Di dalam rumah tangga terdapat hubungan dan keterkaitan hak dan kewajiban antara suami dengan istri, hak dan kewajiban ini diletakkan secara seimbang dan sejajar di antara suami istri, rumah tangga akan berjalan dan mengalir dengan baik dan lancar jika hak dan kewajiban ini dilaksanakan dan ditunaikan dengan benar dan konsekuen oleh suami dan istri, sebaliknya jika ada pihak dalam rumah tangga yang melalaikan kewajibannya maka secara otomatis ada pihak yang pasti merasa haknya terabaikan, dalam situasi seperti ini rumah tangga sangat riskan terhadap konflik dan perseteruan, penyebabnya adalah ketidakselarasan yang terjadi dalam hak dan kewajiban di antara suami dengan istri.

Dalam praktek di lapangan yang sering menjadi obyek sasaran dengan diabaikannya hak-haknya adalah istri, hal ini disebabkan –salah satunya- oleh kelemahan dari sisi fisik dan kelembutan dari sisi tabiat yang ada pada istri sebagai seorang wanita, sehingga hal ini sering dimanfaatkan oleh sebagian laki-laki yang buruk untuk menzhaliminya dengan tidak menunaikan sebagian dari hak-haknya atau seluruh hak-haknya. Seorang laki-laki datang kepada al-Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku memiliki seorang anak perempuan, kepada siapakah aku menikahkannya?’ Al-Hasan menjawab, “Nikahkanlah kepada orang yang bertakwa, jika dia menyintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika dia tidak menyintainya maka dia tidak menzhaliminya.”

Al-Hasan berkata demikian karena dia memahami posisi wanita dalam rumah tangga dengan baik, dimana dalam salah satu hadits Nabi saw mengibaratkannya sebagai tawanan bagi suaminya, oleh karena itu beliau mewanti-wanti para suami agar memperlakukan istri-istri dengan ma’ruf.

Agama Islam mewajibkan para suami agar memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, firman Allah Taala,

“Dan bergaullah dengan istri-istrimu dengan cara yang patut.” (An-Nisa’: 19)

Nabi saw telah mewasiatkan kepada para sahabat agar mereka saling memberi nasihat berbuat baik kepada para wanita, beliau menganggap bahwa sebaik-baik laki-laki adalah laki-laki yang terbaik bagi istrinya.

Sabda Nabi saw,

اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعِ، وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ، لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ.

“Hendaknya kalian saling berwasiat berbuat baik kepada para wanita, seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, jika kamu meluruskannya maka kamu mematahkannya, jika kamu membiarkannya maka ia senantiasa bengkok, maka hendaknya kalian saling berwasiat berbuat baik kepada para wanita.” (Muttfaq Alaihi dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi saw,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ .

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, at-Tirmidzi berkata,” Hadits hasan shahih.”)

Jika sebaik-baik suami adalah yang terbaik bagi istrinya, maka sebaliknya, suami di mana istrinya mengadu karena perlakuannya yang buruk bukan termasuk sebaik-baik lelaki.

Nabi saw bersabda,

لَقَدْ أَطَافَ بِآلِ بَيْتِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْر يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ .

“Keluarga Muhammad telah dikelilingi wanita-wanita dalam jumlah yang besar, mereka mengadukan suami-suami mereka, para suami itu bukanlah orang-orang terbaik dari kalian.” (HR. Abu Dawud dari Iyas bin Abdullah bin Abu Dzubab. An-Nawawi berkata dalam Riyadh ash-Shalihin, “Sanadnya shahih.”)

Walaupun al-Qur`an telah memerintahkan dan Rasulullah saw telah mewasiatkan berbuat baik kepada istri, akan tetapi tidak jarang kita melihat, mendengar dan membaca tentang para istri yang teraniaya oleh para suami dengan tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya, lebih dari itu para istri tersebut tetap dituntut menunaikan kewajiban-kewajiban mereka.

Inilah bentuk-bentuk kezhaliman dari para suami kepada istri yang sering terjadi.

Mahar

Kezhaliman dari suami kepada istri dalam masalah mahar adalah dengan tidak memberikannya kepadanya, padahal sebelumnya suami telah menjanjikannya dan bahkan mungkin sudah berkumpul dengannya, atau suami sudah menunaikannya kepadanya akan tetapi dia memintanya kembali dengan paksa tanpa kerelaan istri.

Mahar adalah hak murni istri, ia tidak bisa diganggu-gugat oleh suami kecuali jika istri merelakannya untuk suami. Firman Allah,

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4).

Jika suami berhutang mahar kepada istri dan dia berniat tidak membayarnya lalu dia mati dengan niatnya tersebut maka dia mati sebagai seorang pezina di sisi Allah.
Sabda nabi saw,

أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً فَنَوَى أَنْ لاَ يُعْطِيْهًا مِنْ صَدَاقِهَا شَيْئًا مَاتَ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ زَانٍ .

“Laki-laki manapun menikahi seorang wanita lalu dia berniat tidak memberikan maharnya kepadanya, dia mati dengan niat tersebut maka dia mati sebagai seorang pezina.” (HR. at-Thabrani dari Suhaib).