Pemerintah menggencarkan pemulihan kehidupan agama yang selama beberapa dekade di bawah tekanan rezim komunis.

Setelah lebih dari 40 tahun, akhirnya warga Albania dapat kembali mendengar indahnya kumandang azan. ”Sungguh momen yang mengharukan,” kenang Sulejman Dashi. Jumat pekan ke-2 Mei 1990 akan selalu menjadi hari paling berkesan dan tak terlupakan bagi ahli arkeologi yang tinggal di Ibu Kota Tirana ini. Dengan mata berkaca-kaca, dia lantas menggambarkan euforia yang terjadi di hari itu.

”Ratusan orang berdesakan di masjid Ethen Bey, di pusat Kota Tirana, untuk melaksanakan shalat Jumat pertama, sementara ribuan lainnya memenuhi jalan-jalan di seantero kota,” katanya.

Bisa dibayangkan kegembiraan warga Muslim setempat dalam menyambut momen bersejarah ini. Hassan Hafiz, imam masjid yang kini berusia 61 tahun, menyebutkan bahwa ketika itu ‘Islam seolah terlahir kembali’ di Albania.

Kelahiran kembali itu terjadi seusai berakhirnya kungkungan kehidupan beragama oleh penguasa Marxis. Pada 1990, seiring terpilihnya Sali Berisha, seorang dokter Muslim sebagai presiden dalam pemilu demokratis pertama, aktivitas politik dan religius kembali meraih kebebasan.

Bagi presiden terpilih Sali Berisha, kunci sukses di masa depan adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan adanya jaminan kebebasan beragama. ”Ini sangat penting, karena siapa pun yang percaya kepada Tuhan, pasti akan mendapatkan rahmat-Nya,” tegas dia.

Pemerintah pun bertekad menggencarkan pemulihan kehidupan agama, baik pada lingkup lokal maupun internasional. Perluasan hubungan dengan negara-negara Muslim dijalin. Pada masa itu, Albania resmi menjadi anggota peninjau Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Sabie Bagosi, warga Tirana, mendukung langkah pemerintah ketika itu. Dia berpendapat, perbaikan kondisi negara dan masyarakat setelah melewati masa-masa penuh represif, menjadi hal yang mendesak dan membutuhkan kerja keras semua pihak.

Fokus perbaikan juga diarahkan pada aspek agama. ”Antusiasme dalam menjalani kehidupan agama begitu besar, akan tetapi sebagian warga telah lupa bagaimana tata cara beribadah,” ujarnya, memberikan gambaran.

Menilik kondisi seperti itu, pemerintah berupaya mengembalikan fungsi sarana pengajaran agama Islam. Tugas ini dilaksanakan oleh sejumlah lembaga dan yayasan keagamaan di seluruh negeri.

Lembaga-lembaga ini adalah pengganti dari sekolah-sekolah agama yang sebelumnya melakukan aktivitas secara terpisah dan tersebar di setiap masjid. Lembaga pengajaran agama terbesar berlokasi di Tirana.

Di sini, Islam diajarkan sedemikian rupa agar terhindar dari pertentangan antarmazhab. Para lulusannya telah berkontribusi dalam membangkitkan semangat keislaman, sekaligus mengembangkan toleransi.

William Ryerson, mantan duta besar Amerika Serikat untuk Albania, menyaksikan langsung perubahan tersebut. Menurutnya, meski hidup serbakekurangan, warga Albania begitu bersemangat belajar agama.

”Ketika itu, bisa dilihat di setiap masjid anak-anak muda yang sedang belajar bahasa Arab agar dapat mempelajari Alquran,” paparnya.

Mantan gubernur Bank Sentral Albania, Hoti, menjelaskan, kendati secara geografi negara seluas 30 ribu kilometer persegi ini berada di benua Eropa, namun secara spiritual, mereka ingin menjalin hubungan lebih erat dengan negara-negara Arab dan Islam.

Albania pun bergerak cepat. Mereka, misalnya, membuka hubungan diplomatik dengan Arab Saudi. Negara kerajaan ini segera merespons melalui sejumlah komitmen bantuan, termasuk membuka bank Islam di Tirana. Kesepakatan tersebut ditandatangani di Jeddah.

Masa represif
Awan gelap menyelimuti negara kecil di semenanjung Balkan ini ketika Enver Hoxha menduduki tampuk kepresidenan pada 1945. Sejak itu, Albania berpenduduk mayoritas Muslim memasuki era represif dan mencekam. Hoxha membelenggu kegiatan dan kebebasan beragama.

Menurut penuturan Baba Bajram Mahmetaj, seorang tokoh Muslim setempat, Hoxha juga memerintahkan para ulama menghentikan dakwah mereka. ”Jika tidak, hukumannya sangat berat,” ujarnya berkisah.

Bajram mengaku tidak mengindahkan perintah itu. Dia mengingatkan tokoh agama yang lain bahwa diktator ini akan terus berusaha menghancurkan kehidupan agama. Karena keberaniannya itu, Bajram akhirnya dipenjara selama 30 tahun. ”Selama itu pula, saya terus mengalami penyiksaan,” aku Bajram, yang pada 1990 telah berusia 80-an tahun.

Beberapa ulama bernasib lebih buruk. Dari penelusuran Peter R Prifti, penulis buku Sosialisme di Albania sejak 1944 , banyak ulama yang dieksekusi. Misalnya, dua tokoh Muslim terkemuka, Baba Fajo dan Baba Fejzo, yang dibunuh pada Maret 1947.

Lebih banyak lagi yang hilang. Termasuk mufti Duros, Mustafa Effendi Varoshi, mantan mufti besar Albania, Hafez Ibrahim Dibra, dan ulama terkemuka Tirana Sheh Xhemel Pazari. Dari catatan Komite Pembebasan Albania yang berbasis di New York, hingga 1968 penguasa komunis diperkirakan telah mengeksekusi atau memenjarakan sekitar 200 tokoh agama.

Hoxha melangkah lebih jauh pada 1967. Dia mendeklarasikan Albania sebagai negara pertama di dunia yang menganut paham ateis. Pada bulan Mei tahun itu juga, sebanyak 2.169 masjid, gereja, madrasah, dan tempat ibadah lainnya langsung ditutup, dialihfungsikan atau dihancurkan.

Pada 13 November 1967, peraturan lebih represif dikeluarkan. Warga yang ketahuan mengenakan pakaian atau simbol-simbol agama akan langsung dipenjarakan selama 10 tahun.

Hanya saja, kenang Sabie Bagosi, selama masa itu, sebagian orang tetap mencoba beribadah di masjid. Mereka masuk ke masjid secara diam-diam di malam hari. ”Dengan menyalakan lilin, mereka shalat dan berdoa.”

Sebagian lagi memilih beribadah di rumah. Mereka shalat dan membaca Alquran dengan suara lirih. Akan tetapi, seiring kian ketatnya pengawasan, mereka terpaksa menyembunyikan perlengkapan ibadah maupun kitab suci Alquran.

Kondisi ini berubah setelah meninggalnya Enver Hoxha pada 1985 dan melemahnya rezim komunis. Warga menyambut dengan sukacita. Mereka pun segera mengambil kembali Alquran atau perlengkapan ibadah yang telah selama puluhan tahun terpaksa disembunyikan.

Dan untuk kali kedua (setelah merdeka dari penguasa Turki Ottoman tahun 1912), Albania ‘merdeka’. Rakyat tak hanya telah lepas dari kekhawatiran dan ketakutan, namun juga menikmati kebebasan dalam kehidupan di berbagai bidang.

Saatnya Merestorasi Masjid
Salah satu tugas berat yang dihadapi Presiden Sali Berisha di awal masa pemerintahannya adalah upaya merenovasi tempat-tempat ibadah. Mengingat telah banyak sarana ibadah, terutama masjid, yang hancur dan rusak selama era komunis sehingga membutuhkan penanganan segera.

Di antara para ahli yang ditugaskan merestorasi masjid dan situs peninggalan Islam adalah Sulejman Dashi. Dia mengatakan, di Albania terdapat sekitar 800 masjid, ditambah 360 situs bersejarah lainnya.

Sulejman langsung bekerja. Masjid tertua yang berasal dari tahun 1380, diperbaiki. Berlokasi di Kota Berat, masjid ini dibangun oleh kekhalifahan Turki saat menguasai Albania.

Masjid bersejarah lain adalah yang terletak di Kota Kora, dekat perbatasan Yunani. Masjid Ilias Mirahori ini dibangun pada 1494. Satu lagi adalah masjid tua dari tahun 1779 di Kota Kruje di utara Ibu Kota Tirana.

Dashi dan timnya juga merestorasi masjid di Gjirokastor, kota kelahiran Enver Hoxha, serta masjid di Pegin, tak jauh dari Kota Elbasan. ”Masjid Abdurahman Pashi di Pegin adalah salah satu elemen penting kebudayaan Islam di Albania,” terangnya.

Dibangun pada 1822, masjid Pegin memiliki sebuah menara jam dan menara azan yang terkoneksi dengan bangunan utama. Ini juga salah satu masjid di Albania yang banyak dipengaruhi gaya arsitektur Turki Ottoman.

Masjid akan selalu menjadi pusat kegiatan umat Islam Albania, karena di sanalah mereka memperoleh makrifat. Masjid juga berperan dalam menumbuhkan semangat keislaman, meski dalam kondisi serbasulit.”Dulu, kakek selalu mengajak saya ke masjid. Beliau kemudian mengajari membaca Alquran,” kenang Sulejman.

Tak heran, masjid banyak terdapat di Albania. Di setiap kawasan lapangan utama di kota-kota, selalu terdapat masjid. Ini membuktikan kedudukan masjid yang demikian tinggi di tengah masyarakat Muslim Albania.

Agama Islam dianut oleh sekitar 70 persen penduduk yang berjumlah 3,5 juta jiwa. Sisanya adalah penganut Nasrani. Pada masa lampau, Albania selalu berada di bawah kekuasaan imperium besar dunia seperti Romawi, Turki Ottoman, dan Yunani.

Pada era Romawi, Albania menjadi kawasan Nasrani. Barulah ketika kekuasaan beralih kepada bangsa Turki di abad ke 14, agama Islam mulai dikenalkan kepada warga.

Imigrasi kaum Muslimin, gelombang kedatangan para mubaligh serta pedagang Arab ke Albania, semakin meluaskan pengaruh Islam. Islam dapat diterima luas karena ajarannya yang mengedepankan prinsip keadilan, kebebasan, dan persaudaraan.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/