Dalam dua makalah sebelumnya penulis telah menjelaskan bagaimana nasib wanita pada masa jahiliyah, dari keduanya pembaca mengetahui perlakuan buruk jahiliyah kepada wanita yang tidak berdasar kepada tuntunan dan syariat dari Allah swt. Berikut ini penulis memaparkan sikap Islam menghadapi tradisi jahiliyah tersebut, dari pemaparan penulis, pembaca akan mengetahui kebaikan dan kemuliaan Islam yang memperlakukan wanita dengan baik dan adil.

Warisan

Pada saat jahiliyah tidak memberikan warisan kepada wanita dengan alasan wanita tidak berperang dan tidak meraih harta rampasan perang, Islam hadir dan memberikannya kepada wanita, Islam memandang bahwa wanita tetap berhak atas hak waris karena keberadaannya dalam lingkungan keluarga yang sangat strategis. Logika jahiliyah dengan tidak memberikan warisan kepada wanita adalah logika yang tidak logis, bagaimana kaum laki-laki bisa pergi berperang kalau keluarga tidak ada yang mengurusinya? Lalu siapa yang mengurusinya?

Islam memberikan hak waris kepada wanita sebagai pengakuan terhadap keberadaannya yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam keluarga wanita sebagai ibu atau anak perempuan atau saudara perempuan diberi hak warisan secara proporsional tanpa dizhalimi dan dikurangi.

Firman Allah, “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7).

Ayat ini menetapkan hak waris bagi laki-laki dan wanita secara global, lebih terperinci pembaca bisa merujuk surat an-Nisa` ayat 11-12, di sana terdapat hak masing-masing ahli waris secara adil.

Setelah menjelaskan bagian masing-masing ahli waris dengan adil, dalam dua ayat berikutnya Allah swt menegaskan bahwa tatanan dan pembagian tersebut merupakan batasan-batasanNya yang tidak boleh dilanggar, Allah menjanjikan surga bagi orang yang menaati batasan-batasaNya, sebaliknya Allah mengancam neraka atas orang yang berani melanggar batasan-batasanNya.

Syaikh Ibnu Fauzan dalam at-Tahqiqat al-Mardhiyah menukil ucapan Sayid Quthb, “Inilah dasar umum yang dengannya Islam memberikan kepada wanita sejak empat belas abad hak waris seperti laki-laki secara mendasar sebagaimana Islam melindungi hak anak-anak di mana jahiliyah menzhalimi dan memakan hak-hak mereka… Sesungguhnya undang-undang warisan ini merupakan undang-undang yang adil yang selaras dengan fitrah di samping ia sejalan dengan relaita hidup keluarga dan manusia dalam segala kondisi. Hal ini terlihat dengan jelas ketika kita membandingkannya dengan tatanan mana pun yang dikenal manusia pada jahiliyah kuno maupun jahiliyah masa kini… Ia adalah tatanan yang memperhatikan pembentukan keluarga dari jiwa yang satu, maka tatanan ini tidak menghalang-halangi hak wanita dan anak-anak hanya karena dia wanita dan anak-anak.”

Janda wafat

Dalam tatanan jahiliyah, wanita yang ditinggal wafat suami berada dalam wewenang keluarga suami, jika mereka berkehendak maka salah seorang dari mereka menikahinya, atau menikahkannya dengan orang yang mereka inginkan atau mereka menahannya, tidak menikahinya dan tidak pula menikahkannya.

Islam hadir membuang tatanan zhalim ini, Islam memberikan hak kepada janda sepenuhnya dalam urusan pernikahannya karena yang bersangkutan memang berhak mendapatkannya, jangankan keluarga suami, walinya sendiri tidak berhak atasnya, artinya janda tersebut lebih berhak atas dirinya dari pada walinya.

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Sabda Nabi saw,

لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ

“Janda tidak dinikahkan sehingga dia diminta pendapatnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi saw,

الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا

“Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas).

Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram berkata, “Seandainya wali hendak menikahkannya, maksudnya adalah janda, tetapi janda tersebut menolak maka dia tidak dipaksa, jika dia berkehendak menikah tetapi walinya menolak maka walinya dipaksa, jika wali tetap menolak maka hakim menikahkannya dan hak wali gugur.”

Setelah ini adakah orang yang berani berkata, Islam memasung hak wanita dalam pernikahan? Hendaknya orang yang memiliki pandangan mengambil pelajaran.

Islam hadir membatalkan pernikahan anak terhadap janda bapaknya karena pernikahan yang seperti ini tidak selaras dengan fitrah yang lurus dan ia merupakan perbuatan buruk yang tidak pantas dilakukan oleh manusia yang mulia.

Firman Allah, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (An-Nisa`: 22)

Lihatlah wahai pembaca bagaimana tercelanya perbuatan ini, ia lebih buruk dari pada berzina, karena untuk zina Allah hanya menyatakannya sebagai suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk, tetapi untuk perbuatan yang satu ini Allah menambahkan satu lagi yaitu kebencian dari Allah.

Maka jangan heran kalau Rasulullah saw menetapkan hukum pancung atas pelaku pernikahan model begini.

Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ahmad meriwayatkan dari al-Barra` berkata, aku bertemu dengan pamanku Abu Burdah dengan menjunjung sebuah panji, dia berkata, “Rasulullah saw mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi janda bapaknya agar aku membunuhnya dan menyita hartanya.” Syaikh Syuaib dan Abdul Qadir al-Arnauth berkata, “Sanadnya shahih.”

Ibnul Qayyim dalam Zad al-Ma’ad berkata, “Inilah pendapat yang shahih dan ia merupakan ketetapan hukum Rasulullah saw.” Wallahu a’lam.