Tanya :

Assalamu’alikum Wr.Wb
Apakah Hukum jamaah kedua dalam sholat satu masjid?

Jawab :

Wa’alaikum Salâm Warahmatullâhi Wa barokâtuh
Boleh, agar pahala jama’ah didapat tetapi tidak boleh hal itu membuat kita meremehkan shalat jama’ah di awal waktu atau menjadikannya sebagai tandingan bagi jama’ah pertama.

Berikut fatwa terkait tentangnya:

Soal : Apakah orang-orang yang terlambat shalat jama’ah di masjid dan mendapatkan jama’ah tersebut telah selesai boleh membentuk jama’ah baru/berikutnya atau tidak? Apakah terjadi pertentangan antara hadits yang menyatakan :”siapakah yang mau bersedekah (untuk melakukan shalat lagi dan mendapatkan pahala sunnat) kepada (orang) ini?” dan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu atau selainnya yang menyatakan :”Dulu bila shalat jama’ah terlewatkan dari kami (ketinggalan) atau shalat jama’ah tersebut telah usai, kami melakukan shalat sendiri-sendiri” atau sebagaimana (lafazh) yang diucapkan oleh beliau radhiallahu ‘anhu?

Jawab : Siapa saja yang datang ke masjid kemudian mendapatkan jama’ah pertama telah selesai melakukan shalat bersama Imam Ratib (Imam yang ditunjuk/resmi untuk masjid tersebut) atau Imam yang bukan Ratib maka hendaklah dia melakukan shalat jama’ah bersama jama’ah lain yang juga terlewatkan (ketinggalan) shalat jama’ahnya atau sebagian jama’ah yang sudah melakukan shalat jama’ah pertama bersedekah (shalat lagi) untuk orang yang ketinggalan tersebut, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Abu Daud dalam Sunannya dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki melakukan shalat sendirian, lantas beliau bersabda :”Adakah seseorang yang mau bersedekah kepada orang ini dan shalat bersamanya”. Dan juga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmuzi dari Abi Sa’id (al-Khudri) radhiallahu ‘anhu, dia berkata: seorang laki-laki datang (terlambat shalat jama’ah) sedangkan (ketika itu) Rasulullah telah selesai melakukan shalat, lalu beliau bersabda:”Siapakah diantara kalian yang ingin mendapatkan pahala dengan orang ini?(yaitu dengan melakukan shalat lagi secara berjama’ah bersamanya). Kemudian seorang shahabat berdiri dan melakukan shalat bersamanya. Imam at-Turmuzi berkata:”ini hadits hasan”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim dan dia menshahihkannya, juga disetujui oleh Imam azd-Dzahabi, dan dimuat oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” dan dia mengisyaratkan keshahihannya. Abu ‘Isa at-Turmuzi berkomentar lagi: “(pendapat berdasarkan hadits ini) adalah pendapat banyak shahabat dan Tabi’in. Mereka berkata :”Tidak apa-apa sekelompok orang shalat jama’ah lagi di masjid setelah jama’ah sebelumnya (pertama) usai; ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Ishaq.
Pendapat yang lain mengatakan : mereka harus shalat secara sendiri-sendiri saja; ini adalah pendapat Sufyan, Ibnu al-Mubarak, Malik, dan asy-Syafi’i; mereka lebih memilih shalat secara sendiri-sendiri”. Pendapat kedua/lain tersebut dan ulama-ulama yang berpendapat serupa dengan mereka menyatakan hal itu, lantaran takut terjadinya perpecahan, lahirnya rasa iri dan benci serta dimanfaatkan oleh Ahlul Ahwa’ (orang-orang yang menuruti hawa nafsunya) sebagai alasan untuk melambat-lambatkan shalat jama’ah sehingga mereka bisa shalat dengan jama’ah baru dibelakang imam yang sealiran/semazhab dengan mereka dan kebid’ahan yang mereka buat. Jadi, untuk menutup rapat-rapat pintu perpecahan dan mementahkan niat-niat buruk Kaum Ahlul Ahwa’ tersebut maka tidak dibenarkan shalat wajib secara jama’ah di masjid setelah shalat jama’ah yang dilakukan dengan Imam Ratib/resmi atau pun secara mutlak (siapa saja imamnya) usai.

Pendapat yang shahih adalah pendapat pertama (yang membolehkan adanya jema’ah baru/berikutnya) berdasarkan hadits diatas dan keumuman firman Allah : “Maka bertakwalah kalian semampunya”. Juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah sebisa/semampu kalian”. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa berjama’ah adalah merupakan bentuk ketakwaan kepada Allah dan hal yang diperintahkan oleh syari’at karenanya mesti mengupayakannya semaksimal mungkin. Dan hadits yang shahih tidak boleh dibantah oleh ‘illat-‘illat (alasan-alasan) yang dipegang oleh sebagian Ahlul ‘ilm dalam menyatakan pendapat mereka dengan tidak membenarkan terjadinya jama’ah shalat secara berulang-ulang karenanya bahkan wajib melakukan sesuatu yang berdasarkan kepada hadits-hadits yang shahih. Apabila seseorang atau jama’ah tertentu dikenal dalam melakukan shalat jama’ah sering terlambat karena sengaja/mengenteng-entengkannya dan hal itu dilakukan secara berulang atau diketahui melalui ciri-ciri dan aliran mereka bahwa mereka sering terlambat dengan maksud agar bisa melakukan shalat berjama’ah bersama kelompok mereka maka mereka harus dita’zir (diberi sanksi) dan dihentikan kebiasaan mereka tersebut sesuai dengan maslahat yang dipandang oleh Ulil Amri (penguasa). Hal itu dilakukan sebagai peringatan keras bagi mereka dan Kaum Ahlul Ahwa’ semisal mereka.

engan demikian pintu perpecahan akan dapat ditutup rapat dan tujuan-tujuan jelek Kaum Ahlul Ahwa’ tersebut dapat dimentahkan tanpa harus meninggalkan suatu ‘amal yang menjadi landasan dibolehkan shalat jama’ah bagi orang yang terlewatkan darinya/ketinggalan shalat bersama jama’ah pertama.
Wabillâhit taufiq. Washallallâhu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa âlihi washahbihi wasallam. (Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’ , VII/309-311, no. 2583)
Wallahu a’lam. Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.