Menjauhi prasangka buruk terhadap seorang muslim adalah sebuah kebaikan dan itu memang sudah menjadi haknya yang tidak patut untuk dirampas atau dikurangi, pada saat yang sama seseorang tidak patut membuka peluang prasangka buruk dari orang lain terhadap dirinya dengan meletakkan dirinya pada posisi, kondisi dan situasi yang mungkin memicu hal itu, sekali pun dia tidak seperti yang dikira, tetapi orang-orang lebih cepat merespon selentingan kurang sedap daripada sebaliknya, bukankah api yang besar berawal dari percikan-percikannya yang kecil? Jika seseorang tidak cermat membawa diri, tidak pintar berposisi dan tidak bijak bertindak maka dia akan menghadapi problem di mana ia sama sekali tidak berguna baginya, semestinya dia bisa beristirahat darinya, seperti yang berikut ini:

Ibnu Abdi Rabbihi dalam al-Iqd al-Farid menceritakan tentang Hindun binti Utbah, bahwa al-Fakih bin al-Mughirah al-Makhzumi, salah seorang pemuda Quraisy menikah dengan Hindun binti Utbah ini, al-Fakih mempunyai rumah singgah untuk para tamu, mereka masuk ke dalamnya tanpa perlu meminta izin, suatu hari al-Fakih tidur di rumah itu dan Hindun bersamanya, lalu al-Fakih keluar dan meninggalkan Hindun yang sedang tidur, lalu datanglah salah seorang dari orang-orang yang biasa mendatangi rumah itu, ketika dia mendapatkan Hindun sedang tidur, dia langsung keluar meninggalkan rumah itu, al-Fakih melihat laki-laki tersebut, dia membangunkan Hindun dan bertanya, “Siapa laki-laki yang baru saja keluar dari sisimu?”

Hindun menjawab, “Demi Allah aku tidak mengetahui apa-apa sebelum engkau membangunkanku.” Al-Fakih berkata, “Pulanglah kepada bapakmu.” Maka orang-orang membicarakan perkara itu. Bapak Hindun berkata, “Putriku, aib walaupun dusta, katakan perkaramu kepadaku, jika dia jujur maka aku akan mengirim orang untuk menghabisinya sehingga aib ini terhenti darimu, jika dia dusta maka aku akan memperkarakannya kepada sebagian dukun Yaman.” Hindun menjawab, “Demi Allah wahai ayah, dia dusta.”

Utbah menemui al-Fakih, dia berkata, “Kamu telah menuduh putriku dengan sesuatu yang berat, buktikan ucapanmu atau aku akan memperkarakanmu kepada sebagian dukun Yaman.” Al-Fakih menjawab, “Terserah.”

Maka al-Fakih berangkat diiringi beberapa orang Quraisy dan beberapa wanita Bani Makhzum, sementara Utbah berangkat diiringi beberapa orang laki-laki dan perempuan dari Bani Abd Manaf, ketika mereka hampir tiba di kota sang dukun, wajah Hindun berubah pucat, bapaknya berkata kepadanya, “Putriku, mengapa tidak sebelum ini pada saat orang-orang belum mengetahui keberangkatan kita.”

Hindun menjawab, “Bapakku, demi Allah, hal ini bukan karena kesalahan dari diriku, akan tetapi kalian mendatangi seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, bisa jadi dia akan memberiku sebuah cap yang selalu dikenang oleh orang-orang Arab.”

Bapaknya berkata, “Kamu berkata jujur, akan tetapi aku akan mengabarkannya untukmu.” Lalu bapak Hindun bersiul memanggil kudanya, ketika ia mendekat dia mengambil satu biji gandum dan memasukkannya ke dalam jalan kencing kuda tersebut lalu dia mengikatnya dan melanjutkan perjalanan, ketika mereka tiba pada sang dukun, sang dukun menghormati mereka dan menyembelih untuk mereka.

Utbah berkata kepada dukun, “Kami datang kepadamu dengan suatu perkara, kami telah menyembunyikan sesuatu untukmu, katakan apa itu?” Dukun menjawab, “Satu biji gandum di suatu tempat.” Utbah berkata, “Aku ingin kepastian ia di mana?” Dukun menjawab, “Satu biji gandum di saluran kencing kuda.” Utbah berkata, “Kamu benar, selanjutnya lihatlah perkara para wanita ini.”

Lalu dukun itu mulai mengusap kepala para wanita satu per satu sambil berkata, “Bangkitlah untuk urusanmu.” Ketika dukun itu tiba pada Hindun, dia mengusap kepalanya dengan tangannya dan dia berkata, “Berdirilah kamu, kamu bukan wanita buruk dan bukan pula pezina. Kamu akan melahirkan seorang raja yang bernama Muawiyah.” Ketika Hindun keluar, al-Fakih memegang tangannya tetapi Hindun menepisnya, Hindun berkata, “Menjauhlah dariku, aku akan melahirkan anak itu bukan darimu.” Maka Hindun dinikah oleh Abu Sufyan dan dia melahirkan Muawiyah yang akhirnya menjadi raja Islam terbaik.

Seandainya Hindun tidak tidur di tempat itu sepeninggal suaminya niscaya dia tidak perlu berlelah-lelah menghadapi omongan sebagian orang dan dia juga tidak perlu pergi ke dukun Yaman. Tetapi itulah, manakala seseorang kurang berhati-hati dalam bertindak. (Izzudin Karimi)