Pengertian Takwa

At-taqwa maknanya al-hadzr yaitu waspada. Kalau dikatakan anda bertakwa kepada sesuatu, maka artinya waspada dan berhati-hati terhadapnya.
Pada prinsipnya ketakwaan seorang adalah apabila ia menjadikan suatu pelindung antara dirinya dengan apa yang ia takuti. Maka ketakwaan seorang hamba kepada Rabbnya adalah apabila ia menjadikan antara dirinya dan apa yang ia takuti dari Rabb (berupa kemarahan, siksa, murka) suatu penjagaan/pelindung darinya. Yaitu dengan menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Maka tampak jelas, bahwa hakikat takwa adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib, “Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya.

Sedangkan takwa secara lebih lengkapnya adalah, menjalankan segala kewajiban, menjauhi semua larangan dan syubhat (perkara yang samar), selanjutnya melaksanakan perkara-perkara sunnah (mandub), serta menjauhi perkara-perkara yang makruh(dibenci). Shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata ketika menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 102, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya.” Beliau mengatakan, “Hendaklah Dia (Allah) ditaati dan tidak dimaksiati, diingat serta tidak dilupakan, disyukuri dan tidak diing-kari.” (ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 9/92 dan al-Mustadrak 2/294).

Adapun firman Allah surat at-Taghabun ayat 16, Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”, menurut Imam al-Qurthubi adalah penjelasan dari firman Allah dalam surat Ali Imran 102 di atas. Jadi maknanya adalah, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa menurut kesanggupanmu.” Pendapat ini lebih tepat daripada yang mengatakan sebagai nasakh (penghapusan). Karena nasakh hanya dapat dilakukan apabila (dua masalah) sudah tidak mungkin lagi dikompromikan. Jika pengkompromian masih dapat dilakukan, maka itulah yang lebih utama.” (Al-Jami’ liahkamil Qur’an, al-Qurthubi 4/166).
Kata takwa juga sering digunakan untuk istilah menjaga diri atau menjauhi hal-hal yang diharamkan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ketika ditanya tentang takwa, beliau mengata-kan, “Apakah kamu pernah melewati jalanan yang berduri?” Si penanya menjawab, ”Ya”. Beliau balik bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika aku melihat duri, maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya atau aku tahan langkah”. Maka berkata Abu Hurairah, ”Seperti itulah takwa.”

Pentingnya Takwa

  • Ia Merupakan Wasiat Allah kepada Umat Terdahulu dan Umat Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam .
    Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala,
    “Dan sungguh Kami telah memerintah-kan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertaqwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. 4:131)

    Ini merupakan wasiat yang amat agung kepada umat terdahulu dan yang datang kemudian, yaitu berupa ketakwaan yang di dalamnya mencakup perintah dan larangan, penerapan syari’at dan hukum serta balasan pahala bagi orang yang mau menegakkannya dan ancaman siksa bagi orang yang menyia-nyiakannya.

    Makanya Allah menyatakan, “Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. 4:131)
    Maksud dari firman Allah, Jika kamu kafir menurut al-’allamah as-Sa’di adalah dengan meninggalkan takwa kepada Allah dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang sama sekali tidak pernah ada hujah atasnya. Dan yang demikian itu, sama sekali tidak akan memberi madharat, kecuali terhadap diri kamu sendiri. Sedang kepada Allah, tidak sama sekali, tidak pula akan menyebabkan kekuasaan-Nya berkurang. Allah masih mempunyai hamba yang lebih baik daripada kamu, lebih agung dan banyak. Mereka semua taat, tunduk terhadap perintah-Nya. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, as-Sa’di hal. 171).

  • Ia Merupakan Perintah Allah yang Banyak diSebutkan di Dalam Al-Qur’an.
    Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala ,
    “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari-keduanya Allah memperkembangbiak-kan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. 4:1)

    “Hai orang-orang yang beriman, bertaq-walah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 59:18)

    Dan Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala,
    “Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikit pun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripada-nya dan tidak akan memberi manfa’at sesuatu syafa’at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (QS. 2:123)
    “Dan jagalah dirimu dari (‘azab) Hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau seikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (QS. 2:48)
    Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang memerintahkan kita agar bertakwa, takut dan waspada terhadap siksa dan ancaman Allah Subhannahu wa Ta’ala.

  • Ia Merupakan wasiat dan Perintah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.
    Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dalam sabdanya juga banyak mewasiatkan ketakwaan kepada para shahabat dan umatnya. Di antara sabda beliau adalah sebagai berikut,

    – Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiallaahu anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda dalam khutbah haji wada’,
    “Bertakwalah kepada Allah Tuhanmu, shalatlah lima waktu, berpuasalah pada bulanmu, bayarlah zakat hartamu, taatilah pemimpinmu,maka kamu akan masuk surga Tuhanmu.” (HR. At-Tirmidzi dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 1/190)

    – Wasiat Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam kepada Muadz bin Jabal,dan juga tentunya untuk umatnya yang lain.
    “Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, timpalilah keburukan dengan kebaikan niscaya akan dapat menghapusnya dan pergauli-lah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi No. 1987, ia berkata hasan shahih, Ahmad dalam Musnad-nya 5/153 dan al-Hakim, beliau men-shahihkannya dan Imam adz-Dzahabi menyetujuinya, 1/54).

    – Dari Irbadl bin Sariyah Radhiallaahu anhu yang sudah sangat masyhur, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam memberikan wasiat,
    “Aku wasiatkan kepada kalian semua untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat…(HR.Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah)

    – Dari Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu , bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sering mengucapkan,
    “Ya Allah aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri dan kecukupan.”(HR Muslim)

  • Ia Merupakan Sebab Terbesar untuk Masuk Surga
    Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ditanya tentang penyebab yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga, maka beliau menjawab, “bertaqwa kepada Allah dan akhlak yang baik (taqwallah wa husnul khuluq)”.Dan ketika ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menjeru-muskan orang ke dalam neraka beliau menjawab, ”Mulut dan Kemaluan.” (HR. at-Tirmidzi, ia berkata, “hadits shahih gharib, dan dihasankan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/194)
  • Ia Adalah Pakaian Terindah
    Manusia tidak akan lepas dari kebutuhan terhadap pakaian, sedangkan ketakwaan adalah pakaian yang lebih penting daripada pakaian atau baju yang melekat di badan. Karena pakaian takwa tidak akan pernah rusak dan binasa. Ia akan selalu menyertai seorang hamba sampai kapan pun. Dia adalah keindahan hati dan ruh. Sedang pakaian badan tujuan utamanya adalah untuk menutupi aurat tubuh atau mungkin untuk perhiasan manusia.Jika dalam kondisi terpaksa pakaian badan ini terbuka, maka tak ada bahaya yang begitu berarti, namun kalau pakaian takwa yang terlepas, maka yang akan didapat adalah kehinaan.

    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
    “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik.” (QS.4 :26)
    Pakaian takwa ini senantiasa dibutuhkan orang setiap waktu. Tanpa pakaian ini, seseorang tidak punya arti, kemuliaan dan keberuntungan.

  • Ia Lebih Penting daripada Makanan dan Minuman.
    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. 2:197)

    Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, “Sesungguhnya termasuk kemuliaan seseorang adalah membawa bekal yang memadai dalam safar.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir 1/224 dan Taisirul Karimir Rahman, as-Sa’di hal 74).
    Allah Subhannahu wa Ta’ala memerintahkan untuk berbekal di dalam bepergian karena dengan berbekal, seseorang tidak mungkin meminta-minta kepada orang lain yang berarti ia telah menjaga serta menghormati harta mereka. Dengan berbekal, seseorang juga dapat menolong orang lain, yang sama-sama sedang bepergian.

    Ketika Allah memerintahkan untuk berbekal dalam bepergian, maka Dia juga menyuruh untuk membawa bekal yang hakiki yaitu bekal menuju akhirat dengan membawa ketakwaan untuk menuju ke sana. Ia adalah bekal yang berkesinambungan manfaatnya, baik ketika di dunia mau pun kelak di akhirat. Ketakwaan merupakan bekal menuju kampung abadi di surga kelak, dia akan mengantarkan seseorang menuju kenikmatan yang sempurna dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Maka barangsiapa yang tidak mau membawa bekal ketakwaan, ia akan terputus dan akan menjadi mangsa berbagai macam perbuatan jahat dan buruk. Dan terhalanglah ia untuk sampai ke Surga-Nya yang abadi, wal ‘iyadzu billah.

Sumber : Buku “Nur at-Taqwa wa Zhulumatu Al-Ma’ashi” Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.