Pertanyaan:
Jika seseorang melakukan sesuatu yang dikiranya benar lalu perbuatan itu ditentang dan diminta dalilnya, kemudian ia meminta fatwa dari seorang alim, lalu orang alim itu mengatakan bolehnya apa yang telah dilakukannya itu beserta dalilnya, namun penentang itu menolak karena fatwa orang alim itu keluar belakangan, sementara perbuatan itu telah berlalu, maka perbuatan itu batil. Bagaimana hukum amal orang yang minta fatwa itu? Dan bagaimana pandangan syari’at tentang penentang orang yang menentang itu?

Jawaban:
Jika amal itu syar’i dan termasuk jenis yang dianjurkan, seperti; shalat antara Zhuhur dan Ashar atau antara Maghrib dan Isya’, maka tidak boleh ditentang karena jenis shalat pada waktu tersebut dianjurkan. Ia bisa berdalih dengan hadits,

فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ.

“Maka bantulah aku dalam menolongmu dengan memperbanyak sujud.” HR. Muslim, kitab Ash-Shalah (489)

Atau dengan hadits yang melarang shalat setelah Ashar dan setelah Subuh, ini merupakan dalil yang membolehkan shalat selain pada waktu-waktu yang terlarang untuk shalat.

Jika perbuatan itu telah terjadi dan sesuai dengan dalil, maka tidak dinyatakan batal walaupun dilakukan sebelum adanya fatwa, karena landasannya adalah dalil yang disebutkan oleh pemberi fatwa, bukan yang lainnya. Fatwa itu sendiri tidak membatalkan dan tidak membenar-kan. Orang yang melakukan amal yang benar tidak boleh ditentang. Bagi yang menentangnya harus bertaubat dari penentangannya yang tanpa hujjah terhadap amal-amal yang disyari’atkan. Wallahu a’lam.

Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang ditanda tanganinya.