Nafkah

Islam menetapkan bahwa nafkah merupakan hak istri kewajiban suami, walaupun istri berkecukupan dan mampu menafkahi dirinya sendiri, hal ini tetap tidak menggugurkan haknya dalam nafkah selama istri tidak menggugurkannya dari suaminya. Kewajiban nafkah yang harus dipikul oleh suami ini ditetapkan oleh beberapa dalil dari al-Qur`an dan sunnah, di antaranya adalah :

Firman Allah, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233).

Firman Allah, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(Ath-Thalaq: 7).

Sabda Nabi saw dalam hadits Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Muslim, hadits haji yang panjang, beliau menyinggung para wanita dengan sabdanya,

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ.

“Dan untuk mereka atas kalian rizki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”

Dari Hakim bin Muawiyah dari bapaknya berkata, Aku berkata, “Ya Rasulullah, apa hak istri salah seorang diantara kami atasnya?” Rasulullah saw menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا كْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرُبِ الوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّح.

“Hendaknya kamu memberinya makan apabila kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, jangan memukul wajah dan jangan berkata kepadanya, ‘Semoga Allah memperburukmu’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Harta terbaik yang diinfakkan oleh seseorang adalah harta yang dia infakkan kepada keluarganya, infak kepada keluarga mengungguli infak-infak di bidang lainnya.

وعن ابي هريرة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال : قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ : دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلىَ أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلىَ أَهْلِكَ .

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan hamba sahaya, satu dinar yang kamu infakkan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu infakkan kepada keluargamu.”(HR. Muslim)

Hak nafkah untuk keluarga sangat ditekankan dalam Islam, seseorang akan memikul dosa yang tidak ringan jika dia menelantarkan orang yang semestinya dinafkahinya.

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُما قال : قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ : كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ.

Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata, Rasulullah saw bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar apabila dia menyia-nyiakan orang yang seharusnya dia nafkahi.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh an-Nawawi dalam Riyadh ash-Shalihin no. 6/294).

Diriwayatkan oleh Muslim dengan maknanya, Nabi saw bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar jika dia menahan nafkah orang yang wajib dia nafkahi.”

Apabila nafkah tidak diberikan sepenuhnya oleh suami kepada istri sehingga istri dan anak-anaknya kekurangan maka istri diizinkan untuk mengambil dari harta suaminya sebatas yang dibutuhkan dengan cara yang ma’ruf tanpa sepengetahuan suami.

Dari Aisyah berkata, Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan datang kepada Rasulullah saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah suami yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah aku berdosa karena itu?” Nabi saw bersabda,

خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالمَعْرُوْفِ مَايَكْفِيْكِ، وَيَكْفِي بَنِيْكِ .

“Ambillah dari hartanya dengan cara yang ma’ruf apa yang mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaq alaihi).

Jika suami terbelit kesulitan sehingga dia tidak mampu memberi nafkah kepada istri dan istri tidak rela dengan kondisi tersebut maka istri berhak mengajukan hak fasakh pernikahan dengan alasan kesulitan suami dalam memberi nafkah, dala kamus fuqaha dikenal dengan al-Faskhu bil I’sar.

Dari Said bin al-Musayyib tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki apa yang dia nafkahkan kepada istrinya, dia berkata, “Keduanya dipisahkan.” Diriwayatkan oleh Said bin Manshur. Dan dari Sufyan ats-Tsauri dan Abu Zanad darinya berkata, Aku berkata kepada Said, “Sunnah?” Dia menjawab, “Sunnah.” Ibnu Hajar berkata dalam Bulugh al-Maram, “Ini adalah mursal yang kuat.”

Kekerasan fisik

Termasuk kezhaliman kepada istri adalah melakukan tindak kekerasan fisik berupa pemukulan tanpa memperhatikan rambu-rambu yang diletakkan oleh syariat, hanya karena masalah sepele terkadang istri harus menerima pukulan atau tendangan dari suami. Ini jelas-jelas merupakan perbuatan aniaya kepada istri, ditambah lagi biasanya suami yang memukul tidak memperhatikan anggota tubuh istri sehingga yang terjadi adalah suami memukul anggota yang haram untuk dipukul.

Firman Allah, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka.” (An-Nisa’: 34).

Ayat ini membolehkan suami memukul istri, akan tetapi tidak asal memukul, ayat ini meletakkan batasan dan ketentuannya. Pertama, ia dilakukan ketika istri nusyuz, yakni durhaka dengan tidak manaati suami dalam batas-batas yang dibolehkan, ini berarti jika istri belum terbukti nusyuz maka suami belum boleh melakukan, setelah terbukti istri nusyuz maka tidak otomatis suami langsung memukulnya, suami terlebih dulu harus melakukan dua tahapan sebelumnya yaitu menasihatinya, jika istri adalah muslimah yang shalihah dan dia terbukti nusyuz maka cukuplah nasihat baginya, dia akan menyadari kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian selesailah persoalannya tanpa ada kekerasan. Kalaupun dengan nasihat belum cukup maka masih ada langkah kedua yang mesti dilalui yaitu berpisah darinya di tempat tidur. Dalam tahap ini kalau istri memang muslimah yang shalihah dan terbukti dia nusyuz maka dia akan menyadari, jadi suami tidak perlu melakukan langkah yang terakhir. Kalau tahap-tahap ini dilaksanakan dengan baik niscaya tidak akan terjadi pemukulan, jika suami memukul setelah dia menjalankan tahap-tahap tersebut dengan baik maka dalam kondisi ini istri adalah wanita dungu. Jadi siapa yang salah? Kambing yang tidak mempan dihardik dengan mulut memang pantas dihardik dengan tongkat.

Walaupun memukul diizinkan akan tetapi ia adalah cara pamungkas yang harus didahului oleh beberapa cara yang baik dan lembut, penulis yakin jika cara-cara ini dijalankan dengan baik niscaya tidak akan ada kekerasan dalam rumah tangga, dan agama Islam tidak dikambing-hitamkan sebagai pemicu kekerasan dalam rumah tangga hanya karena ia membolehkan memukul.

Lihatlah teladan Rasulullah saw, Aisyah berkata, “Rasulullah saw tidak sekalipun memukul sesuatu dengan tangannya, tidak wanita, tidak pula pembantu kecuali dalam keadaan jihad di jalan Allah.”(HR. Muslim).

Di samping itu batasan memukul juga mesti diperhatikan, karena tujuannya adalah mendidik bukan menyakiti maka memukul yang dibolehkan adalah memukul yang tidak melukai dan tidak mematahkan, tidak melukai daging dan tidak mematahkan tulang, ditambah tidak memukul anggota yang diharamkan misalnya wajah sebagaimana dalam hadits Hakim bin Muawiyah di atas.