Jahiliyah memang zhalim, lebih-lebih terhadap wanita, lebih khusus lagi terhadap istri dalam tatanan rumah tangga. Untuk bisa menikah seorang wanita sulit melepaskan diri dari dominasi walinya, kekuasaan wali terhadap seorang wanita sedemikian besar sehingga dia bisa memaksakan kehendaknya terhadap wanita tersebut sekalipun wanita tersebut adalah seorang janda yang sebenarnya telah mengenal laki-laki dan lebih mampu mengambil sikap terhadap dirinya. Terkadang seorang janda untuk bisa rujuk kepada suaminya harus melewati hadangan walinya. Tidak jarang seorang gadis dipaksa menikah oleh walinya dengan seseorang yang tidak dia inginkan atau tidak dia ketahui sebelumnya.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari al-Hasan berkata, “Saudara perempuan Ma’qil bin Yasar ditalak suaminya, suaminya membiarkannya sehingga habis masa iddahnya, lalu suaminya melamarnya dan Ma’qil menolaknya.”

Riwayat lebih rinci tercantum dalam Sunan at-Tirmidzi dari Ma’qil bin Yasar bahwa dia menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki dari kaum muslimin pada masa Nabi saw, saudara perempuan Ma’qil bersama suaminya untuk beberapa waktu, kemudian suaminya mentalaknya dan tidak merujuknya sampai iddahnya habis, lalu suaminya berminat kembali kepadanya dan dia juga berminat, lalu suaminya melamarnya bersama para pelamar. Ma’qil berkata, “Dasar orang tidak berterima kasih, aku telah memuliakanmu dan menikahkanmu dengannya lalu kamu mentalaknya. Demi Allah kamu tidak akan kembali kepadanya selama-lamanya.”

Rasulullah saw sering menerima pengaduan dari beberapa wanita di mana mereka dinikahkan oleh walinya tanpa diminta persetujuan dan pendapat. Hal ini menunjukkan bahwa ia merupakan salah satu tradisi yang sudah lumrah pada mereka.

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Khansa` binti Khidam dinikahkan oleh bapaknya sementara dia tidak menyukai, Khansa` adalah seorang janda, maka dia datang kepada Rasulullah saw dan beliau membatalkan pernikahannya.

Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang gadis perawan datang kepada Nabi saw, dia menceritakan bahwa bapaknya menikahkannya sementara dia tidak suka, maka Nabi saw memberinya pilihan. Syaikh Syuaib dan Abdul Qadir al-Arnauth dalam tahqiq Zad al-Ma’ad berkata, “Sanadnya shahih.”

Dalam perkara mahar yang merupakan salah satu hak wanita dalam pernikahan, pada masa jahiliyah wanita terkadang tidak mendapatkan hak ini, walinya atau suaminya menguasainya dan mengambilnya untuk dirinya, tidak memberikannya kepadanya atau tidak memberinya sebagaimana mestinya.

Hal seperti ini bisa kita pahami dari riwayat imam al-Bukhari dari Urwah bin az-Zubair bahwa dia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim apabila kamu mengawininya.” (An-Nisa`: 3), Aisyah berkata, “Wahai keponakanku, ini adalah seorang yatim wanita dalam pengawasan walinya, yatim wanita ini makan bersama walinya dari harta yang sama, walinya tersebut mengagumi harta dan kecantikan yatim wanita tersebut, lalu walinya berminat menikahinya tanpa memberinya maskawin dengan adil seperti yang diberikan oleh orang lain, maka mereka dilarang menikahinya kecuali jika mereka bersikap adil dalam maskawinnya dan memberikan maskawinnya yang tertinggi dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lain selainnya.”

Meskipun Aisyah tidak menjelaskan secara langsung siapa yang melakukan ini, akan tetapi dari ucapannya kita menangkap adanya indikasi kezhaliman terhadap wanita dari wali atau suami terkait dengan masalah mahar, jika ini mungkin dalam masa Islam maka dalam masa sebelumnya lebih lebar kemungkinannya.

Dalam Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dari Ibnu Abbas berkata, “Seorang suami makan mahar yang dia berikan kepada istrinya dan lainnya, dia tidak meyakini bahwa itu adalah dosa.”

Dalam perkara ikatan pernikahan seorang istri sama sekali tidak memiliki apapun terhadap dirinya di dalamnya, bahkan setelah suaminya mentalaknya sekalipun, dia tidak bisa leluasa bebas dari ikatan suaminya, karena suaminya bisa merujuknya kapan dia mau selama masa iddahnya belum selesai walaupun suami telah mentalaknya seratus kali.

At-Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Suami berhak mentalak istrinya sesukanya, dia tetap istrinya jika dia merujuknya selama dia dalam masa iddah walaupun dia telah mentalaknya seratus kali atau lebih.” Sampai-sampai seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku tidak mentalakmu lalu kamu bain dariku dan aku tidak memberimu tempat selama-lamanya.” Istri berkata, “Bagaimana itu?” Dia menjawab, “Aku mentalakmu, setiap iddahmu hampir selesai maka aku merujukmu.”

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata, “Hal itu jika seorang laki-laki mentalak istrinya maka dia lebih berhak merujuknya walaupun dia telah mentalaknya tiga kali.”

Jika suami mentalak istri dan setiap kali iddahnya hampir selesai dia merujuknya dan hal itu terulang-ulang sampai berkali-kali, lalu kapan istri bisa melepasakan diri dari suami yang mempermainkannya? Bukankah ini adalah aniaya terhadap istri?