Pertama: Sikap aliran ini terhadap para sahabat khsususnya terhadap Abu Bakar dan Umar adalah sikap yang benar, di mana aliran ini mengakui khilafah keduanya, mengakui keutamaan keduanya dan mengakui kebaikan keduanya, hal ini ditunjukkan oleh Imam Zaid sendiri yang memuji keduanya di depan orang-orang yang mengaku mendukungnya, walaupun karena itu akhirnya mereka berlepas diri darinya, hal itu tidak menyurutkan langkah Imam Zaid untuk menghormati dan menghargai keduanya, karena sikap seperti inilah yang diajarkan oleh buyutnya Ali bin Abu Thalib.

Dalam kitab Fadhail ash-Shahabah di shahih al-Bukhari dari Muhammad bin al-Hanafiyah berkata, aku bertanya kepada bapakku –Ali bin Abu Thalib-, “Siapa orang terbaik setelah Rasulullah saw?” Dia menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanaya, “Lalu siapa?” Dia menjawab, “Lalu Umar.” Muhammad berkata, “Aku khawatir dia akan berkata, ‘Lalu Usman’, maka aku berkata, ‘Kemudian engkau?” Dia menjawab, “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin.”

Kedua: Zaidiyah mengingkari syariat nikah mut’ah yang diyakini sebagai ibadah mulia oleh sekte-sekte Syi’ah lainnya, pengingkaran mereka adalah kebenaran karena nikah ini telah diharamkan oleh dalil-dalil yang shahih, bahkan sebagian dalil pengharamannya diriwayatkan oleh Ali bin Abu Thalib.

Dari Ali bin Abu Thalib berkata, “Rasulullah saw melarang mut’ah pada tahun Khaibar.” (Muttafaq alaihi).

Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Nabi saw melarang mut’ah dan makan daging keledai pada tahun Khaibar. (HR. Imam yang tujuh selain Abu Dawud).

Ketiga: Zaidiyah tidak mengklaim ishmah bagi imam-imam mereka, ini adalah kebenaran karena ishmah adalah sebuah derajat yang diberikan Allah hanya kepada para nabi dan rasul, tidak ada manusia yang ma’shum, sekalipun dia adalah seorang imam dengan ilmu dan takwa tertinggi.

Keempat: Aliran ini berpandangan bahwa sumber hukum adalah al-Qur`an, sunnah rasul, kemudia kias, termasuk istihsan, pandangan ini tidak berbeda dengan prinsip yang dianut oleh para ulama dan imam Ahlus Sunnah wal Jamaah pada umumnya. Hanya saja diikutkannya akal ke dalam bidang ini perlu dikritisi karena tidak semua bidang agama bisa dimasuki oleh akal, lebih-lebih jika ia dikedepankan. Bisa jadi tersangkutnya akal di sini karena hubungan Imam Zaid dengan pemimpin Mu’tazilah Washil bin Atha`.

Kelima: Pandangan Zaidiyah bahwa ahli bait lebih berhak terhadap imamah tidak benar, sejarah membuktikan bahwa setelah Nabi saw wafat penggantinya adalah Abu Bakar, lalu Umar lalu Usman, semuanya bukan dari ahli bait, dan kita tidak mengatakan bahwa mereka ini merebut imamah dari ahli bait, karena imamah mereka pada masanya adalah dengan kesepakatan kaum muslimin termasuk ahli bait pada masa itu.

Bahkan tentang imamah Abu Bakar terdapat dalil-dalil yang mengisyaratkan bahwa ia adalah penetapan dari Rasulullah saw, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Fadhail ash-Shahabah dari Jubair bin Muth’im bahwa seorang wanita datang kepada Nabi saw, maka beliau memintanya untuk kembali, wanita itu berkata, “Bagaimana kalau aku tidak mendapatkanmu?” Sepertinya yang dia maksud adalah kematian. Nabi saw bersabda, “Jika kamu tidak mendapatkanku maka datangilah Abu Bakar.”

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 8/291-292 meriwayatkan bahwa ketika Abdullah bin Umar mendengar keberangkatan al-Husain ke Irak, pada saat itu dia sedang di Makkah. Ibnu Umar menyusulnya dan bertemu dengannya setelah tiga malam perjalanan. Ibnu Umar bertanya, “Kemana engkau ingin?” Al-Husain menjawab, “Irak, ini surat-surat dan baiat mereka.” Ibnu Umar berkata, “Aku menyampaikan sebuah hadits kepadamu, sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi saw, Jibril meminta beliau memilih antara dunia dengan akhirat, beliau memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia. Sesungguhnya engkau adalah bagian dari Rasulullah saw, tidak seorang pun dari kalian mendapatkannya selama-lamanya dan Allah tidak memalingkannya dari kalian kecuali karena yang lebih baik untuk kalian.”

Kita cermati ucapan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw memilih akhirat dan bahwa siapa pun yang menjadi bagian dari Rasulullah saw tidak akan memndapatkan perkara ini selamanya, Allah memalingkannya karena ia lebih baik. Ini menetapkan bahwa ahli bait tidak lebih berhak terhadap imamah.

Dalil-dalil menetapkan bahwa yang lebih berhak atas imamah adalah Quraisy, jika ahli bait termasuk Quraisy maka dia berhak karena dia Quraisy.

Dalam shahih al-Bukhari kitab al-Ahkam dari Muawiyah bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya perkara ini pada Quraisy, tidak seorang pun merebutnya dari mereka kecuali Allah menjungkirkannya di wajahnya selama mereka menegakkan agama.

Dalam shahih Muslim kitab al-Imarah dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah saw bersabda, “Perkara ini senantiasa ada pada Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang.