Aliran ini mengamalkan nikah mut’ah, pernikahan kontrak dengan jangka waktu tertentu, pengikut aliran ini meyakini bahwa perbuatan ini merupakan salah satu ibadah mulia dengan pahala yang besar.

Mengamalkan pernikahan ini berarti mengamalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh Rasulullah saw dalam hadits-hadits beliau yang shahih, bahkan sebagian dari hadits tersebut diriwayatkan dari Imam nomor wahid mereka yaitu Ali bin Abu Thalib, diharamkannya pernikahan ini sudah menjadi ijma’ dan kesepakatan para ulama kaum muslimin selain Syi’ah, itu kalau mereka muslimin, jika pernikahan ini terbukti diharamkan maka bagaimana mungkin ia merupakan ibadah yang mulia dengan pahala besar?

Di antara hadits-hadits yang mengharamkan pernikahan ini adalah:

Dari Ali bin Abu Thalib berkata, “Rasulullah saw melarang mut’ah pada tahun Khaibar.” (Muttafaq alaihi).

Darinya bahwa Nabi saw melarang mut’ah dan makan daging keledai pada tahun Khaibar. (HR. Imam yang tujuh selain Abu Dawud).

Dari Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Rasulullah saw mengizinkan mut’ah pada tahun Authas selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” (HR. Muslim).

Dari Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat, barang siapa masih terkait dengan sesuatu darinya maka hendaknya dia melepaskannya dan janganlah kalian mengambil apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa`i, Ibnu Majah dan Ahmad).

Terlepas dari perbedaan di kalangan para ulama tentang kapan pernikahan ini diharamkan, ada yang berkata, pada tahun Khaibar lalu ia diizinkan lagi lalu diharamkan pada tahun Fathu Makkah, yaitu tahun Authas, untuk selama-lamanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi, ada pula yang berkata bahwa ia diharamkan pada tahun Fathu Makkah, sebagaimana ia dikatakan oleh Ibnul Qayyim, terlepas dari perbedaan ini, para ulama telah bersepakat bahwa ia diharamkan untuk selama-lamanya.

Imam al-Khatthabi berkata, “Pengharamannya merupakan ijma’ kaum muslimin, tidak tersisa perbedaan di antara umat, selain ucapan yang diikuti oleh sebagian Rafidhah.”

Setelah ini apa yang akan dikatakan oleh para penganut aliran ini di hadapan hadits-hadits di atas di mana salah satunya diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib sendiri? Apapun, bisa dipastikan bahwa yang berbicara adalah nafsu.

Aliran ini juga terkenal dengan prinsip taqiyahnya yang jika dicermati maka ia sama dengan dusta, hanya saja mereka menyamarkannya dengan nama taqiyah, sudah menjadi kebiasaan, jika kebatilan ditampilkan apa adanya maka ia akan dimuntahkan oleh orang-orang, supaya tidak terjadi seperti itu maka ia harus dibungkus dengan bungkusan yang menarik untuk mengecoh orang-orang bodoh, dan dalam batas tertentu meraka berhasil.

Ada baiknya pembaca mencermati ucapan salah seorang cucu Ali bin Abu Thalib yaitu al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib tentang taqiyah ini.

Al-Hafizh Ibnu Asakir 4/165 meriwayatkan bahwa al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sibth bin Ali bin Abu Thalib berkata kepada seorang laki-laki dari Rafidhah, “Demi Allah, jika Allah memberikan kekuasaan kepada kami atas kalian niscaya kami memotong tangan dan kaki kalian, kemudian kami tidak menerima taubat dari kalian.” Seorang laki-laki bertanya, “Mengapa engkau tidak menerima taubat dari mereka?” Dia menjawab, “Kami lebih mengetahui mereka daripada kalian. Sesungguhnya jika mereka itu berkehendak niscaya mereka membenarkan kalian dan jika mereka berkehendak niscaya mereka mendustakan kalian dan mereka mengklaim bahwa hal tersebut benar bagi mereka dalam taqiyah. Celaka kamu, taqiyah itu adalah rukhshah (keringanan) bagi seorang muslim. Jika dia terpaksa dan takut kepada sultan, dia menampakkan apa yang berbeda dengan apa yang ada di dalam jiwanya demi melindungi dzimmah Allah, ia bukan termasuk keutamaan, karena keutamaan itu adalah pada penegakan terhadap perintah Allah dan mengatakan yang benar. Demi Allah, taqiyah tidak diberikan kepada seorang hamba dari hamba-hamba Allah untuk menyesatkan hamba-hamba Allah.”

Kita tidak memungkiri adanya prinsip taqiyah, bahwa ia di pakai pada saat seseorang takut terhadap kekuatan di luar kemampuannya, seperti yang dikatakan oleh al-Hasan al-Mutsanna di atas. Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah, “Kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari meriwayatkan.” (Ali Imran: 28), beliau berkata, “Kecuali orang yang takut di sebagian negara atau sebagian waktu dari keburukan mereka, maka dia boleh berlindung dari mereka dengan lahirnya bukan dengan batin dan niatnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Bukhari dari Abu ad-Darda`, “Sesungguhnya kami bersikap ramah di depan suatu kaum padahal hati kami melaknta mereka.”

Berbeda dengan penerapan taqiyah oleh para pengikut aliran ini di mana mereka menggunakannya secara luas dan bebas kapan mereka ingin dan dalam kondisi apapun, sehingga mereka memakai kedustaan dan mengatakannya taqiyah, bahkan apa yang dilakukan oleh orang-orang mulia yang menurut mereka adalah para Imam seperti Ali bin Abu Thalib dan putra-putranya, mereka kategorikan sebagai taqiyah, misalnya ketika dikatakan, kalau memang benar Nabi saw telah berwasiat untuk Ali bahwa yang bersangkutan merupakan khalifah pengganti beliau setelah beliau wafat, lalu mengapa Ali diam saja pada saat para sahabat menyepakati Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Usman sebagai penerus Rasulullah saw? Maka orang-orang itu akan menjawab, Ali diam karena taqiyah. Kata-kata buruk yang mereka nisbatkan kepada Ali bin Abu Thalib yang kesohor dengan keberanian dan kejantanannya. Sebenarnya mereka itu ingin mengangkatnya atau merendahkannya? Seburuk-buruk kaum adalah mereka yang menjadikan dusta sebagai dasar bagi agama mereka.