Tanya :

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesuciannya ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Sy-awal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walaupun puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja, dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak?

Jawab :

Puasa enam hari di bulan Syawal sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتَبْعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sha-hihnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
“dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku).” (Thaha: 84)

Juga berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menun-jukkan keutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebai-kan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit.”
Tidak disyari’atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.
( Fatawa Ash-Shiyam, halaman 107. )