Makna Wala’

Wala’ dalam bahasa berasal dari kata kerja waalaa-yuwaalii-muwalatan wa walaa-an (وَالى- يُوَالِيْ- مُوَالاَةً وَوَلاَءً ).Dalam kamus Lisanul Arab Ibnul ‘Arabi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar kemudian datang orang ketiga untuk mendamaikan keduanya, namun si penengah ini mempunyai kecenderungan kepada salah satunya, lalu dia membela dan pilih kasih terhadapnya.Maka dapat dikatakan, وَالَى فُلاانٌ فُلاناً berarti apabila dia mencintai orang tersebut. Dan الوَلِي adalah bentuk kata yang berarti pelaku pekerjaan tersebut. وَلِيَه artinya dia mengurusinya. Firman Allah, ( الله ولي الذين آمنوا ) Allah Pelindung orang-orang yang beriman; (QS. 2:257)
Adapun arti wala’ dalam istilah adalah kecintaan seorang hamba terhadapRabb-nya dan nabi-Nya dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dan mencintai para wali-Nya dari orang-orang yang beriman.
Makna Bara’

Pengertian bara’ dalam bahasa adalah dari kata baraa برى)) berarti memutuskan atau memotong, yang dimaksud disini adalah memutuskan hubungan dengan orang-orang kafir, dengan demikian dia tidak mencintai mereka, tidak tolong-menolong dengan mereka dan tidak tinggal di negara mereka. Ibnul Arabi berkata, “Bara’ berarti jika dia melepaskan diri, dan bari-a berarti jika dia menjauhkan diri, dan juga berarti memberikan alasan dan peringatan. Firman Allah, ( براءة من الله ورسوله ) artinya (Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya.

Arti bara’ dalam istilah adalah menjauhkan, membebaskan diri dan mengumumkan permusuhan setelah memberikan alasan dan peringatan. Dikatakan بَرَى وَتَبَرَّأَ مِنَ الْكُفَّارِ artinya memutuskan hubungan antara dirinya dan orang-orang kafir, oleh karenanya dia tidak membela, tidak mencintai, tidak cenderung dan tidak pula meminta pertolongan dari mereka.

Kedudukan wala’ dan bara’ dalam Islam

Wala’ dan bara’ merupakan salah satu dasar agama dan pokok keimanan dan aqidah, maka tidak shah keimanan seseorang tanpa keduanya (wala’ dan bara’).
Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim untuk berteman karena Allah, cinta karena Allah, memusuhi karena Allah dan benci karena Allah dengan demikian dia berteman dengan wali Allah (orang-orang yang beriman), dan mencintainya serta memusuhi musuh-musuh Allah, melepaskan diri dari mereka, dan membencinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

( أَوْثَقُ عَرَى اْلِإيْمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي الله وَالمْعُاَدَةُ فِي الله وَالْحُبُّ فَي الله وَالبُغْضُ فِي الله )

“Pengikat iman yang paling kuat adalah setia karena Allah, memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.”

Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa wala’ berasas pada cinta, pertolongan, dan mengikuti. Barangsiapa cinta karena Allah dan benci karena Allah, berkawan dan bermusuhan karena Allah maka dialah wali Allah.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa cinta karena Allah, benci karena Allah, berkawan karena Allah, bermusuhan karena Allah, dan kewalian (pertolongan kedekatan) dari Allah bisa didapat hanyalah dengan hal itu, dan seorang hamba tidak akan mendapatkan rasa (kenikmatan) iman walaupun banyak shalat dan puasanya sehingga dia menjadi seperti di atas (mencintai, membenci, berkawan dan bermusuhan karena Allah) dan persaudaraan antara manusia sekarang telah berdiri di atas kepentingan dunia, hal yang sedemikian tidak akan memberikan manfaat sedikitpun juga.”

Adapun orang yang setia kepada kaum kafir, menjadikan mereka sebagai teman dan saudara maka dia seperti mereka, Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51)

Dan Al-Qur’an mengandung banyak ayat yang mengingatkan kita agar tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin atau teman setia seperti dalam firmannya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. 3:118)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;. (QS. 60:1)
Bara’ adalah termasuk dasar-dasar aqidah Islam yang artinya menjauhkan diri dari orang kafir, memusuhi mereka dan memutuskan hubungan dengan mereka, maka tidak shah iman seseorang sehingga dia mencintai para wali Allah (orang-orang yang beriman) dan memusuhi musuh-musuh Allah dan melepaskan diri dari mereka walau pun mereka adalah kerabat yang terdekat, Allah berfirman :

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS. 58:22)

Ayat ini mengandung pengertian bahwa iman tidak akan terealisasi kecuali bagi orang yang menjauhkan orang-orang kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya, melepaskan diri, dan memusuhi mereka walaupun kerabat terdekat, dan Allah telah memuji Ibrahim ketika dia melepaskan diri dari bapak, kaumnya dan sesembahan mereka. Firman Allah :

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.Tetapi (aku menyembah Rabb) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (QS. 43:27-27)

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. 60:4)

Dengan keterangan singkat tentang wala’ dan bara’, jelaslah urgensi dua pondasi ini dan kedudukannya dalam Islam.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Hal kedelapan (yang dapat mengeluarkan orang dari agama Islam) adalah bahu-membahu dan menolong orang kafir untuk memerangi kaum muslimin berdasarkan firman Allah :

Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51)

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh ketika ditanya tentang seorang muslim yang tidak memusuhi kemusyrikan beliau menjawab, “Sesungguhnya seseorang itu tidaklah menjadi orang Islam kecuali bila dia mengetahui tauhid, tunduk /meyakininya, mengamalkan tuntutannya, membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa yang beliau kabarkan, menaatinya dalam larangan dan perintahnya, dan beriman kepadanya dan kepada apa yang beliau bawa, maka siapa orangnya mengatakan saya tidak memusuhi orang-orang musyrik atau dia itu memusuhinya namun tidak mengkafirkannya atau dia itu mengatakan saya tidak akan mengganggu orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah meskipun mereka itu melakukan kekufuran dan kemusyrikan serta memusuhi agama Allah atau dia mengatakan saya tidak akan mengganggu kubah-kubah itu (rela dengan kemusyrikan,red), maka orang semacam ini tidaklah dianggap sebagai orang muslim, bahkan dia itu justru tergolong orang-orang yang difirmankan Allah subhanahu wa ta’alaa dalam surat an-Nisaa ayat 151,”Kami beriman kepada yang sebahagian dan kafir terhadap sebahagian (yang lain),” serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya,”

Allah subhanahu wa ta’alaa mewajibkan memusuhi orang-orang musyrik, menjahuinya dan mengkafirkannya, Dia berfirman,”kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,” dan Dia berfirman,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu,” [1]

Dari uraian di atas tampak jelas sekali bahwa tauhid atau keimanan dan syirik atau kekufuran adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak akan pernah bertemu selamanya.Tidak mungkin seseorang yang mengaku Islam dan faham makna tauhid akan mencintai kekufuran, kemusyrikan dan para pelakunya.Karena konsekuensi dari tauhid adalah membuang segala hal yang berbau musyrik dan kufur serta tidak berwala’ terhadap musyrikin dan kafirin.Dalam hal ini jalan tengah yang menerima kedua duanya adalah sebuah kemunafikan yang pada hakekatnya merupakan kekufuran juga.Wallahu A’lam.

[1] Bab hukum murtad juz delapan hal : 111,112