Kota Himsh memerlukan seorang Gubernur, Umar bin al-Khatthab sebagai Amirul Mukminin sedang berpikir, siapa gerangan orang yang pantas untuk diangkat menjadi gubernur Himsh, Umar sendiri adalah orang yang tidak pernah mencari muka atau berpura-pura baik dalam perkara agama negara, saat ini Umar dihadapkan pada masalaha menentukan pilihan, siapa yang pantas untuk menjadi gubernur Himsh.

Dalam mengangkat Umar meletakkan beberapa syarat yang kalau kita ukur dengan zaman ini maka ia tergolong sangat sulit. Umar hanya memilih dari kalangan ahli zuhud, wara’, ahli iman, orang-orang yang tidak mencari nama, orang-orang ahli berpuasa dan berqiyamul lail, orang-orang yang berlari menghindari kepemimpinan dan sama sekali tidak menginginkannya.

Umar berkata dalam dirinya, “Aku menginginkan seorang laki-laki, jika dia berada di antara suatu kaum maka dia seolah-olah pemimpin mereka sekali pun dia bukan pemimpin mereka dan jika dia berada di antara mereka maka dia terlihat seperti salah seorang dari mereka sekalipun dia adalah pemimpin mereka.”

Umar mencari seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari rakyatnya dalam hal pakaian, makanan dan tempat tinggal. Seorang gubernur yang menegakkan shalat, membagi di antara mereka dengan kebenaran, menetapkan hukum di antara mereka dengan adil dan tidak menutu pintu rumahnya untuk menghalang-halangi hajat rakyat.

Tiba-tiba benak Umar menangkap sebuah nama, pikirannya teringat seorang laki-laki yang menurutnya kapabel, akalnya langsung terarah kepada Umair bin Saad. Ya tidak ada yang lebih pantas untuk menjadi gubernur Himsh selainnya, dia memenuhi seluruh syarat yang ditetapkannya, bahkan lebih.

Pada saat itu Umair bin Saad sedang berjihad di negeri Syam, maka Umar bin al-Khatthab Amirul Mukminin memanggilnya, Umar memerintahkannya untuk berangkat ke Himsh karena sejak saat itu dia telah resmi menjadi gubernurnya. Namun Umair berupaya untuk mundur, dia sama sekali tidak berharap kepemimpinan dan memang tidak menginginkannya, Umair lebih memilih meneruskn jihadnya di Syam karena syahadah di jalan Allah adalah cita-cita mulianya. Akan tetapi Amirul Mukminin mengharuskannya menerima, maka Umair tunduk kepada ketetapan Umar dan menerima dengan terpaksa.

Umair bin Saad berangkat ke Himsh untuk memulai memimpinnya. Umair memulai dengan shalat berjamaah, kemudian setelahnya dia berpidato di hadapan kaum muslimin, dia berkata, “Ketahuilah bahwa Islam adalah benteng yang kokoh dan pintu yang kuat, benteng Islam adalah keadilan dan pitunya adalah kebenaran, jika benteng itu roboh dan pintu itu hancur maka Islam akan terbuka, Islam akan tetap kuat selama kepemimpian kuat, kekuatan kepemimpinan bukan dengan pedang yang membunuh, bukan dengan cambuk yang memukul, namun dengan ketetapan berdasarkan kebenaran dan pelaksanaan terhadap keadilan.”

Umair memulai kehidupannya di kota Himsh. Satu tahun penuh berlalu dan selama itu Umair tidak mengirimkan apa pun kepada Amirul Mukminin. Sebuah keganjilan yang menimbulkan tanda tanya di benak Umar, tanda tanya yang membuat Umar menulis kepadanya, “Jika suratku ini telah kamu terima maka datanglah dengan membawa harta fai` yang telah kamu kumpulkan.”

Maka Umair mengambil kantong dan nampan makannyanya, dia membawa timba kecil dan tongkat pendeknya, dia berangkat ke Madinah dengan berjalan kaki. Umair tiba di Madinah dalam keadaan pucat, berdebu dan rambutnya panjang. Umair memberi salam kepada Umar, “Assalamu alaika ya Amirul Mukminin.” Umar bertanya, “Ada apa dengan dirimu?” Umair menjawab, “Mengapa dengan diriku? Bukankah aku berbadan sehat? Dan aku datang membawa dunia.”

Jawaban Umair membuat Umar menyangka bahwa Umair membawa harta. Umar bertanya, “Kamu berjalan kaki?” Umair menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Apakah tidak ada seseorang yang memberimu kendaraan?” Umair menjawab, “Mereka tidak melakukan dan aku tidak meminta kepada mereka.”

Umar bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan?” Umair menjawab, “Apa yang telah aku kumpulkan telah aku letakkan pada tempatnya setelah sebelumnya aku bermusyawarah dengan para tokoh kota, seandainya masih ada sisa untukmu niscaya aku sudah membawanya.” Umar berkata, “Perpanjang penugasan Umair.” Umair menjawab, “Tidak, aku tidak akan bekerja untukmu dan untuk siapa pun setelah ini.”

Umair meminta Umar agar memperbolehkannya untuk pergi ke keluarganya di sebuah kampung di pinggiran Madinah, Umar mengizinkannya. Di sanalah Umair bin Saad hidup sebagai ahli zuhud sejati, seorang laki-laki berhati bersih, bertakwa dalam arti sebenarnya. Semoga Allah meridhainya.

Dari Shuwar min Hayat ash-Shahabah, Dr. Abdurrahman Ra`fat Basya.