Salah seorang warga Makkah berkata kepadaku bahwa Rasulullah bersabda –ketika keluar dari Makkah dengan tujuan Hunain dan melihat begitu banyaknya tentara-tentara Allah bersama beliau–, “Pada hari ini, kita tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang personelnya lebih sedikit dari kita”.

Al-Abbas bin Abdul Muththalib, berkata, “Aku bersama Rasulullah memegang tali kekang Baghlah (keledai) beliau yang berwarna putih. Aku letakkan tali kekang baghlah tersebut di antara dagunya. Aku berbadan besar dan bersuara keras. Rasulullah bersabda ketika melihat orang-orang lari dari medan perang, ‘Mana orang-orang?’ Aku lihat orang-orang tidak menoleh kepada sesuatu apa pun. Untuk itu, Rasulullah bersabda, ‘Hai Abbas, berteriaklah, ‘Hai sekalian orang-orang Anshar, hai seluruh orang-orang pemilik Samurah (majlis orang-orang mengobrol). ‘Mereka menjawab, ‘Ya, kami sambut panggilanmu’. Seseorang pergi untuk membelokkan untanya, namun tidak mampu. Kemudian ia mengambil baju besinya dan melemparkannya ke unta miliknya. Ia mengambil pedang, tameng, dan berjalan tanpa mengendarai untanya menuju suaraku hingga ia tiba di tempat Rasulullah.

Ketika seratus orang telah berkumpul di tempat Rasulullah, maka ke seratus orang tersebut maju menghadapi musuh dan bertempur melawan mereka. Panggilan pertama yang dikumandangkan ialah, ‘Hai orang-orang Anshar, ‘Kemudian diringkas lagi menjadi, ‘Hai orang-orang Al-Khazraj’. Orang-orang Al-Khazraj (Anshar) adalah orang-orang sabar dalam peperangan. Rasulullah melihat medan perang di atas hewan kendaraannya ketika kedua belah pihak saling bertempur, kemudian bersab-da, ‘Sekarang perang telah berkecamuk’.”

Jabir bin Abdullah, berkata, “Ketika seorang dari kabilah Hawazin pemegang bendera perang sedang di atas untanya berbuat sesuatu, tiba-tiba Ali bin Abu Thalib RA dan seseorang dari Anshar bergerak kepadanya. Ali bin Abu Thalib datang ke tempat pemegang bendera perang kabilah Hawazin tersebut dari belakang kemudian menyabet dua urat tumit untanya dan ia pun jatuh tersungkur ketika itu juga dari untanya. Pada saat yang sama, sahabat dari kaum Anshar melompat ke pemegang bendera kabilah Hawazin tersebut kemudian memukulnya hingga setengah betisnya ke bawah terputus. Pemegang bendera kabilah Hawazin tersebut pun tumbang tidak berdaya. Kedua belah pihak tetap bertempur. Demi Allah, orang-orang tidak mundur dari kekalahan mereka, melain-kan mereka melihat para tawanan dalam keadaan terikat berada di samping Rasulullah.

Rasulullah menoleh ke arah Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib –ia termasuk orang yang bersabar bersama beliau di perang tersebut, ke-Islamannya baik ketika masuk Islam, dan memegang tali belakang pelana baghlah beliau–, ‘Siapa orang ini?’. Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib menjawab, ‘Aku anak pamanmu, wahai Rasulullah’.”

Abdullah bin Abu Bakr berkata: “Bahwa Rasulullah menoleh, kemudian melihat Ummu Sulaim binti Milhan yang ketika itu ikut perang bersama suaminya, Abu Thalhah. Ummu Sulaim mengikat pinggangnya dengan kain burdahnya, kerena sedang mengandung Abdullah bin Abu Thalhah, dan menaiki unta milik Abu Thalhah. Ia khawatir terlempar dari untanya, untuk itu, ia mendekatkan kepala unta kepadanya dan memasukkan tangannya ke gelang di sisi hidung unta. Rasulullah bersabda kepada Ummu Sulaim, ‘Hai Ummu Sulaim’. Ummu Sulaim berkata, ‘Ayah-ibu-ku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah. Aku akan bunuh mereka yang melarikan diri darimu sebagaimana engkau membunuh orang-orang yang memerangimu, karena mereka layak mendapatkannya’. Rasulullah bersabda, ‘Cukuplah Allah yang akan menghukum mereka wahai Ummu Sulaim?’

Ketika itu, Ummu Sulaim membawa pisau. Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, ‘Kenapa engkau membawa pisau seperti ini, hai Ummu Sulaim?’ Ummu Sulaim menjawab, ‘Pisau ini sengaja aku bawa. Jika salah seorang dari kaum musyrikin mendekat kepadaku, aku akan menikamnya dengan pisau ini’. Abu Thalhah berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan Ummu Sulaim Ar-Rumaisha’?’.”

Abu Qatadah berkata, “Di Perang Hunain, aku melihat dua orang; muslim dan kafir, sedang bertempur. Tiba-tiba salah seorang dari kaum musyrikin ingin membantu temannya yang musyrik tersebut dalam menghadapi lawannya yang muslim. Aku datangi orang tersebut kemudian aku tebas tangannya hingga terputus. Ia merangkulku dengan tangan kirinya. Demi Allah, ia tidak membiarkanku hingga aku mencium aroma darah (menurut Ibnu Hisyam, aroma kematian) dan ia nyaris membunuhku. Jika ia tidak kehabisan darah, ia pasti membunuhku. Ia jatuh, kemudian aku menyerangnya lagi dan menewaskannya. Perang membuatku menjauh dari orang tersebut, tiba-tiba seseorang dari warga Makkah melewati orang tersebut kemudian mengambil salab (barang) pada orang tersebut. Ketika perang usai dan kami berhasil mengatasi musuh, Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa membunuh salah seorang korban, ia berhak atas harta yang ditinggalkan korban tersebut’. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, aku membunuh salah seorang musuh yang meninggalkan harta, kemudian perang membuatku menjauh darinya, jadi, aku tidak tahu siapa yang mengambil harta itu. Seseorang dari warga Makkah berkata, ‘Ia (Abu Qatadah) berkata benar, wahai Rasulullah. Harta orang yang ia bunuh ada padaku. Mintalah ia (Abu Qatadah) merelakan Salab tersebut untuk aku miliki’. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata kepada orang Makkah tersebut, ‘Tidak, Allah tidak meridhai hal ini. Engkau sengaja mendekat kepada salah seorang singa Allah yang berperang karena Allah dengan tujuan bisa berbagi Ghanimah dengannya. Kembalikan Ghanimah kepada pemiliknya’. Rasulullah bersabda kepada warga Makkah tersebut, ‘Abu Bakar berkata benar, kembalikan Ghanimah tersebut kepada pemiliknya’. Aku pun mengambil Ghanimah dari warga Makkah tersebut, kemudian menjualnya. Dari hasil penjualannya aku membeli kebun kurma dan itulah kekayaan pertama yang aku miliki”.

Ibnu Ishaq berkata, “Ketika orang-orang kabilah Hawazin takluk, korban banyak sekali di pihak Tsaqif tepatnya di Bani Malik, tujuh puluh orang dari mereka terbunuh di bawah bendera perang mereka, termasuk di dalamnya Utsman bin Abdullah bin Rabi’ah bin Al-Harits bin Habib. Tadinya bendera perang mereka dipegang Dzu Al-Khimar. Ketika Dzu Al-Khimar tewas, bendera perang tersebut diambil alih Utsman bin Abdullah yang kemudian bertempur dengan bendera perang tersebut hingga terbunuh”.

“Ketika orang-orang musyrikin kalah di Perang Hunain, mereka pergi ke Thaif bersama Malik bin Auf An-Nashri, sebagian dari mereka bermarkas di Lembah Authas, sebagian dari mereka pergi ke Nakhlah, dan yang pergi ke Nakhlah hanyalah Bani Ghiyarah dan Tsaqif. Pasukan berkuda Rasulullah membuntuti orang-orang yang melintasi Nakhlah dan tidak membuntuti orang-orang yang melewati Ats-Tsunaya.”

“Rasulullah menyuruh Abu Amir Al-Asy’ri menelusuri jejak-jejak orang-orang musyrikin yang pergi ke arah Lembah Authas, kemudian Abu Amir Al-Asy’ari menemukan sebagian orang-orang musyrikin yang kalah tersebut, kemudian perang terjadi antara kedua belah pihak. Pada perang tersebut, Abu Amir Al-Asy’ari terkena lemparan panah hingga gugur, kemudian bendera perang diambil alih Abu Musa Al-Asy’ari yang tidak lain adalah anak paman Abu Amir Al-Asy’ari. Abu Musa Al-Asy’ari bertempur melawan orang-orang musyrikin hingga Allah memberikan kemenangan kepadanya dan memukul mundur orang-orang musyrikin tersebut.

“Ketika orang-orang kabilah Hawazin menderita kekalahan, Malik bin Auf An-Nashri pergi kemudian berhenti di tengah-tengah para pasukan berkuda kaumnya di jalan sempit di satu gunung. Ia berkata kepada anak buahnya, ‘Berhentilah hingga orang-orang lemah kalian bisa berjalan di depan dan teman-teman kalian di belakang bisa menyusul’. Di jalan sempit tersebut, Malik bin Auf An-Nashri dan anak buahnya ber-henti hingga orang-orang musyrikin yang kalah bisa menyusul mereka.

Rasulullah berjalan melewati wanita yang dibunuh Khalid bin Walid dan orang-orang mengerumuninya. Beliau bersabda, “Apa yang terjadi?” Orang-orang menjawab, “Mayat wanita yang dibunuh Khalid bin Walid”. Rasulullah bersabda kepada salah seorang sahabat yang bersama beliau, “Cari Khalid dan katakan kepadanya bahwa Rasulullah melarangmu membunuh anak, wanita, dan orang sewaan”.

Rasulullah bersabda ketika itu, “Jika kalian berhasil menangkap Bijad, seorang lelaki dari Bani Sa’ad bin Bakr, jangan biarkan dia lolos dari kalian”. Sebelumnya, Bijad mengerjakan kejahatan. Ketika kaum muslimin berhasil menangkapnya, mereka menggiringnya bersama ke-luarganya, termasuk Syaima’ binti Al-Harits bin Abdul Uzza yang tidak lain adalah saudara perempuan sesusuan Rasulullah. Kaum muslimin bersikap kasar terhadap Syaima’ binti Al-Harits, untuk itu, Syaima’ binti Al-Harits berkata kepada kaum muslimin, “Ketahuilah, aku adalah saudara perempuan sesusuan sahabat kalian (Rasulullah SAW)”. Kaum muslimin tidak mempercayai ucapan Syaima’ tersebut hingga membawa Syaima’ ke tempat Rasulullah”.

Ketika kaum muslimin tiba di tempat Rasulullah dengan membawa Syaima’, maka Syaima’ binti Al-Harits berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku saudara perempuan sesusuanmu”. Rasulullah bersabda, “Apa tandanya?”.

Syaima binti Al-Harits berkata, “Bekas gigitan. Engkau pernah menggigit punggungku ketika aku menggendongmu”. Rasulullah mengenali bukti tersebut, kemudian beliau membentangkan kain burdahnya untuk Syaima binti Al-Harits, menyuruhnya duduk di atas kain burdah tersebut, dan mengajukan beberapa tawaran kepadanya. Rasulullah bersabda kepada Syaima’ binti Al-Harits, “Jika engkau mau tinggal bersamaku, engkau dicintai dan dimuliakan. Namun jika engkau ingin aku memberimu sesuatu dan engkau pulang kepada kaummu, itu akan aku lakukan”. Syaima binti Al-Harits berkata, “Aku ingin engkau memberikan sesuatu kepadaku dan memulangkanku kepada kaumku”. Rasulullah memberikan sesuatu kepada Syaima’ binti Al-Harits dan memulangkannya kepada kaumnya. Bani Sa’ad mengklaim bahwa Rasulullah memberi Syaima’ binti Al-Harits budak laki-laki bernama Makhul dan budak wanita, kemudian keduanya menikah dan anak keturunan keduanya masih ada pada mereka hingga sekarang”.

Ibnu Hisyam berkata, “Tentang Perang Hunain, Allah SWT menurunkan ayat berikut, ‘Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di medan perang yang banyak dan di Perang Hunain yaitu ketika kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak terse-but tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun dan bumi yang luas terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman dan Allah menurunkan bala tentara yang kalian tidak melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir’. (At-Taubah: 25-26)

Ibnu Ishaq berkata: “Setelah itu, seluruh para tawanan dan harta rampasan dari Perang Hunain diserahkan kepada Rasulullah. Harta rampasan tersebut dijaga Mas’ud bin Amr Al-Ghifari. Rasulullah memerintahkan para tawanan dan harta rampasan di bawa ke Al-Ji’ranah untuk disimpan di sana”.