Tanya :

1. Apakah orang yang meninggal dengan menanggung utang qadha’ puasa boleh dipuasakan untuknya (diqadha’kan)?
2. Jika seseorang meninggal dengan mempunyai utang puasa Rama-dhan, apakah boleh dipuasakan untuknya atau qadha’ itu hanya untuk hari-hari yang dinadzarkan saja?
3. Orang yang melewatkan sebagian hari-hari Ramadhan (tanpa berpuasa) karena udzhur, apakah ia harus mengqadha’nya berturut-turut atau boleh tidak berturut-turut?

Jawab :

1. Jika seorang yang sakit mempunyai utang qadha’ puasa Ramadhan dan belum melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, jika ia mening-galkannya karena menyepelekan atau menunda-nunda maka boleh dipua-sakan, tapi jika bukan karena itu maka tidak perlu diqadha’kan.

2. Imam Ahmad berpendapat, bahwa qadha’ itu hanya untuk yang dinadzarkan, adapun yang fardhu tidak perlu diqadha’kan untuk orang yang telah meninggal dunia, tapi cukup dengan menyedekahkan dari harta yang ditinggalkannya sebanyak setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang terlewatinya. Imam Ahmad Rahimahullaah berdalilh dengan hadtis,

لاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ.

“Tidaklah seseorang berpuasa atas nama orang lain dan tidaklah seseorang shalat atas nama oran lain.” HR. Malik, kitab Ash-Shiyam, kitab An-Nadzr fish Shiyam wash Shiyam ‘anil Mayyit, secara mauquf pada Ibnu Umar Radhiallaahu anhuma

Sementara mayoritas imam berpendapat, bahwa tidak ada perbe-daan antara nadzar dan fardhu, keduanya boleh diqadha’kan untuk orang yang telah meninggal dunia, berdasarkan hadits Aisyah Radhiallaahu anha , ia berkata, “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.

“Barangsiapa meninggal dan mempunyai kewajiban puasa, maka dipuasakan oleh walinya.” HR. Al-Bukhari, kitab Ash-Shaum (1952), Muslim, kitab Ash-Shiyam (1147).

Hadits yang dijadikan landasan Imam Ahmad, mengandung makna, bahwa tugas itu adalah beban orang-orang yang hidup, dan orang-orang yang hidup itu tidak boleh mewakilkan kepada orang lain dalam urusan ibadah, kecuali dalam kondisi tertentu.
Maka kesimpulannya, bahwa pendapat yang benar insya Allah adalah bahwa qadha’ puasa untuk orang yang telah meninggal bersifat umum, baik yang fardhu maupun yang dinadzarkan.

3. Yang benar adalah dibolehkan dengan cara tidak berturut-turut, karena ayat mengenai ini tidak menyebutkan harus berturut-turut, tapi Allah menyebutkan secara umum, sehingga hal ini menunjukkan bolehnya mengqadha’ dengan cara tidak berturut-turut.
Namun yang utama adalah mengqadha’nya secara berturut-turut, karena memang seperti itulah puasa yang diqadha’nya itu, yaitu hari-hari yang dilewatinya itu berturut-turut maka qadha’nya pun beturut-turut pula.
( Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Ash-Shiyam, disusun oleh Rasyid Az-Zahrani, hal. 124-125. )