Nama Mufassir

Pengarangnya adalah Syihabuddin as-Sayyid, Mahmud bin Abdullah bin Mahmud bin Darwisy al-Husaini, al-Alusi, Abu ats-Tsana`, seorang Mufassir, Muhaddits, Faqih dan sastrawan.*

Nama Kitab

Ia menamakan kitab tafsirnya‘Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim Wa as-Sab’i al-Matsani’.’

Aqidahnya

Bagi siapa saja yang membaca tafsirnya, maka jelaslah baginya bahwa pengarang tafsir ini lebih condong kepada Tasawuf. Seringkali beliau menafsirkan ayat-ayat dengan tafsiran simbolik dan isyarat (at-Tafsir al-Isyari) sesuai dengan metode kaum Sufi, disamping tanggapan terhadap sebagian hal-hal ‘ngawur’ dan berlebihan dari mereka. Beliau juga, mencomot julukan-julukan besar mereka, seperti perkataan, “Para tokoh terkemuka Sufi -semoga Allah menyucikan rahasia-rahasia mereka- berkata….; Para tokoh terkemuka kita, kalangan Sufi berkata….” di banyak tempat dalam tafsirnya ini. Terkadang, beliau justeru menyebut langsung nama-nama mereka (tanpa julukan-julukan besar-red) seperti Ibn al-Faridh dan lainnya.

Di antara contoh tafsir isyarat, misalnya, seperti yang disebutkannya ketika menafsirkan awal surat Ali Imran (10/91) tentang ‘Alif Laam Miim.’

Demikian pula, beliau menafsirkan sejumlah ayat lainnya dengan tafsir isyarat sesuai dengan hawa nafsu kaum Sufi.

Dan di antara perkataan-perkataan menyimpang dan ‘ngawur’ yang dimuat dalam kitab tafsirnya itu adalah seperti perkataannya, “Sesungguhnya Nur Muhamad SAW merupakan makhluk pertama yang diciptakan.!!” (17/105) “Dan ia merupakan penjelmaan dari Nur Ilahi.!!” (Lihat, 13/77)

Beliau menukil ucapan asy-Sya’rani dalam risalahnya, ‘al-Fath Fi Ta`wil Ma Shudira ‘An al-Kumal Min asy-Syathi’….setelah menukil perkataannya mengenai para wali yang terkadang sebagian dari mereka karena ketinggian derajatnya menjuluki mereka sebagai ‘Anbiya` al-Auliya` (Para Nabinya Para Wali)’, ia menyebutkan, “…Orang seperti ini boleh mengamalkan hadits-hadits sekehendak hatinya, tanpa harus melihat apakah ada yang menshahihkannya atau melemahkannya.! Bisa jadi, apa yang dikatakan para ulama hadits shahih, tidak pernah dikatakan oleh Nabi SAW.!!…” Dan seterusnya, berupa ucapan-ucapan yang meremehkan derajat para ahli hadits dan tidak menganggap mereka.

Anehnya, al-Alusi tidak mengomentari sedikiitpun perkataan-perkataan yang tidak berguna seperti ini.!!

Di samping itu, beliau juga terjebak dalam sikap yang membolehkan tawassul dengan kehormatan Nabi SAW. (13/179, 23/160). Tentunya, hal itu merupakan tawassul bid’ah yang tidak ada dasarnya.!!

Di dalam tafsirnya, ia mengambil hampir semua kajian ar-Razi, serta menyetujui mazhab Asy’ariah bahkan membelanya dan mencela para ulama tokoh Salaf. Terkadang, beliau juga membantah pendapat penganut Asy’ariah dan menetapkan mazhab Salaf.

Ini adalah sikap inkonsistensi alias plin-plan dari beliau antara mazhab Salaf dan Khalaf. Hal itu, tampak dalam tafsir beliau terhadap beberapa masalah aqidah yang sependapat dengan mazhab Salaf. Ini dapat dilihat, misalnya, pada 7/114-117, 8/136, 23/225-226.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

Beliau menyebutkan secara merata mazhab-mazhab ulama fiqih dan dalil-dalil mereka dengan tidak fanatik terhadap mazhab tertentu.

Sikapnya Terhadap Sya’ir, Nahwu Dan Bahasa

Beliau memperluas dalam pembahasan tentang ilmu Nahwu, sampai-sampai hampir keluar dari ‘ranah’ tafsir. Beliau banyak mempertegas dengan sya’ir-sya’ir bangsa Arab dan Matsal (pribahasa) mereka.

Sikapnya Terhadap Qira’at

Beliau membahas mengenai Qira’at namun tidak mensyaratkan harus yang mutawatir. Beliau juga memberikan perhatian pada perlunya menampilkan sisi Munasabah (korelasi) antara surat-surat dan ayat-ayat.

Sikapnya Terhadap Israiliyyat

Beliau sangat mengeritik keras Isra’iliyyat dan berita-berita bohong.!!

* Untuk memperdalam lagi wawasan tentang biografi Ibn ‘Athiyyah, silahkan baca:
al-A’lam karya az-Zirakli, VII:176-177, Cet. Ke-6
Mu’jam al-Mufassirin, II:665
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubin Fii Manahij al-Mufassirin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdi, hal.54-58, dengan sedikit perubahan)