Islam agama yang sempurna dan menyeluruh, tidak ada suatu kebaikan kecuali Islam mengajak dan menyeru kepadanya, tidak ada keburukan kecuali Islan memperingatkan dan melarangnya, semua yang diserukan dan diperintahkan Islam adalah kebaikan dan semua yang diperingatkan dan dilarang Islam adalah keburukan.

Begitu gencarnya Islam melarang dan memerangi perzinaan, sehingga dalam melarangnya Islam memakai ungkapan, “jangan mendekati”, ungkapan yang mencakup semua perkara yang bisa membawa dan menyeret kepada perzinaan, hal ini karena perzinaan merupakan keburukan yang diakui oleh semua agama dan diamini oleh semua pemilik fitrah dan tabiat yang lurus. Sebaliknya begitu gencarnya Islam menganjurkan menikah, bukti-buktinya telah penulis paparkan pada makalah minggu lalu, hal itu tidak lain kecuali karena menikah adalah kebaikan itu sendiri, karena menikah mengandung hikmah-hikmah yang mulia, di antaranya:

1. Mewujudkan hajat dasar manusia

Allah telah meletakkan dalam diri manusia hajat-hajat dasar, baik fisik maupun jiwa, hajat-hajat ini memerlukan pemenuhan, jika tidak maka manusia akan mengalami keresahan dan kegoncangan yang tidak mungkin terpikul, di antara hajat-hajat tersebut adalah hajat kepada lawan jenis. Allah sebagai pencipta manusia telah menitipkan pada dirinya fitrah ketertarikan kepada lawan jenis, siapa pun selama fitrahnya lurus akan mengakui dan merasakannya, kekuatan fitrah atau hajat kepada lawan jenis ini hadir di bawah hajat kepada makan dan minum.

Allah juga telah memudahkan sarana untuk itu, salah satunya dengan bentuk ciptaan antara laki-laki dengan perempuan yang saling melengkapi, baik dari segi fisik, sifat dan kejiwaan. Fitrah ketertarikan kepada lawan jenis ini tidak bisa tidak dipenuhi, dan demi pemenuhannya terdapat tiga kemungkinan tidak ada yang keempat:

Pertama, dikekang.
Kedua, dilampiaskan tanpa aturan.
Ketiga, disediakan sarana yang baik dan layak.

Yang pertama mustahil terwujud karena ia bertentangan dengan fitrah dan tabiat dasar manusia, dan sesuatu yang menyelisihi tabiat dasar manusia pasti tidak akan terlaksana walaupun ia dipaksakan sedemikian rupa, tidak akan ada yang merespon, justru sebaliknya penentangan akan muncul dari semua orang.

Yang kedua, akibat yang ditimbulkan sangat buruk dan berat, membuatnya menjadi tidak mungkin dan harus dijauhi, cara ini justru malah membawa manusia kepada kebinasaan dan kepunahan, ia menyalahi fitrah yang lurus itu sendiri dan menjerumuskan manusia ke jurang kebinatangan, di mana hubungannya hanya sebatas fisik semata, manusia tidak seperti itu, diperlukan hubungan fisik, ikatan emosional dan jalinan ruh untuk manusia, ini yang membuat keberadaan manusia terjaga dan berbahagia.

Kemungkinan yang pertama mustahil, kemungkinan yang kedua tidak masuk akal, maka tidak ada pilihan yang rasional kecuali yang ketiga.

2. Generasi penerus

Kehidupan terus berjalan, masa hidup manusia di muka bumi terbatas waktunya, seterusnya dibutuhkan generasi baru yang melanjutkan perjuangan mengisi kehidupan dan memakmurkan bumi ini, siapa lagi kalau bukan anak-anak kita, sebagaimana sebelumnya kita telah menerima tongkat estafet ini dari bapak-bapak kita, dan hanya ada satu cara untuk itu, yaitu keluarga yang dibangun di atas landasan pernikahan yang luhur lagi mulia.

Di samping itu setiap orang pasti tidak ingin nasabnya (keturunan) terputus, ia ingin, meski ia sudah mati ada generasi sesudahnya yang masih membawa namanya. Bisa dimaklumi mengapa di sebagian masyarakat anak laki-laki lebih membahagiakan daripada anak perempuan, walaupun dari sisi syar’i anak laki-laki dengan anak perempuan pada dasarnya sama, mungkin hal ini karena anak laki-laki selalu membawa nama bapak, lain dengan anak perempuan.

بَنُوْنَا بَنُوْ أَبْنَائِنَا وَبَنَاتُنَا
بَنُوْهُنَّ أَبْنَاءُ الرِّجَالِ الأَبَاعِدِ

“Anak kami adalah keturunan dari anak laki-laki kami
keturunan anak perempuan kami adalah anak orang lain.”

3. Mewujudkan naluri keibuan dan kebapakan

Naluri keibuan pasti dimiliki oleh setiap wanita dewasa, setiap wanita tidak bisa memungkiri keinginan dan dorongan dalam dirinya untuk menimang anak yang lahir rahimnya, kita bisa melihat sejauh mana kecemasan seorang istri yang telah menikah sekian tahun tetapi belum dikaruniai anak oleh Allah, dia menderita karena naluri keibuan yang tertanam dalam dirinya tidak memperoleh lahan penyaluran terbaik dalam diri seorang anak yang dia bawa dalam rahimnya selama sembilan bulan dan dia lahirkan dengan taruhan nyawa. Istri mana pun mengakui bahwa anak angkat atau anak pungut tidak akan bisa menggantikan anak kandung sendiri.

Hal yang sama terjadi pada laki-laki dewasa, naluri kebapakannya sama dengan naluri keibuan, suami akan mengalami hal yang sama dengan istri jika jantung hati dan belahan jiwa yang bernama anak yang digadang-gadang belum juga hadir, sama saja karena suami tidak menemukan lahan penyaluran terbaik bagi naluri kebapakannya, ini menyengsarakan dan membebaninya dengan beban yang tidak ringan.

Naluri ini, naluri kebapakan dan keibuan hanya akan berkembang dengan baik dengan menikah dan mempuyai anak, tanpa itu naluri ini bisa melemah dan akhirnya mati, akibatnya cinta dan kasih bapak ibu menjadi padam, apalah arti hidup tanpanya.

Mahabenar Allah ketika Dia menyatakan bahwa anak merupakan Qurrata A’yun (Penenang jiwa) dalam firmanNya, “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati.” (Al-Furqan: 74).

4. Mewujudkan nikmat birrul walidain

Dengan menikah seseorang mendapatkan nikmatnya sikap birrul walidain dari anak-anaknya, sebuah kenikmatan yang hanya dirasakan oleh orang-orang yang menikah dan mempunyai anak-anak yang shalih, lebih-lebih dalam kondisi ketika Allah memanjangkan umur seseorang sehingga dia mencapai ardzalil umuri, usia renta, dan sudah dimaklumi bersama bahwa dalam usia renta ini seseorang akan mengalami kelemahan-kelemahan secara fisik, akal dan mental, dia tidak lagi mampu mandiri, dia memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi hajat hidupnya, menurut Anda siapa orang lain tersebut yang bersedia melakukannya untuk Anda? Orang jauh, bukan sanak bukan kadang, siapa sudi, apa urusannya dengan Anda. Tidak ada lagi yang Anda harapkan selain anak. Lalu bagaimana kalau Anda tidak beranak? Penulis sendiri pernah menyaksikan dua orang laki-laki, saudara nenek penulis sendiri, yang diberi panjang umur tetapi tidak dikaruniai anak, bagaimana menderitanya kedua orang ini di akhir usinya, walaupun saudara perempuan keduanya tetap merawat mereka, akan tetapi penulis yakin kedua orang ini berkata dalam hati, seandainya yang melakukan ini adalah anakku sendiri. Apabila penulis teringat, penulis hanya bisa berlindung kepada Allah.

Menikah juga mendorong seseorang untuk birrul walidain kepada orang tuanya, pada saat anak masih menjadi anak, dia belum merasakan bagaimana menjadi seorang ayah atau ibu, maka ada kecenderungan meremehkan birrul walidain, dalam batas tertentu dimakluni, akan tetapi begitu dia sendiri mengalami menjadi ayah atau ibu, maka pada saat itulah dia akan tersentuh dan terketuk hatinya, hal itu karena ia telah mengecap rasa ‘nikmat’ atau ‘sengsara’menjadi ayah atau ibu.

Umur manusia terbatas, dia akan mati, pada saat itu dia tidak lagi mampu menambah amal kebaikan sebagai bekal menghadap Allah, tetapi dengan adanya anak, orang tua masih bisa memperoleh minimal doa darinya yang berguna baginya di alam kuburnya.

5. Menggerakkan roda ekonomi

Hidup adalah bekerja dan berkarya, dengan bekerja dan berkarya manusia memberi manfaat kepada diri sebelum orang lain, orang akan dihargai jika dia berusaha dan berkarya, sehingga masyarakat merasakan keberadaannya dan dia sendiri merasakan keberadaanya di masyarakat, perasaan bertanggung jawab terhadap keluarga mendorong seseorang untuk lebih giat bekerja dan berusaha, membuka dan mencari lahan, karena di belakangnya ada mulut yang terbuka dan dia harus menyuapinya, di belakangnya ada tubuh yang telanjang dan dia harus menutupinya dengan pakaian, di belakangnya ada kebutuhan-kebutuhan hidup yang terus meningkat dan dia harus memenuhinya, tidak ada jalan di depannya selain menyingsingkan lengan baju, bekerja dan berkarya, sehingga terbukalah berbagai peluang usaha yang halal dan mulia.

Dari penjelasan di atas, apakah Anda masih ragu untuk menikah? Tunggu dulu, karena Anda harus memiliki kemampuan ketika hendak melangkah ke sana. (Izzudin Karimi)