembalikannya pada saatnya nanti. Aplikasi penitipan ini tentu saja tidak bisa disamakan de-ngan deposito kontan biasa yang dipegang oleh pihak bank untuk kemudian dicampurkan dengan harta lain milik bank lalu digu-nakan dalam usaha bank tersebut, dan dikembalikan lagi peng-ganti uang tersebut pada saat yang ditentukan.

Dengan demikian, untuk mendudukkan deposito ini secara benar menurut ilmu fiqih harus dikatakan bahwa deposito di sini adalah pinjaman kepada pihak bank. Karena hakikat peminjaman adalah: Pemindahan kepemilikan harta kepada pihak lain untuk dikembalikan lagi pengganti uang itu kepada yang meminjamkan. Dan itulah yang dilakukan oleh pihak bank terhadap deposito tersebut. Pihak bank biasa mencampurkan harta deposito itu de-ngan harta lain milik bank untuk dioperasikan sebagaimana halnya harta miliknya sendiri, kemudian dikembalikan penggan-tinya kepada pemilik harta atau uang tersebut. Karena yang menjadi patokan hukum adalah hakikat dan pengertian sesung-guhnya, bukan sekedar nama atau sebutan saja, maka dapat dika-takan bahwa deposito bank itu adalah uang pinjaman, meskipun disebut dengan nama lain. Mendudukan posisi deposito sebagai simpanan itu relevan dengan ajaran syariat dan undang-undang positif yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Syariat

Disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah: “Dibo-lehkan meminjamkan dirham dan dinar untuk dijadikan acuan timbangan. Namun kalau dipinjam untuk dibelanjakan, itu dise-but hutang.”

Dalam al-Mabsuth oleh as-Sarkhasi disebutkan, “Peminjaman dirham, dinar atau uang adalah hutang. Karena peminjaman itu dibolehkan bila untuk digunakan. Sementara penggunaan uang hanya dengan jalan mengkonsumsinya secara langsung, sehingga dibolehkan untuk dihutangkan.”

Sementara dalam Tuhfatul Fuqaha oleh as-Samarqandi dise-butkan, “Segala sesuatu yang hanya dapat digunakan dengan dikonsumsi, bila dipinjamkan maka ia menjadi hutang, namun bisa disebut sebagai pinjaman dalam bahasa kiasan.”

Sementara Menurut Undang-undang Positif:
Pasal ke 726 dari undang-undang Mesir menegaskan sebagai berikut, “Kalau yang dititipkan adalah sejumlah uang atau sesuatu yang lain yang akan habis bila digunakan, sementara pihak yang dititipkan uang itu diizinkan untuk menggunakannya, maka titipan itu dianggap sebagai hutang secara transaksi.”

Apakah Bank Itu Miskin, Sehingga Kita Beri Pinjaman/ Hutang?
Dalam kebiasaan, pinjaman atau hutang itu diberikan oleh orang-orang kaya kepada fakir miskin. Apakah pihak bank itu miskin, sehingga kita bisa memposisikan deposito yang dititipkan pada bank itu sebagai hutang?

Sebagai jawabannya dikatakan, bahwa hakikat dari pemin-jaman -sebagaimana telah dijelaskan- adalah memindahkan kepe-milikan harta untuk dikembalikan penggantinya. Itu bisa berlaku pada pinjaman orang kaya kepada fakir miskin, atau sebaliknya. Kalau asal dari hutang itu diberikan oleh orang kaya kepada orang miskin, hal itu tidaklah mencegah adanya bentuk hutang atau pinjaman lain yang bersifat sebaliknya. Contoh paling jelas dapat kita peroleh dari sejarah Islam, Zubair bin Awwam. Beliau adalah orang kaya raya. Harta warisannya pernah dihitung ketika beliau wafat, ternyata sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah mencapai 59.800.000 Dirham (175 milyar rupiah lebih, pent.). Sementara beliau memiliki hutang sebesar 1.200.000 Dirham. Artinya, harta bersih dari warisan Zubair mencapai 57.600.000 Dirham. Bagaimana bisa kita pahami beliau yang memiliki uang sebesar itu masih memiliki hutang sebesar 1.200.000 Dirham?

Jawabannya bisa kita dapatkan dalam apa yang diceritakan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, “Hutang itu dimiliki oleh Zubair karena ada seorang lelaki datang kepadanya untuk menitipkan uangnya. Zubair berkata, ‘Jangan. Jadikan saja sebagai hutang, karena saya takut harta itu malah hilang.’

Orang-orang yang datang kepada Zubair hanya ingin meni-tipkan uangnya, namun Zubair justru ingin agar uang itu dijadi-kan pinjaman saja. Perbedaan antara pinjaman dan titipan jelas sekali. Titipan itu tidak berada dalam tanggung jawab orang yang dititipi, karena ia sekedar menerima amanah. Artinya, ia tidak bertanggungjawab, kecuali kalau dia teledor atau melakukan pe-langgaran. Sementara hutang itu berada di bawah tanggung jawab peminjam. Namun sebagai imbalannya, si peminjam boleh meng-gunakan uang tersebut.

Terkadang ada orang yang diserahi tanggung jawab me-megang uang anak-anak yatim. Ia berpandangan bahwa demi kemaslahatan mereka, lebih baik uang itu dipinjamkan kepada orang kaya untuk disimpan. Sama halnya bila ia ingin mentransfer uang itu ke negeri lain, lalu ia berpandangan lebih baik memin-jamkan uang itu kepada orang kaya, untuk kemudian dibayar di negeri yang menjadi tujuan, sehingga ia selamat dari berbagai bahaya saat membawa uang tersebut. Hal itupun disyariatkan.

Asal dari pinjaman adalah sebuah perjanjian belas kasih, dan manfaat uang pinjaman itu untuk kepentingan orang yang me-minjam. Namun terkadang yang menjadi kenyataan tidak seperti itu. Hal itu bisa kita cermati.

Bunga Bank

Kalau sudah terbukti bahwa deposito bank pada hakikatnya adalah pinjaman, maka segala bunga yang dibayarkan oleh bank adalah riba yang diharamkan oleh nash-nash yang diturunkan untuk mengharamkan riba dan mengancam pelakunya dengan perang melawan Allah dan RasulNya. Demikianlah yang menjadi keputusan Ijma’ Muktamar Islam dan berbagai Lembaga Peng-kajian Fikih Modern.

Adanya Ijma’ Terhadapnya Haramnya Bunga Bank

Para ulama syariat telah bersepakat bahwa bunga hutang sebagai kompensasi dari perpanjangan waktu pembayaran adalah riba yang jelas dan tegas yang memang diharamkan oleh al-Qur’an semenjak pertama kali diturunkan untuk mengharamkan riba. Itulah bentuk aplikasi riba yang tersebar di masa jahiliyah namun dimodernisasikan oleh bank-bank modern sekarang ini.

Kalau sebelumnya kita telah menukil ijma’ para ulama terdahulu tentang haramnya bunga tersebut, maka kita tinggal menyebutkan kesepakatan berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih dan berbagai Muktamar Islam Modern untuk mementahkan segala bantahan dan untuk memutuskan jalan menuju perbuatan munkar yang berat ini.

Keputusan Lembaga Pengkajian Fiqih yang terikut dalam Organisasi Muktamar Islam:

Lembaga Pengkajian Fiqih muktamarnya yang kedua di Jeddah 10-16 Rabiuts Tsani 1406 H. Bertepatan dengan 22-28 Sepetember 1985 M. Memutuskan sebagai berikut:
1. Setiap keuntungan atau bunga dari hutang yang telah jatuh tempo pembayaran dan pihak yang berhutang tidak mampu melunasinya, sebagai kompensasi dari penangguhan waktu pem-bayarannya, demikian juga dengan keuntungan atau bunga pinjaman dari semenjak awal perjanjian, keduanya adalah dua bentuk riba yang diharamkan oleh syariat Islam.
2. Kompensasi yang diberikan terhadap modal yang me-ngalir dan bantuan terhadap kegiatan ekonomi dengan cara yang diridhai oleh Islam, adalah hubungan kerja yang relevan dengan hukum-hukum syariat, apalagi yang sudah dikeluarkan kepu-tusannya oleh Lembaga Fatwa tertentu berkaitan dengan semua bentuk aktivitas yang dilakukan oleh bank-bank Islam dalam realitas yang berlangsung.
3. Lembaga memutuskan pemberian dukungan kepada pe-merintahan Islam yang telah memberikan semangat bank-bank Islam yang telah berdiri dan memberikan suntikan dana agar bank-bank semacam itu bisa didirikan di setiap negeri Islam untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin, agar seorang tidak hidup dalam suasana kontradiktif antara realita dengan tuntutan aqidahnya.

Keputusan Lembaga Pengkajian Fiqih yang Terikut dalam Rabithah al-Alam al-Islami:

Lembaga ini pada seminarnya yang kesembilan yang diadakan oleh Rabithah al-Alam al-Islami di Makkah al-Mukar-ramah pada rentang waktu 12-19 Rajab 1406 H. Telah meneliti soal berkembangnya bank-bank riba dan antusias masyarakat bekerja sama dengan bank-bank itu dan ketidakadaan alternatif lain seba-gai penggantinya. Itulah yang menjadi penyebab persoalan itu diangkat ke lembaga tersebut oleh Doktor al-Amin al-Aam wakil kedua lembaga itu sendiri.

Lembaga dengan khidmat mendengarkan penuturan seluruh anggota seputar persoalan yang penting ini, persoalan yang menyentuh hal-hal yang amat jelas keharamannya, terbukti dengan dalil Kitabullah, Sunnah dan Ijma’, bahkan sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Seluruh kaum muslimin bahkan telah bersepakat bahwa hal tersebut (riba), termasuk salah satu dari tujuh hal yang membinasakan. Allah telah mengancam para pelakunya dengan perang melawan Allah dan RasulNya:
Artinya,”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279).
Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi a:
“Beliau melaknat pemakan riba, yang diberi makan riba, penulis-nya dan kedua saksinya. Beliau menyatakan, “Mereka semuanya sama.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah a ber-sabda:
“Kalau perzinaan dan riba sudah mewabah di satu negeri, berarti para penduduknya telah mengizinkan diri mereka menerima siksa Allah r.”

Berbagai penelitian ilmiah di bidang perekonomian modern telah membuktikan bahwa riba itu adalah bahaya laten bagi per-ekonomian dan politik dunia, bahkan etika dan keselamatan dunia secara umum. Adapun keberadaan riba sebagai biang keladi yang ada di belakang berbagai resesi yang melanda dunia sekarang ini, dan bahwasanya hanya ada satu cara untuk mengatasinya yakni mencabut riba sampai ke akar-akarnya, dari tubuh dunia ini, maka hal itu sudah didahului oleh Islam dari semenjak empat belas abad yang lalu.

Termasuk di antara karunia Allah bahwa kaum muslimin mulai bisa mengembalikan kepercayaan diri mereka dan kesa-daran mereka terhadap kepentingan mereka, sebagai refleksi kesa-daran mereka terhadap ajaran agama mereka. Maka berubahlah pemikiran yang selama ini menggambarkan sebuah kehancuran jati diri di hadapan kemodernan dunia barat dan aturan kapita-lisme. Sehingga pada suatu hari ada di antara mereka yang lemah jiwa itu yang berusaha mementahkan nash-nash yang tegas sede-mikian rupa demi menghalalkan yang diharamkan Allah dan RasulNya.

Kita telah menyaksikan berbagai muktamar dan seminar ekonomi yang diadakan di berbagai negeri Islam dan bahkan juga di luar di dunia Islam, yang akhirnya memutuskan mengharamkan bunga-bunga riba serta mengupayakan diwujudkannya alternatif yang disyariatkan untuk menggantikan posisi bank-bank dan berbagai badan usaha yang berbasis riba.

Muncullah langkah-langkah kongkrit yang penuh berkah, yakni didirikannya bank-bank Islam yang bebas dari riba dan berbagai sistem kerja yang dilarang menurut syariat. Di mulai dalam skala kecil kemudian makin lama semakin menjadi besar. Di mulai dengan sedikit, lama kelamaan menjadi banyak, se-hingga jumlahnya sekarang baik di negeri-negeri Islam maupun di negara-negara non Islam mencapai lebih dari sembilan puluh bank.

Dengan demikian, kelirulah klaim kalangan sekular dan korban propaganda kebudayaan barat yang berkeyakinan bahwa di suatu masa, amatlah mustahil menerapkan syariat Islam dalam dunia ekonomi. Karena tidak ada ekonomi tanpa bank dan tidak ada bank tanpa riba.

Allah memberikan taufik kepada sebagian negeri-negeri Islam seperti Pakistan misalnya, untuk merubah bank-bank nasio-nalnya menjadi bank-bank Islam yang tidak menggunakan bunga riba, baik dalam bentuk pengambilan atau pemberian. Mereka juga menuntut kepada bank-bank asing untuk mengubah sistem mereka agar sesuai dengan orientasi negeri tersebut. Kalau tidak, bank-bank asing itu tidak akan mendapatkan tempat. Itu meru-pakan kebiasaan sesuai sunnah yang baik sekali. Mereka akan mendapatkan pahalanya dan pahala setiap negara Islam yang mengikuti langkah mereka, insya Allah.

Dari sinilah, maka Lembaga Pengkajian Islam memutuskan:
Pertama: Seluruh kaum muslimin harus segera mening-galkan apa yang dilarang oleh Allah seperti menggunakan sistem riba untuk mengambil atau memberikan bunga, menolong sistem tersebut dengan cara apapun; sehingga siksa Allah tidak akan menimpa mereka dan merekapun tidak membiarkan diri mereka untuk terancam perang melawan Allah dan RasulNya.

Kedua: Lembaga memandang dengan mata senang dan penuh suka cita kepada berdirinya berbagai bank Islam yang merupakan alternatif yang disyariatkan sebagai pengganti dari bank-bank riba. Yang dimaksud dengan bank-bank Islam itu adalah setiap bank yang secara konstitusional berpegang pada hukum-hukum syariat Islam yang penuh antusias terhadap kebutuhan umatnya dalam berbagai sistem kerja bank tersebut. Bank itu juga mengharuskan sistem manajemennya memiliki sistem pengawasan syariat yang kokoh. Lembaga menghimbau kaum muslimin di segala tempat untuk mendukung bank-bank Islam itu dengan sekuat tenaga tanpa perlu mendengarkan berbagai propaganda busuk yang berusaha menghalang-halanginya dan memperburuk citranya dengan cara yang haram.

Lembaga menilai perlunya perluasan dalam pembentukan bank-bank seperti itu di segala penjuru negeri-negeri Islam, atau di manapun ada komunitas kaum muslimin, meskipun mereka berada di luar negeri Islam. Sehingga bank-bank itu memiliki jaringan yang kuat yang dapat mempersiapkan sebuah perekono-mian Islam yang multikompleks.

Ketiga: Lembaga mengharamkan setiap muslim yang masih bisa melakukan hubungan kerja dengan bank Islam untuk ber-hubungan dengan bank-bank riba di dalam dan di luar negeri. Karena ia tidak memiliki alasan lagi untuk melakukan hubungan dengan bank-bank itu selama masih ada alternatif yang disya-riatkan. Hendaknya ia segera menggali yang busuk dengan baik, mencukupkan diri dengan yang halal sehingga tidak memerlukan yang haram.

Keempat: Setiap uang yang diperoleh melalui bunga riba adalah uang haram menurut syariat, tidak boleh digunakan oleh seorang muslim, menjadi simpanan pribadi atau untuk orang yang wajib dinafkahinya dalam segala urusannya. Uang itu harus digunakan untuk kemaslahatan umum bagi kaum muslimin, untuk membangun sekolahan, rumah sakit dan sejenisnya. Namun itu bukan termasuk sedekah, namun hanya merupakan pem-bersihan harta dari yang haram saja.

Namun juga tidak dibolehkan meninggalkan bunga-bunga di bank-bank riba untuk memperkuat diri dan menambah dosa bank-bank itu di luar sana. Karena biasanya uang itu akan digu-nakan untuk usaha-usaha Kristenisasi dan Zionisme. Dengan cara itu, harta kaum muslimin berubah menjadi senjata untuk meme-rangi kaum muslimin sendiri dan menyesatkan generasi mereka dari aqidah yang benar. Perlu diketahui, bahwa seorang muslim tidak boleh terus bekerjasama dengan bank-bank riba itu, dengan atau tanpa bunga. Lembaga juga menuntut para pendiri bank-bank Islam untuk mengambil kader-kader yang masih bersih dari bank-bank tersebut yang masih bisa digunakan, lalu dikuasai, ditempa dan diberi penyadaran terhadap hukum-hukum Islam serta adab-adab yang benar, sehingga segala sistem kerja dan aktivitas mereka bersesuai dengan hukum-hukum Islam yang ada.

Allah adalah Penolong yang selalu memberikan taufik. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada penghulu kita Nabi Muhammad, sanak keluarga beliau serta para Sahabat beliau.

Keputusan Lembaga Pengkajian Islam:

Muktamar Lembaga Pengkajian Islam yang diadakan di Kairo 1385 H. Yang dihadiri oleh kalangan budayawan dan per-wakilan dari tiga puluh lima negara Islam memutuskan sebagai berikut:

Semua bentuk bunga pinjaman adalah riba yang diharam-kan. Tidak ada bedanya antara pinjaman konsumtif atau pinjaman produktif. Karena nash-nash dari Kitabullah dan As-Sunnah secara kolektif dan tegas mengharamkan kedua jenis pinjaman tersebut.

Riba dengan kuantitas besar maupun kecil sama haramnya. Itu dapat terindikasikan melalui pemahaman yang benar terha-dap firman Allah: Artinya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba secara berlipat-lipat ganda.”

Meminjamkan dengan sistem riba adalah haram, tidak bisa dibenarkan baik dalam kondisi mendesak ataupun darurat. Me-minjam dengan sistem riba juga haram, dan hanya tidak berdosa bila dilakukan dalam kondisi darurat. Dan masing-masing orang diserahkan kepada kualitas agamanya dalam menentukan kadar kedaruratan tersebut.

Segala bentuk pekerjaan bank, seperti pembukaan rekening, penukaran cek, penulisan surat-surat kuasa, sistem administrasi lokal yang dijadikan dasar kerja oleh kalangan pedagang dan bank dalam negeri, semua itu termasuk jenis sistem kerja bank yang diperbolehkan. Keuntungan yang diambil dari semua jenis pekerjaan itu bukanlah termasuk riba.

Sistem rekening berjangka, membuka giro dengan bunga dan berbagai jenis pinjaman yang mengambil imbalan berupa bunga adalah sistem kerja riba yang diharamkan.

Cara Memfungsikan Bunga-bunga Bank

Dalam kaidah umum ditegaskan bahwa uang haram itu tidak harus dikembalikan dan tidak layak dimakan.

Uang haram yang diperoleh dengan kerelaan yang membe-rikannya, sementara si pemberi juga sudah mendapatkan imbalan yang juga haram, seperti orang yang menerima uang dari menjual minuman keras, babi atau melacur dan berbuat maksiat, uang itu tidak wajib dikembalikan kepada yang telah memberikannya sehingga tidak menggabungkan antara imbalan dengan pemba-yarannya menjadi miliknya semua. Karena dengan demikian berarti membantunya untuk melakukan perbuatan dosa dan per-musuhan. Namun uang itupun tidak halal dimakan oleh yang memperolehnya, karena itu uang kotor. Sehingga yang harus dila-kukan adalah menghindarinya dengan membelanjakannya untuk kepentingan umum. Si pelaku akan mendapatkan pahala karena memelihara diri dari yang haram dan menghindari yang haram demi mendapatkan keridhaan Allah, bukan pahala sedekah. Kare-na Allah itu baik dan tidak akan menerima yang tidak baik.

Berbagai bunga riba juga jangan dibiarkan menjadi milik bank-bank riba sehingga bank-bank itu tidak semakin kuat kare-nanya untuk melakukan berbagai usaha haram bahkan meng-arahkan dana itu untuk memerangi Islam dan kaum muslimin. Namun yang memegang uang itu juga haram menggunakanya, karena itu hasil usaha kotor. Sehingga yang harus dilakukan adalah menghindarinya dengan membelanjakannya untuk kepen-tingan umum. Seluruh muktamar Islam dan berbagai lembaga pengkajian fiqih di dunia modern sekarang ini telah memutuskan demikian.

Sementara dalam keputusan Lembaga Pengkajian Fiqih yang terikut dengan Rabithah al-Alam al-Islami yang diadakan di Mekkah al-Mukarramah pada bulan Rajab tahun 1406 H tersebutkan hal-hal berikut:

Kelima: Segala keuntungan yang berasal dari bunga riba adalah uang haram menurut syariat, tidak boleh digunakan oleh seorang muslim, menjadi simpanan pribadi atau untuk orang yang wajib dinafkahinya dalam segala urusannya. Uang itu harus digunakan untuk kemaslahatan umum bagi kaum muslimin, untuk membangun sekolahan, rumah sakit dan sejenisnya. Namun itu bukan termasuk sedekah, namun hanya merupakan pem-bersihan harta dari yang haram saja.

Namun juga tidak dibolehkan meninggalkan bunga-bunga di bank-bank riba untuk memperkuat diri dan menambah dosa bank-bank itu di luar sana. Karena biasanya uang itu akan digu-nakan untuk usaha-usaha Kristenisasi dan Zionisme. Dengan cara itu, harta kaum muslimin berubah menjadi senjata untuk meme-rangi kaum muslimin sendiri dan menyesatkan generasi mereka dari aqidah yang benar. Perlu diketahui, bahwa seorang muslim tidak boleh terus bekerjasama dengan bank-bank riba itu, dengan atau tanpa bunga. Lembaga juga menuntut para pendiri bank-bank Islam untuk mengambil kader-kader yang masih bersih dari bank-bank tersebut yang masih bisa digunakan, lalu dikuasai, ditempa dan diberi penyadaran terhadap hukum-hukum Islam serta adab-adab yang benar, sehingga segala sistem kerja dan aktivitas mereka bersesuaian dengan hukum-hukum Islam yang ada.

Allah adalah Penolong yang selalu memberikan taufik. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada penghulu kita Nabi Muhammad, sanak keluarga beliau serta para Sahabat beliau.

Dalam fatwa dan saran-saran Dewan Ulama di muktamar kedua tentang bank Islam yang diadakan di Kuwait pada bulan Jumadil Akhir tahun 1403, ditegaskan sebagai berikut:

Dewan menyarankan para investor Islam untuk meng-arahkan modal mereka terlebih dahulu kepada bank-bank Islam, badan-badan usaha dan perusahaan Islam di negeri Arab atau di negeri-negeri Islam lainnya, baru di negeri-negeri lain. Sampai semua usaha itu berjalan dengan sempurna, segala bunga yang mereka peroleh tetap merupakan hasil kotor. Mereka harus menyelamatkan diri dan menghindarinya serta membelanja-kannya untuk kepentingan umum kaum muslimin. Bersikap terus menitipkan dana ke pada bank-bank dan badan usaha riba sementara upaya di atas masih bisa dilakukan, dianggap sebagai usaha yang haram menurut syariat.

Sementara dalam seminar ke lima tentang problematika zakat kontemporer yang diadakan di Bahrain pada bulan Syawal ditegaskan sebagai berikut:

Uang haram itu tidak dikembalikan kepada yang mem-berikannya, kalau orang itu masih terus melakukan sistem kerja haram, bukan pekerjaan halal yang dapat menjaga kesucian harta, seperti bunga riba misalnya. Akan tetapi uang itu harus dibelan-jakan di jalan-jalan kebaikan (untuk kepentingan umum).

Berbagai Orientasi Kontemporer dalam Upaya Melegal-kan Bunga Riba
Sebagian penulis membuat kekacauan seputar haramnya bunga bank ini. Mereka berupaya melegalitasnya secara dengan melakukan pendekatan fiqih yang semrawut. Kita sebutkan di antaranya sebagai berikut:

Klaim Adanya Perbedaan Antara Riba Hutang Konsumtif dengan Riba Hutang Produktif
Pengkajian itu bersandar pada keyakinan bahwa riba yang diharamkan adalah riba pinjaman konsumtif, di mana orang kaya memanfaatkan kebutuhan orang miskin. Itulah riba yang banyak tersebar di masa jahiliyah. Namun kalau hutang atau pinjaman itu bersifat produktif, yakni memiliki target untuk mencari keuntungan atau menambah jumlah kekayaan seperti halnya kebanyakan pinjaman bank di masa modern ini, maka dapat dipastikan bahwa hukumnya adalah boleh, berdasarkan perbuatan kondisi dan karena hilangnya unsur pemanfaatan keterdesakan pihak lain dan unsur menyulitkan.

Pandangan tersebut dapat ditanggapi sebagai berikut:
Keumuman nash yang diriwayatkan sehubungan dengan diharamkannya riba tanpa membedakan antara riba pinjaman konsumtif atau riba pinjaman produktif.

Kenyataan sejarah pinjaman ala jahiliyah membuktikan bahwa kebanyakan pinjaman itupun dalam upaya pengembangan modal. Orang-orang Arab di masa jahiliyah memiliki dua metoda dalam mengembangkan harta mereka: Peminjaman untuk inves-tasi, yakni dengan cara menyerahkan harta itu kepada orang yang pandai berdagang dengan mengambil prosentase keuntungannya. Atau dengan pinjaman biasa. Yakni dengan cara meminjam-kannya kepada orang lain dengan bunga yang ditentukan dari awal akad. Lalu Islam datang, membenarkan metode pertama dan mengharamkan metode kedua.
Bahwasanya hadits:
“Beliau melaknat pemakan riba, yang diberi makan riba, penulis-nya dan kedua saksinya. Beliau menyatakan, “Mereka semuanya sama.”

Hadits ini membantah adanya pembedaan tersebut dan juga membantah orang yang berkeyakinan bahwa riba yang berkem-bang di masa jahiliyah adalah riba pinjaman konsumtif. Karena kalau memang itu benar sekalipun, Rasulullah tidak akan melaknat yang diberi makan riba. Karena ia memakannya dalam kondisi terpaksa. Seharusnya laknat itu hanya berlaku pada orang yang memakan hasilnya, penulis dan dua saksinya saja.

Hanya Mengharamkan Riba Berat Saja

Pengkajian ini bersandar pada pemahaman yang keliru terhadap firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130).

Mereka beranggapan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda saja. Adapun riba yang sedikit jum-lahnya tidak menjadi masalah.

Pendapat ini dapat ditanggapi sebagai berikut:
‘Berlipat ganda’ yang disebutkan dalam ayat itu merupakan kriteria riba yang ada pada waktu itu, namun bukan merupakan syarat, sebagaimana ketika Allah menjelaskan tentang wanita-wanita muhrim:
“…anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri…” (An-Nisa’: 23).

Tidak syak lagi, bahwa firman Allah “..dalam pemeliharaan kamu..” adalah kriteria dari yang biasa terjadi, bukan merupakan syarat menjadi muhrim. Karena anak tiri itu bagaimanpun adalah muhrim, meskipun antara kelahirannya dengan pernikahan ibunya amat lama sekali.

Dalil yang menegaskan hal itu adalah nash-nash yang secara lugas menjelaskan haramnya riba yang sedikit apalagi banyak, seperti firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279).
Ayat ini termasuk deretan ayat-ayat al-Qur’an yang terakhir diturunkan.

Klaim Bahwa Bunga Itu Adalah Imbalan dari Biaya Operasional dan Biaya Lain

Bank biasanya menyewa gedung, membayar gaji karyawan, mengeluarkan biaya penyimpanan file dan arsip. Dengan realitas semacam ini, tidaklah salah bila pihak bank mengambil bunga dalam proses peminjaman untuk menutupi semua biaya tersebut.

Pernyataan itu dapat ditanggapi sebagai berikut:
Bahwa bunga itu berulang-ulang setiap tahunnya sepanjang masa peminjaman. Kalau benar itu hanya merupakan imbalan biaya operasional, tentu hanya diambil pada tahun pertama saja, tidak terus diambil secara berulang-ulang sebanyak jasa pela-yanan yang diberikan.

Ternyata jumlah bunga itu juga berbeda-beda tergantung pusat pemberi pinjaman, lama masa pinjaman dan jaminan yang diberikan. Kalau benar hanya merupakan pengganti biaya operasional, tentunya harganya sama dalam kondisi apapun.

Kalau pernyataan ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk melegalisasi bunga bank itu karena dianggap untuk menutupi biaya operasional, lalu bagaimana bunga dari uang yang diberi-kan oleh para nasabah kepada pihak bank? Secara logika tentunya pihak bank juga mengambil upah sebagai kompensasi dari kerja bank menjaga dan memelihara uang tersebut, bukan malah memberikan bunga kepada para pemilik uang itu?

Deposito Non Bunga Di Bank-bank Riba

Sebagian kalangan religius dan orang-orang shalih yang biasa mengadakan hubungan kerja dengan bank, menitipkan dana mereka di berbagai rekening tanpa bunga, untuk menghindari bunga riba dari bank. Mereka melihat bahwa sikap itu adalah jalan keluar yang bijak untuk memanfaatkan jasa bank dan men-jauhkan mereka dari dosa dan keburukan bank-bank tersebut.

Namun cara itu belumlah dituntut oleh kedaruratan atau kebutuhan mendesak sehingga tidak bisa melepaskan pelakunya dari dosa, tidak mengeluarkannya dari hukum asal. Hal itu berdasarkan alasan-alasan berikut:

Karena kalaupun dengan cara itu mereka bisa selamat dari memakan riba, namun mereka belum selamat dari perbuatan menolong orang yang memakan riba, memberikan kemampuan kepada mereka untuk memperkuat aktivitas riba mereka. Karena pihak bank tidak sekedar menaruh deposito tersebut dalam brangkas-brangkas besi untuk suatu saat dikembalikan lagi kepa-da para pemiliknya pada saat yang ditentukan. Justru pihak bank akan mencampurkan uang itu dengan uang milik bank untuk digunakan dalam pemberian pinjaman-pinjaman berbunga, untuk kemudian menikmati sendirian bunga-bunga tersebut secara bersih, tanpa diganggu orang lain!

Pihak bank tidak mencukupkan diri dengan transaksi pinjam meminjam sebatas jumlah dana yang dititipkan kepada mereka semata, namun mereka menggunakan satu sistem yang bisa disebut dengan “Money Creator”, yakni sistem canggih yang memungkinkan pihak bank untuk membuat perjanjian pemin-jaman melebihi kuantitas dana deposito yang dititipkan kepadanya hingga berkali-kali lipat. Salah seorang ekonom telah menetapkan parameter yang mematok ‘ukuran keseluruhan’ dari kemampuan deposito dibandingkan dengan jumlah deposito sesungguhnya dalam ‘hukum sistem’ ini:

Ukuran keseluruhan dari kemampuan deposito = jumlah deposito asli yang ‘dibalik’ menjadi seperti perbandingan dengan dana cadangan (cadangan adalah seperlima dana asli, sementara kemampuan deposito yang dikembangkan menjadi lima kali jum-lah dana asli, pent.).

Artinya, bahwa apabila pihak bank menyimpan 20 persen dari dana yang dicadangkan untuk mengantisipasi adanya ber-bagai permintaan penukaran uang yang datang secara tiba-tiba, berarti pihak bank mampu memberikan pinjaman bunga lima kali lipat dari total deposito yang ada dalam kasnya. Jadi deposito yang dititipkan kepada pihak bank itu untuk menjalankan aktivitas peminjamannya bisa diibaratkan nadi kehidupannya, kalau tanpa deposito bank bisa langsung menghembuskan nafas terakhir, atau mendekati kehancurannya.