STRASBOURG–Pelarangan terhadap cadar atau penutup wajah yang kian marak di daratan Eropa ternyata menuai kritik dan tentangan tak hanya dari pihak Muslim, tapi juga kubu Eropa sendiri. Kepala Komisi Hak Asasi Manusia di Dewan Uni Eropa, Thomas Hammarberg, mengingatkan dan mendesak politisi Eropa untuk lebih mengedepankan pemahaman terhadap budaya berbeda.

“Pelarangan secara umum terhadap kode pakaian tertentu akan menyerang hak privasi seseorang,” ujar Thomas, dalam sebuah pernyataan yang dirilis 8 Maret lalu.

Akhir Januari lalu, kontroversi cadar kian menguat ketika sebuah panel di parlemen Perancis merekomendasikan pelarangan sebagian atas penggunaan cadar di institusi publik dan pemerintah. Debat terhadap topik serupa juga memanas di Italia, Denmark, Belanda dan Jerman.

Thomas menyatakan pelarangan bakal melanggar Konvensi HAM Eropa, yang intinya mengijinkan pembatasan hak asasi hanya untuk alasan kesehatan publik, keamanan dan moral. “Mereka yang berargumen untuk meloloskan pelarangan total penggunaan burka dan cadar tidak mampu menunjukkan bahwa pakaian tersebut, dalam cara tertentu akan berbahaya secara demokrasi, keamanan publik, ketertiban atau moral,” tegas Thomas.

“Faktanya, sedikit sekali wanita yang menggunakan pakaian seperti itu menuju ke arah yang mengkhawatirkan, bahkan kurang meyakinkan keberadaannya.”

Kepala Komisi HAM UE juga menegaskan pelarangan justru lebih kontraproduktif ketimbang menolong mencerahkan wanita Muslim. “Pelarangan terhadap burka dan cadar tidak akan membebaskan wanita yang tertindas, alih-alih malah membuat mereka kian terasing dari masyarakat Eropa,” kecam Thomas mengingatkan.
[P]Thomas Hammarberg] “Rencana untuk melarang keberadaan wanita dengan burka dan cadar di institusi umum seperti rumah sakit dan kantor pemerintah, hanya akan membuat para wanita tersebut menghindari tempat-tempat itu sepenuhnya,” imbuh Thomas.

Ia juga menunjukkan, berdasar wawancara media, bahwa mayoritas wanita bercadar dan berburka telah mengambil keputusan berdasar niat mereka. Selain itu, mereka cenderung tidak akan menghiraukan dan tidak menyambut larangan.

“Tentu, bisa jadi dalam beberapa kasus mereka di bawah tekanan, namun tidak ada tanda-tanda pula bahwa larangan itu akan diterima pula oleh wanita tersebut.”

Cadar di kalangan Muslim pun masih diperdebatkan. Sebagian ulama menyatakan, hanya jilbab yang diwajibkan bagi wanita Muslim. Namun cadar dan burka tidak diwajibkan dalam aturan berpakaian Islami, melainkan pilihan bagi kaum wanita.

Thomas juga memperingatkan, membawa isu terkait Islam dan Muslim kedalam debat publik di banyak negara Eropa justru memperbesar risiko diperparah para ekstrimis. “Beberapa argumen dibalik pelarangan, jelas-jelas bernada Islamofobia dan itu tentu saja tidak konstrukstif dalam proses dialog antaragama.

Thomas juga menyarankan, alih-alih memaksakan kode berpakaian kepada warganya, negara-negara Eropa akan lebih baik bila membuat debat pemahaman perbedaan budaya. “Setiap upaya seharusnya lebih mengarah pada memperluas wacana meliputi hal-hal esensial, termasuk bagaimana mempromosikan pemahaman terhadap perbedaan agama, budaya dan adat-istiadat.”

Dewan Uni Eropa didirikan pada 1949, memang bertujuan untuk melindungi hak asasi dan demokrasi di benua tersebut. Badan itu kini memiliki 47 anggota yang telah menandatangani Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. (iol/rpb/an)